Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
ثُمَّ الذُّنُوْبُ عِنْدَنَا قِيْمَانِ | صَغِيْرَةٌ كَبِيْرَةٌ فَالثَّانِيْ |
مِنْهُ الْمَتَابُ وَاجِبٌ فِي الْحَالِ | وَ لَا انْتِقَاضَ إِنْ يَعُدْ لِلْحَالِ. |
“Dosa-dosa menurut kami ada dua macam: dosa kecil dan dosa besar. Yang kedua ini wajib bertaubat dengan segera dan tidak batal (taubatnya itu) jika dia kembali melakukan dosa.”
Setelah mengetahui hukum-hukum yang telah disebutkan, menurut kami (Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah), dosa terbagi menjadi dua: dosa kecil dan dosa besar. Untuk dosa yang kedua (dosa besar), hukumnya fardhu ‘ain untuk segera bertaubat. Menurut syara‘, taubatnya seseorang tidak menjadi batal karena kembali melakukan dosa, tetapi ini wajib bertaubat kembali setelah melakukan kemaksiatan yang kedua.
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
لكِنْ يُجَدِّدْ تَوْبَةً لِمَا اقْتَرَفْ | وَ فِي الْقَبُوْلِ وَأْيُهُمْ قَدِ اخْتَلَفْ |
“Akan tetapi wajib baginya memperbarui taubat untuk dosa yang dia lakukan (kedua kalinya), dan dalam hal diterimanya taubat, pendapat ‘Ulamā’ berbeda-beda.”
Seseorang wajib mengulangi taubatnya setelah melakukan dosa yang kedua kalinya. Tentang diterimanya taubat yang kedua, para ‘ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah berbeda pendapat. Ada yang berpendapat taubatnya pasti akan diterima, ada yang mengatakan kemungkinan taubatnya diterima.
Menurut Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, dosa terbagi menjadi dua: dosa kecil dan dosa besar. Berbeda dengan keyakinan kaum Murji‘ah yang mengatakan bahwa semua dosa merupakan dosa kecil, tidak ada dosa besar, sehingga tidak membahayakan bagi pelakunya. Maksudnya, orang yang melakukan dosa tidak akan disiksa selama masih beragama Islam. Pendapat ini adalah pendapat yang sesat dan keliru.
Berbeda pula dengan pendapat kaum Khawārij yang mengatakan bahwa semua dosa merupakan dosa besar, tidak ada dosa kecil. Orang yang melakukan dosa besar dihukumi kafir. Pendapat ini juga keliru, sesat dan tidak boleh diikuti. (2351).
Pendapat yang benar adalah pendapat madzhab Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah yang mengatakan bahwa dosa terbagi menjadi dua, ya‘ni dosa besar dan dosa kecil. (2362).
Dosa besar memiliki beberapa tanda: (2373).
Itu semua menjadi tanda dosa besar.
Dosa besar tidak terbatas jumlanya. Dosa yang paling besar adalah syirik kepada Allah, baik secara terang-terangan maupun samar, kemudian membunuh orang mu’min tanpa hak, zina, homoseksual, durhaka kepada kedua orang tua, sihir, menuduh zina, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan atau takaran dalam jual beli dan lainnya. (2384).
Sebagian ‘ulamā’ mengatakan bahwa dosa besar tidak bisa dikira-kirakan batasannya. Oleh karenanya, dalam kitab “Mukāsyafat-ul-Qulūb”, Imām al-Ghazālī r.a. berkata: “Semua kemaksiatan yang bersumber dari syahwat hawa-nafsu masih bisa diharapkan taubatnya diterima. Akan tetapi, kemaksiatan yang bersumber dari sifat sombong tidak ada lagi harapan untuk diterima taubatnya. Sebab, sifat sombong seperti dosa yang dilakukan Iblis. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:
وَ إِذْ قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوْا إِلَّا إِبْلِيْسَ أَبى وَ اسْتَكْبَرَ وَ كَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah engkau kepada Ādam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblīs; ia enggan dan takabbur. Dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 34).
Dari sini bisa diketahui bahwa pengelompokan dosa kecil dan dosa besar tidak bisa dibatasi. Sebab, kehendak nafsu juga tidak bisa dibatasi, sebagaimana sifat takabbur yang juga tidak bisa dibatasi. Satu pendapat mengatakan bahwa dosa yang paling besar adalah berdusta atas nama Rasūlullāh, bahkan ia ia dianggap kafir.
Adapun dosa yang tidak masuk dalam definisi dosa besar maka tergolong dosa kecil, sehingga dosa kecil ada banyak macamnya, di antaranya adalah:
Orang yang melakukan dosa besar atau melanggengkan melakukan dosa kecil dihukumi sebagai orang fasik, tidak bisa lagi disebut orang yang adil. Ia tidak lagi bisa menjadi saksi dan juga tidak bisa menjadi wali nikah.
Dalam kitab Syarḥu Arba‘īn an-Nawawiyyah, Ibnu Ḥajar mengatakan: (2395) “Terkadang dosa kecil bisa menjadi dosa besar jika:
Kelima hal di atas bisa menyebabkan dosa kecil berubah menjadi dosa besar.
Ishrār adalah berulang-ulang melakukan dosa, baik diserta niat mengulang-ulang maupun tidak. Menurut satu pendapat ishrār adalah melakukan dosa disertai dengan niat untuk mengulangnya kembali. Wallāhu a‘lam.
Diqiyaskan dengan hal di atas (dosa kecil yang menjadi dosa besar), orang yang melakukan perkara makruh disertai niat untuk selalu melakukannya, ya‘ni dengan menyengaja dan menyiapkan diri, jika ada kesempatan akan melakukannya lagi. Maka, perkara makruh ini menjadi haram, contohnya seperti orang yang merokok.
Adapun mengonsumsi opium, dihukumi dosa besar sebab ishrār dan orangnya dianggap sengaja menentang aturan syarī‘at Islam.
Dosa-dosa kecil yang dilakukan oleh orang ‘ālim yang menjadi panutan orang awam juga akan berubah menjadi dosa besar. Masalah ini telah benar-benar menjadi ‘umūm-ul-balwā. (2406).
‘Ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah sepakat bahwa bersegera taubat dari dosa hukumnya fardhu ‘ain. Tidak boleh menunda-nundanya, baik dosa yang dilakukan berupa dosa kecil maupun dosa besar.
Perkataan Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berupa: (فَالثَّانِيْ مِنْهُ الْمَتَابُ وَاجِبٌ) menunjukkan bahwa pembahasan dosa besar lebih penting, karena bertaubat dari dosa besar lebih diwajibkan daripada bertaubat dari dosa kecil. (2417).
Melakukan taubat dari dosa kecil dan dosa besar hukumnya fardhu ‘ain dan harus dilakukan dengan segera. Jika menunda-nundanya, akan bertambah lagi dosanya, ya‘ni dosa atas maksiat yang dilakukan dan dosa menunda-nunda bertaubat. (2428).
Rukun taubat ada tiga:
Tidak sah taubatnya orang yang melakukan pungutan liar dan orang yang melakukan kezhāliman jika keduanya tidak menghentikan perbuatannya. Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:
وَ لَا تَرْكَنُوْا إِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah engkau cenderung kepada orang-orang yang zhālim yang menyebabkan engkau disentuh api neraka.” (QS. Hūd [11]: 113).
Tidak sah taubatnya orang yang tidak menyesali perbuatannya atau menyesal tapi bukan karena Allah. Seperti orang yang berzina kemudian diketahui banyak orang dan dijatuhi hukuman. Karena hukuman tersebut, dia pun menyesal telah melakukan zina, atau orang menyesal karena kehilangan harta untuk melakukan maksiat, keduanya tidak sah taubatnya.
Tidak sah taubatnya orang yang tidak memiliki azam untuk tidak mengulangi kemaksiatan seperti orang yang zhālim, karena seluru hidupnya hanya untuk berbuat kezhāliman sehingga taubatnya tidak akan diterima. Orang seperti itu ‘ibārat orang ḥaidh atau orang yang bersenggolan dan berpelukan dengan seorang perempuan kemudian berwudhū’, lalu dia mengulangi lagi perbuatannya, ini termasuk meremehkan dan mempermainkan syarī‘at Islam.
Rukun taubat yang telah disebutkan tadi berlaku untuk dosa yang berkaitan dengan hak Allah. Jika berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ditambah dengan rukun yang ke-4 yaitu, meminta halal kepada orang yang sudah dizhālimi, digunjing, atau dipukul yang tidak dibenarkan. (2439).
Menurut pendapat Imām Syāfi‘ī, meminta halal pada orang yang dizhālimi harus secara terperinci, tidak cukup hanya secara global. Adapun menurut Imām Mālik, cukup meminta halal secara global saja, ini pendapat yang luas dan mudah. Jika tidak sanggup meminta halal, wajib meminta kepada Allah dengan ketulusan hati dan sungguh-sungguh agar dengan anugerah-Nya, Allah menjadikan hati orang yang dizhālimi ridha untuk memaafkan.
Syarat taubat yang lain adalah harus dilakukan sebelum nyawa sudah di tenggorokan dan sebelum terbitnya matahari dari arah barat. Jika bertaubat setelahnya, pintu taubat sudah ditutup. (24410).
Dalil wajibnya bertaubat adalah firman Allah s.w.t.:
وَ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ
“Dan bertaubatlah engkau sekalian kepada Allah (atas semua dosa yang kalian lakukan), hai orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nūr [24]: 31).
Ayat tersebut menunjukkan kewajiban taubat.
Jika seseorang sudah bertaubat dengan memenuhi semua syaratnya kemudian melakukan kemaksiatan lagi, taubatnya tadi rusak dan wajib bertaubat lagi dari kemaksiatan setelahnya, sebagaimana dalam sebuah hadits:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Seseorang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang tidak memiliki dosa.”
Jika melakukan dosa lagi, wajib bertaubat lagi. Allah berfirman:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ.
“Allah mencintai orang-orang yang bertaubat.” (QS. al-Baqarah [2]: 222).
Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang diterima atau tidaknya taubat orang yang mengulang-ulang kemaksiatan. Menurut pendapat mu‘tamad, taubatnya sah dan diterima secara pasti berdasarkan dalīl qath‘ī (24511).
وَ هُوَ الَّذِيْ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ.
“Dan Dialah Dzāt yang menerima taubat dari sekalian hamba-Nya.” (QS. asy-Syūrā [42]: 25).
Wallāhu a‘lam.