Empat Stasiun Hati – Biarkan Hatimu Bicara!

Biarkan Hatimu Bicara!
MENCERDASKAN DADA, HATI, FU’AD, DAN LUBB

Oleh: Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn ‘Alī al-Ḥakīm at-Tirmidzī
 
Judul Asli:
بيان الفرق بين الصدر و القلب و الفؤاد و اللب
للحاكم التلمذي

 
Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy
Penerbit: PT SERAMBI ILMU SEMESTA

(1)

Empat Stasiun Hati.

 

Ketahuilah – semoga Allah menambahkan pemahaman agama kepadamu – bahwa hati (qalbu) adalah sebuah istilah yang mencakup seluruh lapisan batin manusia. Pada batin tersebut ada beberapa tempat. Di antaranya ada yang termasuk bagian luar hati dan ada yang termasuk bagian dalam hati. Hati menyerupai istilah mata. Sebab, mata juga merupakan istilah yang mencakup semua bagian yang berada di antara kedua tepinya. Seperti putih mata, hitam mata, biji mata, dan cahaya di biji mata itu. Tiap-tiap bagian mempunyai hukum dan pengertian yang berbeda. Namun demikian, semuanya saling membantu dan manfaatnya saling berkaitan. Segala yang berada di luar menjadi landasan bagi sesuatu yang bersambung kepadanya dari dalam. Serta, kesempurnaan cahaya penglihatan bergantung kepada kesempurnaan semuanya.

Demikian pula dengan istilah rumah. Rumah mencakup seluruh bagiannya. Ia dipagari oleh tembok dan diamankan dengan pintu yang terkunci. Di dalamnya ada lorong, halaman rumah, berikut kamar dan lemari. Setiap letak dan tempat di dalamnya mempunyai aturan tersendiri. Istilah tanah suci juga mencakup semua tanah haram, seperti sekitar Makkah, negerinya, masjidnya, dan Ka‘bah. Pada setiap tempat ada manasiknya masing-masing.

Demikian pula dengan pelita. Istilah pelita mencakup semua yang ada di dalam kaca. Di dalamnya, tempat untuk air berbeda dengan tempat untuk sumbu. Juga sebaliknya. Sumbu merupakan tempat cahaya berpijar. Di tempat sumbu ada minyak yang tidak berair. Kesempurnaan pelita bergantung kepada kesempurnaan semua bagian tersebut. Jika ada salah satunya yang rusak, maka yang lain juga ikut rusak.

Contoh lainnya adalah buah almond yang meliputi kulit luar di atas kulit keras, kulit kedua yang seperti tulang dan otak, serta biji di dalamnya, dan minyak di dalam biji tersebut.

Ketahuilah – semoga Allah menambahkan pemahaman agama padamu – bahwa agama ini mempunyai beberapa tingkatan. Para pemeluknya juga berada dalam maqām yang berbeda-beda. Orang berpengetahuan juga memiliki kedudukan yang beragam. Allah s.w.t. berfirman: “Kami telah meninggikan sebagian mereka atas bagian yang lain beberapa derajat.” (11) “Di atas mereka yang berilmu masih ada Dzāt Yang Maha Mengetahui.” (22). Setiap pengetahuan yang lebih tinggi, maka tempatnya di dalam hati juga lebih kokoh, lebih khusus, lebih terjaga, lebih tersembunyi, dan lebih tertutup. Namun, istilah hati bagi kebanyakan orang mewakili penyebutan semua lapisan yang ada.

Posisi shadr (dada) pada hati sama seperti putih-mata, seperti halaman rumah pada rumah, seperti tempat air pada pelita, seperti kulit paling luar dari almond yang buah almond itu sendiri baru keluar setelah ia kering di pohon. Shadr adalah tempat bagi masuknya bisikan dan penyakit sebagaimana putih-mata diserang oleh keluarnya keringat dan radang, sebagaimana halaman rumah ditempati kayu, sampah, dan kadangkala menjadi tempat masuknya orang asing, sebagaimana hewan dan binatang masuk ke halaman tanah suci, sebagaimana di atas air pada pelita ada penutup dan sebagainya, serta sebagaimana kutu, lalat, dan serangga menempel di kulit almond yang paling luar ketika ia terbelah sehingga binatang kecil masuk ke dalamnya.

Apa yang masuk ke dalam shadr jarang terasa. Ia tempat masuknya sifat dengki, syahwat, angan-angan, dan berbagai keperluan. Kadangkala ia terasa sempit dan kadangkala pula terasa lapang. Ia tempat berkuasanya nafs-ul-ammārah bis-sū (yang memerintahkan keburukan). Di dalamnya ada pintu masuk bagi jiwa tersebut. Ia juga merupakan tempat cahaya Islam, tempat

Hati memiliki mata yang digunakan untuk menikmati pemandangan alam ghaib, telinga untuk mendengar perkataan penghuni alam ghaib dan firman Tuhan, hidung untuk mencium wewangian yang Ghaib, dan mulut untuk merasakan cinta, manisnya keimanan, serta harumnya pengetahuan spiritual.Najm-ud-Dīn Rāzī

menjaga pengetahuan yang didengar dan dipelajari, seperti ilmu tentang berbagai hukum, berita, dan semua yang dijelaskan lewat lisan. Cara pertama untuk memperolehnya adalah dengan belajar dan mendengar. Ia disebut shadr karena merupakan permukaan dan lapisan pertama hati. Sama seperti istilah shadr-un-nahar (permulaan siang), atau seperti halaman rumah yang menjadi tempat pertama darinya. Dari shadr keluar berbagai bisikan kehendak dan pikiran. Ia juga menuju hati ketika menetap dalam waktu yang lama.

Hati (qalb) adalah lapisan kedua. Ia berada di dalam shadr. Posisinya sama seperti hitam-mata yang berada di dalam mata, atau seperti kota Makkah yang berada di dalam tanah suci, atau seperti tempat sumbu dari pelita, atau rumah yang berada di dalam, atau seperti buah almond yang berada di dalam kulit luar. Hati merupakan sumber cahaya iman, cahaya khusyū‘, taqwā, cinta, ridhā, yakin, takut, harap, sabar, dan qanā‘ah (merasa cukup). Ia juga sumber pokok-pokok pengetahuan, sebab ibarat sumber mata-air, sementara shadr ibarat telaga. Air keluar dari mata air menuju ke telaga. Demikian pula dengan pengetahuan. Ia keluar dari hati menuju ke shadr. Atau, pengetahuan tersebut masuk melalui jalan mendengar. Dari hati muncul keyakinan, pengetahuan, dan niat hingga keluar menuju shadr. Hati adalah sumber atau pangkal, sementara shadr adalah cabang. Cabang baru terwujud setelah ada sumbernya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasūl s.a.w.: “Suatu perbuatan bergantung kepada niatnya.” (33) Rasūlullāh s.a.w. menerangkan bahwa nilai perbuatan seseorang baru terangkat bila disertai niat, serta sebuah kebaikan akan dilipatgandakan sesuai dengan kadar niatnya. ‘Amal perbuatan adalah bagian dari diri manusia dan batas kekuasaannya berakhir hingga shadr lewat niat dan kekuasaan hati. Hati yang dikuasai oleh nafs bukanlah rahmat dari Allah s.w.t. Sebab, hati adalah raja dan nafs ini adalah kerajaannya. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tangan adalah sayap, kaki adalah utusan, mata adalah maslahat, telinga adalah corong, hati adalah rahmat, limpa adalah bahan tertawaan, buah pinggang adalah makar, dan paru-paru adalah napas. Apabila raja baik, baik pula semua prajuritnya. Dan apabila raja rusak, rusak pula semua prajuritnya.” (44)

Rasūlullāh s.a.w. menuturkan bahwa hati adalah raja. Shadr bagi hati ibarat tanah lapang bagi penunggang kuda. Beliau menerangkan bahwa baiknya seluruh anggota badan bergantung pada baiknya hati; dan rusaknya anggota badan bergantung pada rusaknya hati. Hati berposisi sebagai lampu. Dan lampu bisa berfungsi secara baik dengan adanya cahaya. Cahaya tersebut tidak lain berupa cahaya ketakwaan dan keyakinan. Sebab, ketika kosong dari cahaya, hati seperti lampu yang padam. Setiap ‘amal yang tidak berasal dari hati, ia tidak akan mendapat nilai di akhirat. Pelakunya tidak akan dihukum jika ia berupa maksiat dan tidak akan diberi pahala jika berupa ‘amal taat. Allah s.w.t. berfirman: “Allah hanya menghukum kalian disebabkan oleh apa yang dikehendaki oleh hati kalian.” (55)

Lalu perumpamaan fu’ād (hati lebih dalam) – sebagai lapisan ketiga – seperti biji mata yang terdapat di hitamnya mata, seperti Masjid-il-Ḥarām di dalam Makkah, seperti sumbu yang berada di tengah-tengah pelita, seperti biji di dalam buah almond. Fu’ād adalah lokus makrifat, lintasan hati, dan penyaksian. Fu’ād terletak di tengah-tengah hati sebagaimana hati terletak di tengah-tengah shadr. Ia seperti mutiara yang terpendam dalam mulut kerang.

Perumpamaan lubb (inti-hati) seperti cahaya penglihatan pada mata, seperti cahaya lampu pada sumbu pelita, serta seperti minyak di dalam biji almond. Semua bagian yang ada di luar berfungsi melindungi dan menutupi apa yang ada di dalamnya. Mereka saling membantu, mempunyai pengertian yang dekat satu sama lainnya, serta saling bersesuaian dan tidak bertentangan. Sebab, mereka adalah cahaya agama. Dan agama itu satu, meskipun kedudukan para pemeluknya berbeda-beda. Lubb merupakan tempat cahaya tauḥīd dan cahaya pengesaan. Ia adalah cahaya yang paling sempurna dan penguasa yang paling agung.

Sesudah itu, terdapat berbagai lapisan yang lembut dan beberapa tempat mulia. Pada dasarnya semua itu merupakan cahaya tauḥīd. Tauḥīd adalah sirr (rahasia tersembunyi), sementara makrifat adalah kebaikan. Iman adalah memelihara sirr dan menyaksikan kebajikan. Lalu, Islam adalah mensyukuri kebajikan dan menyerahkan hati kepada sirr. Sebab, tauḥīd merupakan sirr lewat hidayah dan petunjuk Allah s.w.t. kepada hamba. Seorang hamba tidak akan bisa mengetahui dengan akalnya tanpa sokongan dan petunjuk Allah s.w.t. Lalu makrifat merupakan kebajikan dari Allah s.w.t. karena Dia yang pertama-tama membukakan untuknya pintu berbagai karunia dan nikmat tanpa kelayakan hamba atasnya. Dia menganugerahkan petunjuk kepadanya hingga beriman bahwa semua ini berasal dari Allah s.w.t. Dia berikan padanya karunia dan anugerah yang manusia tidak mampu mensyukurinya kecuali dengan taufīq Allah. Itu juga merupakan nikmat lain yang berasal dari-Nya. Ia bisa menyaksikan kebajikan Allah dan memelihara sirr-Nya. Dialah yang memberikan taufik karena ia tidak mampu menjangkau cara kerja Rubūbiyyah-Nya. Ia kemudian mengetahui bahwa Dia Esa tanpa menyerupakan, mengabaikan, menggambarkan, dan menyimpangkan sifat-Nya. Inilah yang disebut īmān. Yaitu, menyaksikan kebajikan dan memelihara sirr-Nya. Sedangkan Islam adalah mempergunakan nafs ini untuk berbakti kepada Allah dengan cara bersyukur, istiqāmah, bertawakkal kepada-Nya, berpaling dari mengetahui sirr, menunjukkan penghambaan, dan terus-menerus mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab, Islam hanya bisa tegak dengan nafs. Hanya saja nafs manusia buta, tidak bisa mengetahui dan menyaksikan al-aqq – Sang Mahabenar. Ia tidak dibebani untuk mengetahui berbagai hakikat. Bukankah seorang hamba diperintahkan untuk beriman dengan hati tanpa disuruh untuk memahami apa yang diimani dari sisi cara kerjanya. Ia hanya wajib mengikuti dan tidak melakukan bid’ah. Cukup baginya untuk pasrah dan menyerah.

Lalu, berbagai lapisan lain yang tidak dibicarakan di sini hanya bisa dilihat oleh seorang hamba yang diberi taufik oleh Allah untuk memahami seluruh lapisan yang terlukis dengan berbagai perumpamaan di atas. Allah membantu dan menolongnya untuk memahami semua lapisan tersebut. Seluruh lapisan yang tak disebutkan ibarat tambahan kebeningan air ketika menetap di wadah. Lewat perumpamaan-perumpamaan ini, jalan rahasia yang tak dibicarakan bisa diketahui.

Catatan:

  1. 1). QS. az-Zukhruf: 32.
  2. 2). QS. Yūsuf: 76.
  3. 3). Lihat Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, bab 2 pasal 41.
  4. 4). Lihat Kanz-ul-‘Ummāli fī Sunan-il-Aqwāli wal-Af‘āl, oleh ‘Alā’-ud-Dīn ‘Alī al-Muttaqī Ḥusām-ud-Dīn al-Hindī. Hedarabat, 1312, juz pertama, no. 1206-1207.
  5. 5). QS. al-Baqarah: 225.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *