Disyari‘atkan Perang – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Ghazawat & Saraya - Nurul Yaqin

PASAL 2

GHAZAWĀT DAN SARAYĀ

Disyarī‘atkan Perang

Telah kita ketahui dari pembahasan yang telah lalu bahwa Rasūlullāh s.a.w. belum pernah memerangi seorang pun untuk memeluk Islām, tetapi ajakan tersebut hanya sebatas menyampaikan berita gembira dan peringatan. Untuk itu, Allah s.w.t. selalu menurunkan ayat-ayatNya yang menguatkan Rasūlullāh s.a.w. agar bersabar dalam menghadapi gangguan dari pihak kaum Quraisy. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَ لَا تَسْتَعْجِلْ لَّهُمْ

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasūl-rasūl telah bersabar, dan janganlah kamu meminta disegerakan (‘adzāb) mereka.” (QS. al-Aḥqāf [46]: 35)

Di antara ayat-ayat yang diturunkan, Allah s.w.t. sering menceritakan kisah-kisah saudara-saudara Beliau dari para rasūl sebelumnya untuk meneguhkan hati Rasūlullāh s.a.w. Ketika perlakuan penduduk Makkah sampai melampaui batas maka Rasūlullāh s.a.w. terpaksa keluar dari negerinya setelah mereka bersekongkol untuk membunuh Beliau. dengan demikian, merekalah yang memulai permusuhan terhadap kaum Muslimīn karena mereka telah jelas mengusir kaum Muslimīn dari tanah airnya tanpa alasan yang benar. Setelah hijrah, Allah s.w.t. memberikan idzin kepada kaum Muhājirīn untuk memerangi kaum musyrikīn Makkah melalui firman-Nya:

أُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوْا وَ إِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ. الَّذِيْنَ أُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُوْلُوْا رَبُّنَا اللهُ…..

Telah diidzinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah telah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar kecuali karena mereka berkata: ‘Rabb kami hanyalah Allah’.” (QS. al-Ḥajj [22]: 39-40)

Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan pelaksanaannya melalui firman-Nya:

وَ قَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَ لَا تَعْتَدُوْا إِنَّ اللهَ لَا يُحِبِّ الْمُعْتَدِيْنَ. وَ اقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَ أَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوْكُمْ وَ الْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَ لَا تُقَاتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوْكُمْ فِيْهِ فَإِنْ قَاتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ كَذلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِيْنَ. فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. وَ قَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَ يَكُوْنَ الدِّيْنُ للهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalaian melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusir kalian (Makkah), dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan; dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjid-il-Ḥarām, kecuali jika mereka memerangi kalian (di tempat itu) maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memerangi kalian) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah saja. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian) maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang zhālim.” (QS. al-Baqarah [2]: 190-193)

Dengan demikian, Rasūlullāh s.a.w. hanya memerangi orang Quraisy, tidak semua bangsa ‘Arab.

Namun, ketika mereka (Quraisy dan lainnya) bahu-membahu memerangi kaum Muslimīn maka Allah s.w.t. memerintahkan kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk memerangi orang-orang musyrik secara keseluruhan melalui firman-Nya dalam surat at-Taubah:

وَ قَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَآفَّةً

Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka memerangi kalian semuanya.” (QS. at-Taubah [9]: 36)

Dengan demikian, jihād (perang) menjadi umum, yaitu melawan orang-orang yang tidak memiliki kitab atau orang-orang watsanī (musyrikīn penyembah berhala). Pengertian ini merupakan pembenaran dari sabda Rasūlullāh s.a.w.:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَ يُقِيْمُوا الصَّلَاةَ، وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ عَصَمُوَا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ، وَ حِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan lā ilāha ilallāh (tiada ilāh yang berhak diibadahi melainkan Allah), dan bahwa Muḥammad adalah utusan Allah, serta mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila mereka mau mengatakannya maka mereka telah memelihara darah dan harta benda mereka dariku kecuali berdasarkan hak Islām, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah.” (191)

Ketika kaum Muslimīn mendapati orang Yahūdī mengkhianati perjanjian yakni mereka telah membantu kaum musyrikin untuk memerangi mereka maka Allah s.w.t. memerintahkan Rasūlullāh s.a.w. supaya memerangi mereka ya‘ni melalui firman-Nya:

وَ إِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الخَائِنِيْنَ

Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. al-Anfāl [8]: 58)

Dengan demikian, memerangi mereka menjadi wajib sampai mereka memeluk Islām, atau menyerahkan jizyah, sedangkan mereka dalam keadaan kalah dan hina, supaya kaum Muslimīn aman dari mereka.

Peperangan Rasūlullāh s.a.w. melawan musuh-musuhnya adalah berdasarkan prinsip-prinsip berikut:

  1. Kaum musyrikīn Quraisy dianggap muḥāribīn karena merekalah yang memulai permusuhan. Oleh sebab itu, kaum Muslimīn berhak memerangi mereka dan menyita barang dagangan mereka sehingga Allah memberi idzin kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk membebaskan kota Makkah atau mengadakan perjanjian yang bersifat sementara di antara kedua golongan tersebut.
  2. Apabila kaum Yahudi terlihat berkhianat dan berpihak kepada kaum musyrikīn maka mereka harus diperangi sehingga kaum Muslimīn hidup aman dari mereka, yaitu dengan cara pengusiran atau peperangan.
  3. Apabila ada suatu kabilah ‘Arab memusuhi kaum Muslimīn, atau mereka membantu orang-orang Quraisy, mereka juga harus diperangi sehingga mereka mau memeluk agama Islām.
  4. Setiap golongan yang lebih dahulu memulai permusuhan dari kalangan Ahli Kitāb seperti orang-orang Nashrānī, mereka akan diperangi sehingga tunduk kepada Islam atau membayar jizyah, sedangkan mereka dalam keadaan hina dan kalah.
  5. Setiap orang yang telah memasuki Islām, darah dan hartanya terpelihara kecuali dengan alasan yang hak; dan agama Islām menghapus semua (kesalahan) yang telah lalu.

Allah s.w.t. telah menurunkan dalam al-Qur’ān banyak ayat yang menganjurkan kaum Muslimīn untuk memerangi musuh-musuhnya dan larangan lari dari peperangan. Untuk poin pertama (memerangi musuh), Allah s.w.t. berfirman:

فَلْيُقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يَشْرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ وَ مَنْ يُقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ أَجْرًا عَظِيْمًا

Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (QS. an-Nisā’ [4]: 74)

Kemudian Allah s.w.t. berfirman sebagaimana dengan poin kedua (larangan dari lari dari peperangan):

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوْهُمُ الْأَدْبَارَ. وَ مَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَ مَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَ بِئْسَ الْمَصِيْرُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerang kalian, janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Barang siapa membelakangi mereka (mundur) pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya adalah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. al-Anfāl [8]: 15-16)

Permulaan Peperangan

Kebiasaan kaum Quraisy ialah pergi ke negeri Syām membawa barang dagangan mereka untuk menjual dan belanja barang dagangan. Kafilah yang membawa barang dagangan ini dinamakan al-‘ir (kafilah dagang). Para tokoh dan orang terhormat biasanya juga ikut serta dalam kafilah itu untuk menjaga keamanan kafilah tersebut. Perjalanan sampai ke negeri Syām, harus melewati Dār-ul-Hijrah (Madīnah). Maka, Rasūlullāh s.a.w. menggunakan kesempatan ini untuk mencegat kafilah dagang tersebut ketika berangkat maupun pulang. Hal ini supaya menjadi balasan buat kaum musyrikīn Makkah sehingga kekuatan ekonomi mereka melemah. Hal itu juga menjadi faktor utama yang membuat mereka lemah di medan pertempuran yang pasti akan terjadi karena orang Quraisy pasti tidak akan membiarkan orang yang mengatakan bodoh akal mereka dan mencela peribadatan mereka, apalagi mereka adalah teladan bagi bangsa ‘Arab dalam masalah agama.

Sariyyah (Ekspedisi) Ḥamzah Bin ‘Abd-il-Muththalib (202)

Pada bulan Ramadhān, Rasūlullāh s.a.w. mengirim pamannya, Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib memimpin tiga puluh pasukan yang terdiri dari kaum Muhājirīn. Rasūlullāh s.a.w. memberikan liwā’ (panji) berwarna putih yang dibawa oleh Abū Martsad, sekutu Ḥamzah. Pasukan sariyyah ini dimaksudkan untuk menghadang kafilah dagang orang Quraisy yang kembali dari Syām. Dalam kafilah ini terdapat Abū Jahal dan tiga ratus orang kaum musyrikīn yang menjadi teman-temannya. Ḥamzah berangkat membawa pasukannya sampai di tepi pantai yang terletak di daerah al-‘Aish. (213) Mereka bertemu dengan kafilah tersebut, tetapi ketika kedua golongan itu telah berhadap-hadapan, tiba-tiba muncullah seseorang yang bernama Majdi bin ‘Amr al-Junainī memisah kedua golongan yang akan bertempur itu. Akhirnya, mereka menaatinya dan tidak jadi berperang. Rasūlullāh s.a.w. berterima kasih sekali atas peran yang dilakukan oleh Majdi karena pada waktu itu personil pasukan Muslimīn sedikit, sedangkan musuh mereka jauh lebih banyak.

Sariyyah Ubaidah bin al-Ḥārits

Pada bulan Syawwal tahun ini juga, Rasūlullāh s.a.w. mengirim ‘Ubaidah bin al-Ḥārits, saudara sepupu Ḥamzah, untuk memimpin delapan puluh pasukan berkuda dari kalangan Muhājirīn. Rasūlullāh s.a.w. memberikan panji berwarna putih untuknya dan dibawa oleh Misthah bin Utsatsah. Tujuannya adalah untuk menghadang kafilah dagang kaum Quraisy yang melewati kawasan tersebut. Kafilah itu dikawal oleh dua ratus pasukan. Mereka bertemu dengan iring-iringan ekspedisi di lembah Rabigh. Lalu terjadilah saling memanah di antara kedua pasukan. Kemudian pasukan kaum musyrikīn takut kalau kaum Muslimīn memiliki pasukan cadangan. Lalu mereka lari, tetapi kaum Muslimīn tidak mengejarnya. Pada saat itu ada di antara pasukan kaum musyrikīn yang membelot lari ke pihak kaum Muslimīn. Mereka adalah al-Miqdād bin al-Aswad dan ‘Utbah bin Ghazwān karena ternyata kedua orang tersebut sebelumnya telah masuk Islām. Mereka berdua sengaja ikut bersama pasukan kaum musyrikīn untuk bergabung dengan kaum Muslimīn.

Orang-orang yang Meninggal Dunia pada Tahun Itu.

Pada tahun (pertama) tersebut, beberapa orang Muhājirīn meninggal dunia, seperti ‘Utsmān bin Mazh‘ūn, saudara sepersusuan Rasūlullāh s.a.w. Ia termasuk orang pertama yang masuk Islam dan telah mengikuti hijrah kaum Muslimin sebanyak dua kali. Tatkala ‘Utsmān bin Mazh‘ūn telah dikebumikan, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan agar kuburannya disiram dengan air, kemudian diletakkan di atasnya sebuah batu. Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku jadikan (batu) itu sebagai pertanda kuburan saudaraku, dan aku akan mengebumikan keluargaku yang meninggal dunia dengan cara yang sama.” Inilah tujuan dari peletakan batu nisan di atas kuburan, bukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup jauh setelah itu. Mereka membangun bangunan di atas kuburan, kemudian diberi gambar yang kelihatan mirip dengan berhala-berhala. Mereka bermaksud supaya kaum kerabat mayit datang, lalu menyelenggarakan pesta sehingga sangat mirip dengan apa yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin Makkah di tempa-tempat peribadatan mereka. Alangkah sia-sianya jika kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasūlullāh s.a.w. yang menyangkut masalah akhirat.

Pada tahun itu, dari kaum Anshār ada juga yang meninggal dunia, yaitu As‘ad bin Zurarah, salah seorang dari dua belas orang tokoh (dalam Bait ‘Aqabah). Shahabat As‘ad bin Zurarah r.a. adalah pemimpin Bani Najjār. Ketika ia meninggal dunia, Rasūlullāh s.a.w. memilih sendiri penggantinya untuk memimpin kaun As‘ad bin Zurarah, karena beliau s.a.w. adalah anak saudara perempuan mereka. Kemudian pada tahun itu, wafat pula salah seorang pemimpin shalawat Anshār lainnya, yaitu al-Barā’ bin Ma‘rūr. Al-Barrā’ bin Ma‘rūr merupakan juru bicara kaumnya pada waktu Bait ‘Aqabah kedua.

Pada tahun itu juga dari kalangan kaum musyrikīn Makkah yang meninggal dunia adalah al-Walīd bin al-Mughīrah. Ketika sedang menghadapi kematiannya, ia tampak sangat gelisah. Lalu Abū Jahal berkata kepadanya: “Apakah gerangan yang membuat paman gelisah sekali?” Al-Walīd bin al-Mughīrah menjawab: “Demi Allah, sebenarnya aku tidak gelisah karena menghadapi maut, tetapi aku khawatir agama Ibnu Abī Kabsyah (Nabi Muḥammad s.a.w.) akan menang di Makkah.” Kemudian dijawab oleh Abū Sufyān: “Jangan khawatir, aku jamin dia tidak akan menang.”

Pada tahun itu juga meninggal pula al-‘Āsh bin Wā’il as-Sahmī. Akhirnya, Allah s.w.t. membungkam kejahatan kedua orang celaka itu.

 

TAHUN KEDUA HIJRIYYAH

Perang Waddan (224)

Setelah lewat dua belas malam dalam tahun kedua hijriyyah, Rasūlullāh s.a.w. keluar dari kota Madīnah setelah menunjuk Sa‘ad bin ‘Ubādah untuk memimpin Madīnah. Rasūlullāh s.a.w. bersama pasukannya keluar dari kota Madīnah untuk menghadang kafilah dagang Quraisy.

Rasūlullāh s.a.w. berangkat hingga sampai di Waddan. (235) Pada saat itu yang membawa panji perang adalah paman Rasūlullāh s.a.w., Ḥamzah. Namun, ternyata Rasūlullāh s.a.w. tidak menjumpai kafilah yang dimaksud karena mereka telah mendahuluinya.

Akhirnya, Rasūlullāh s.a.w. hanya dapat melakukan hal lain, yaitu mengadakan perjanjian damai dengan Bani Dhamrah, dan kaum Muslimīn harus membantu mereka jika ada yang menyerang mereka. Sebaliknya, orang-orang Bami Dhamrah harus membantu kaum Muslimīn apabila mereka diperlukan bantuannya. Lima belas malam kemudian kaum Muslimīn di bawah pimpinan Rasūlullāh s.a.w. kembali ke Madīnah.

Perang al-Buwath (246).

Tidak lama setelah kembali dari Waddan, beliau s.a.w. mendengar berita bahwa kafilah dagang Quraisy sedang dalam perjalanan pulang dari Syām. Kali ini ekspedisi itu di bawah pimpinan Umayyah bin Khalaf, beserta seratus orang Quarisy. Mereka membawa 2500 ekor unta.

Setelah mendengar kabar tersebut, Rasūlullāh s.a.w. berangkat bersama dua ratus prajurit dari kaum Muhājirīn. Untuk kali ini sebagai pembawa panji adalah shahabat Sa‘ad bin Abī Waqqāsh r.a. Rasūlullāh s.a.w. membawa pasukannya sampai di al-Buwath, (257) akan tetapi beliau tidak menemukan kafilah tersebut karena telah berlalu. Akhirnya, beliau kembali dan tidak mengalami suatu peperangan pun. Hal ini karena kaum musyrikīn sangat hati-hati dalam menjaga diri mereka. Mereka berusaha sekuat tenaga menjaga ihwal mereka supaya tidak terdengar oleh penduduk Madīnah.

Setelah mendengar kabar tersebut, Rasūlullāh s.a.w. berangkat bersama dua ratus prajurit dari kaum Muhājirīn. Untuk kali ini sebagai pembawa panji adalah shahabat Sa‘ad bin Abī Waqqāsh r.a. Rasūlullāh s.a.w. membawa pasukannya sampai di al-Buwath, (258) akan tetapi beliau tidak menemukan kafilah tersebut karena telah berlalu. Akhirnya, beliau kembali dan tidak mengalami suatu peperangan pun. Hal ini karena kaum musyrikīn sangat hati-hati dalam menjaga diri mereka. Mereka berusaha sekuat tenaga menjaga ihwal mereka supaya tidak terdengar oleh penduduk Madīnah.

Perang al-‘Usyairah (269)

Setelah Rasūlullāh s.a.w. kembali dari al-Buwath, kaum Quraisy berangkat dari Makkah dengan membawa suatu kafilah dagang yang paling besar. Orang Quraisy telah mengumpulkan semua harta benda mereka sehingga tidak ada seorang laki-laki atau seorang perempuan Quraisy yang memiliki mitsqat emas yang tidak dikirimkannya untuk diperdagangkan melalui kafilah dagang ini. Kafilah dagang tersebut di bawah pimpinan Abū Sufyān bin Ḥarb disertai dua puluh orang laki-laki lebih untuk mengawalnya.

Setelah mendengar berita tersebut, pada bulan Jumad-il-Awwal Rasūlullāh s.a.w. keluar bersama seratus lima puluh pasukan dari Muhājirīn untuk mencegatnya. Sebelum Rasūlullāh s.a.w. berangkat, terlebih dahulu menunjuk Abū Salamah bin ‘Abd-il-Aswad untuk memimpin urusan di Madīnah. Adapun pemegang panjinya adalah Ḥamzah, paman Rasūlullāh s.a.w. Rasūlullāh s.a.w. terus berjalan hingga sampai di daerah al-‘Usyairah, tetapi ternyata kafilah yang dimaksud sudah lewat. Dalam ghazwah ini Rasūlullāh s.a.w. mengadakan perjanjian dengan Bani Mudji dan sekutunya. Kemudian Beliau s.a.w. pulang ke Madīnah dan menunggu kafilah tersebut ketika pulang nanti.

Catatan:

  1. 19). HR. al-Bukhārī (1399, 1457, 6924, 7284), dan Muslim (20, 21).
  2. 20). Ath-Thabaqāt, Ibnu Sa‘ad (2/4-5).
  3. 21). Salah satu sudut di wilayah kota Madīnah.
  4. 22). As-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah (1/345) dan As-Sīrat-un-Nabawiyyah, ad-Dimyāthī, hlm. 185.
  5. 23). Desa yang terletak antara Makkah dan Madīnah, jaraknya dengan Abwā’ adalah 6 mil.
  6. 24). As-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah (1/346) dan As-Sīrat-un-Nabawiyyah karya ad-Dimyāthī, hlm. 185-186
  7. 25). Gunung suku Juhainah, terletak beberapa bard dari Madīnah ke arah Yanbū‘.
  8. 25). Gunung suku Juhainah, terletak beberapa bard dari Madīnah ke arah Yanbū‘.
  9. 26). As-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah (1/354), dan As-Sīrat-un-Nabawiyyah, Ad-Dimyāthī, hlm. 186-187.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *