PASAL 2
Ketika Muḥammad s.a.w mencapai usia sempurna, yaitu empat puluh tahun, Allah s.w.t. mengutusnya kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan untuk mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan menuju cahaya ‘ilmu. Hal itu terjadi pada awal bulan Februari tahun 610 Masehi, sebagaimana dijelaskan oleh Maḥmūd Bāsyā r.h., ahli ‘ilmu falak. Setelah dilakukan penelitian secara mendetail, ternyata hal tersebut terjadi pada tangga 17 Ramadhān tahun 13 sebelum Hijrah, bertepatan dengan bulan Juli tahun 610 Masehi.
Permulaan wahyu yang diturunkan kepadanya ialah berupa mimpi yang benar, dan disebutkan bahwa Muḥammad tidak melihat wahyu datang selain bagaikan cahaya Shubuḥ, sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh Allah terhadap makhlūq-Nya, yaitu selalu dalam bentuk bertahap dalam semua hal, lalu meningkat sampai kepada tingkatan yang sempurna karena sangat sulit bagi manusia untuk menerima waḥyu dari malaikat secara langsung untuk yang pertama kalinya. Kemudian Muḥammad s.a.w. dibekali dengan kecenderungan senang berkhalwat (menyendiri) untuk menjauhi kegelapan alam ini, memutus hubungan dengan manusia untuk beribadah kepada Allah. Sebab, dalam ber-‘uzlah dapat menjernihkan jiwa. Muḥammad sering melakukan ‘uzlah di Gua Ḥirā’. Di sana Beliau beribadah beberapa hari, kadang sepuluh hari atau lebih sampai satu bulan. Ibadah yang dilakukannya ialah menurut agama Nabi Ibrāhīm a.s. (61). Untuk itu, Muḥammad saw membawa bekal secukupnya. Seandainya bekal yang dibawanya telah habis, Beliau kembali kepada Khadījah r.a. untuk mengambil bekal serupa sampai wahyu datang kepadanya di Gua Ḥirā’ tersebut.
Pada suatu hari, ketika Muḥammad sedang berada di dalam Gua Ḥirā’, tiba-tiba muncullah seseorang lalu berkata kepadanya: “Bergembiralah wahai Muḥammad, aku adalah Jibrīl dan engkau adalah utusan Allah untuk umat ini.” Kemudian malaikat Jibrīl berkata kepadanya: “Bacalah!” Muḥammad s.a.w. menjawab: “Aku tidak bisa membaca.” Karena Muḥammad adalah seorang ummi (buta huruf) yang belum pernah belajar membaca. Lalu malaikat Jibrīl menutupi diri Muḥammad dengan selimut yang dipakai sebagai alas tempat tidurnya sehingga Muḥammad kesulitan karenanya. Kemudian malaikat Jibrīl melepaskannya dan berkata lagi: “Bacalah!” Muḥammad menjawab: “Aku tidak bisa membaca.”
Kemudian malaikat Jibrīl mendekap Muḥammad untuk kedua kalinya setelah itu melepaskannya. Ia berkata lagi: “Bacalah!” Muḥammad menjawab: “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian malaikat Jibrīl mendekapnya lagi untuk ketiga kalinya, kemudian dilepaskannya lagi. Lalu (Jibrīl) berkata sebagaimana dalam Sūrat-ul-‘Alaq [96]: 1-5:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. pulang membawa wahyu dengan hati penuh ketakutan dan badannya gemetar karena rasa takut yang masih melekat pada dirinya akibat bertemu dengan malaikat untuk pertama kalinya. Beliau menemui Khadījah binti Khuwailid r.a. Beliau berkata: “Selimuti aku!” “Selimuti aku!”
Hal ini untuk menghilangkan gigil ketakutannya. Khadījah r.a. pun segera menyelimuti Beliau sampai hilang gigil ketakutan Beliau. Lalu Beliau menceritakan kepada Khadījah peristiwa yang telah Beliau alami.
Beliau berkata: “Aku takut akan terjadi sesuatu pada diriku.”
Pasalnya, baru saja malaikat mendekapnya sampai hampir mati, dan sebelum itu Beliau belum pernah mengetahui malaikat Jibrīl dan juga bentuknya.
Khadījah pun berkata: “Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu sama sekali. Sungguh, engkau adalah orang yang menyambung silaturrahmi, menanggung beban (kaum dhu‘afā’ dan fakir), menyedekahkan harta kepada yang membutuhkan, memuliakan tamu dan membantu orang yang terkena musibah. (72). Allah s.w.t. tidak akan membiarkan syaithān dan angan-angan (hawa nafsu) menguasai dirimu. Dan tidak bisa disangkal kalau Allah memilihmu untuk memberikan hidāyah kepada kaummu.”
Untuk memperkuat dugaannya itu Khadījah hendak membuktikannya kepada orang yang mengetahui perihal para rasūl, yaitu kepada orang yang telah menelaah kitab-kitab kaum terdahulu. Maka berangkatlah Khadījah r.a. dengan Nabi s.a.w. menemui Waraqah bin Naufal, sepupu Khadījah. Waraqah adalah orang yang beragama Nasrani pada masa jahiliah. Ia mampu menulis kitab Injīl dalam bahasa Ibrani sebanyak yang dikendaki Allah. Ketika itu Waraqah sudah tua dan buta.
Kata Khadījah: “Wahai sepupuku, dengarkanlah kata sepupumu (Muḥammad) ini!”
Waraqah bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Wahai sepupuku, apa yang kamu alami?”
Rasūlullāh s.a.w. pun menuturkan kepada Waraqah apa yang telah Beliau alami, lalu Waraqah mengatakan kepada Beliau: “Dia itu an-Nāmūs (Jibrīl) yang juga telah diutus oleh Allah kepada Nabi Mūsā.”
Sebab, Waraqah mengetahui bahwa utusan Allah kepada para nabi-Nya hanyalah malaikat Jibrīl. Kemudian ia mengatakan: “Seandainya aku masih muda dan masih kuat ketika nanti kaummu mengusirmu dari negerimu tempatmu tumbuh karena permusuhan mereka kepadamu dan kebencian mereka terhadapmu, yaitu ketika engkau meminta mereka mengubah keyakinan-keyakinan mereka yang mereka warisi dari kakek moyang mereka.”
Mendengar keterangan itu Rasūlullāh heran dengan sehubungan dengan tindakan oleh kaumnya terhadap dirinya. Sebab, selama ini kaumnya sangat mencintainya mengingat Beliau berakhlāq mulia dan berkata jujur sehingga kaumnya menjulukinya al-Amīn. Oleh sebab itu Rasūlullāh bertanya menegaskan: “Apa mereka benar-benar akan mengusirku?”
Waraqah bin Naufal menjawab: “Ya. Tidak ada seorang lelaki pun yang menyampaikan waḥyu seperti yang kamu bawa ini melainkan akan dimusuhi.”
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’ān, Allah s.w.t. berfirman dalam Sūratu Ibrāhīm [14]: 13:
وَ قَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِّنْ أَرْضِنَا أَوْ لَتَعُوْدُنَّ فِيْ مِلَّتِنَا
“Orang-orang kafir berkata kepada rasūl-rasūl mereka, Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.”
Untuk menyempurnakan kepercayaan Waraqah terhadap risalah yang diemban oleh Rasūlullāh s.a.w. ia berkata: “Seandainya aku masih hidup nanti kamu diusir niscaya aku akan membelamu dengan segenap kemampuanmu.” Namun, tidak lama kemudian Waraqah bin Naufal wafat.
Terkait permasalahan berapa lama terputusnya waḥyu, para mu’arrikh (ahli sejarah) tidak bersepakat. Adapun pendapat yang paling kuat adalah empat puluh hari. Hal ini dimaksudkan supaya Rasūlullāh s.a.w. semakin bertambah rindu kepada waḥyu berikutnya, dan memang hal itu benar terjadi. Keadaannya, Beliau s.a.w. sangat merindukan waḥyu sampai-sampai ketika Beliau berada di puncak gunung Beliau hendak melemparkan dirinya dari puncak itu karena khawatir Allah memutus (waḥyu) untuknya setelah Dia memperlihatkan nikmat-Nya yang besar, yaitu Dia memilihnya menjadi perantara antara Dia dan makhlūq-Nya. Lalu malaikat menampakkan diri untuk Beliau seraya berkata: “Engkau adalah benar-benar utusan Allah,” sehingga tenanglah hati Beliau dan mengurungkan niatnya, sampai Allah ingin menampakkan cahaya agama ini untuk alam semesta. Sejak saat itu waḥyu kembali turun kepadanya.
Ketika sedang berjalan (94), tiba-tiba Rasūlullāh s.a.w. mendengar suara lalu mengangkat pandangannya ke langit. Ternyata tampaklah malaikat yang dulu pernah mendatangi Beliau di Gua Ḥirā’. Malaikat tersebut sedang duduk di antara langit dan bumi. Beliau pun merasa takut kepadanya mengingat apa yang pernah dilakukan malaikat tersebut pada pertemuan pertama. Lalu Beliau pulang ke rumah dan berkata: “Selimuti aku!” “Selimuti aku!” Kemudian Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya Sūrat-ul-Muddatstsir [74]: 1-2:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ
“Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan!”
Maksudnya, berilah peringatan kepada umat manusia dari ‘adzāb Allah bila mereka tidak juga mau meninggalkan kesesatan dan peribadahan yang dilakukan oleh kakek moyang mereka.
وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ
“Dan Rabb-mu agungkanlah.” (al-Muddatstsir [74]: 3)
Maksudnya, istimewakanlah Dia dengan mengagungkan-Nya dan jangan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu, bersihkanlah.” (al-Muddatstsir [74]: 4)
Maknanya, bersihkanlah pakaianmu supaya kamu benar-benar mempersiapkan diri untuk berdiri di hadapan Allah karena tidak pantas bagi seorang mu’min melakukan itu dalam keadaan kotor dan terkena najis.
وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ
“Dan perbuatan dosa, tinggalkanlah.” (al-Muddatstsir [74]: 5)
Maknanya, tinggalkanlah hal-hal yang menyebabkan datangnya ‘adzāb. Caranya adalah dengan taat kepada Allah dan melaksanakan perintah-Nya.
وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ
“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. ” (al-Muddatstsir [74]: 6)
Ma‘nanya, janganlah kamu memberikan suatu pemberian kepada seseorang, sedangkan kamu mempunyai maksud untuk mendapat balasan yang lebih banyak dari apa yang telah kamu berikan kepadanya. Sebab, perbuatan semacam ini bukan termasuk sifat orang yang dermawan.
وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
“Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu, bersabarlah.” (al-Muddatstsir [74]: 7)
Ma‘nanya, kamu harus bersabar atas apa yang akan menimpa dirimu sebagai akibat dari perlakuan kaummu yang menyakitkan ketika kamu menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah.