Hati Senang

Di Tengah Bani Sa‘ad bin Bakar – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri

Di Tengah Bani Sa‘ad bin Bakar

Tradisi yang berjalan di kalangan Bangsa ‘Arab yang relatif sudah maju, di mana mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya. Tujuannya adalah menjauhkan anak-anak mereka dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa ‘Arab. Maka ‘Abd-il-Muththalib mencari para wanita yang bisa menyusui beliau. Dia meminta kepada seorang wanita dari Bani Sa‘ad bin Bakar agar menyusui beliau, Ḥalīmah binti Abī Dzu’aib, dengan di dampingi suaminya, al-Ḥārits bin ‘Abd-il-‘Uzza yang berjulukan Abū Kabsyah dari kabilah yang sama.

Saudara-saudara sepersusuan Rasūlullāh s.a.w. adalah, ‘Abdullāh bin al-Ḥārits, Unaisah binti al-Ḥārits, Ḥadzāfah atau Jadzāfah binti al-Ḥārits (yaitu asy-Syaimā’ yang merupakan julukan yang umumnya dipakai untuk namanya). Selain menyusui Rasūlullāh s.a.w. Ḥalīmah juga menyusui Abū Sufyān al-Ḥārits bin ‘Abd-il-Muththalib, anak paman atau keponakan Rasūlullāh s.a.w.

Paman beliau s.a.w., yaitu Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib juga disusui di Bani Sa‘ad bin Bakar. Suatu hari ibu susuan Rasūlullāh s.a.w. juga pernah menyusui Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib selagi beliau masih dalam susuannya. Dengan demikian, Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib adalah saudara sesusuan Rasūlullāh s.a.w. dari dua pihak, yaitu dari Tsuwaibah dan dari Ḥalīmah as-Sa‘diyyah. (81)

Ḥalīmah as-Sa‘diyyah bisa merasakan berkah yang dibawa oleh Rasūlullāh s.a.w., sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Isḥāq yang mengisahkan bahwa Ḥalīmah as-Sa‘diyyah pernah keluar dari negerinya bersama suami dan anak yang disusuinya, serta bersama beberapa wanita dari Bani Sa‘ad bin Bakar. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui.

Dia berkata: “Itu terjadi pada masa paceklik, tidak banyak kekayaan yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambil air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur, karena harus meninabobokan bayi kami yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan, sekalipun kami tetap masih mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tidak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya.

Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasūlullāh s.a.w. pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, karena kami memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kamu susui. Kami semua berkata: “Dia adalah anak yatim.” Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau s.a.w., karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku: “Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama wanita teman-temanku tanpa membawa seorang bayi yang kususui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.” Suaminya menjawab: “Jangan lakukan itu.” Aku pun berkata: “Mudah-mudahan Allah memberkahi kita dengan mengambil anak itu.”

Ḥalīmah melanjutkan kisahnya: “Aku pun pergi menemui bayi itu (Rasūlullāh s.a.w.) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susu sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal, sebelum itu kami tidak pernah tidur sedikit pun karena mengurus bayi kami. Kemudian suamiku menghampiri untanya yang sudah tua, ternyata air susunya menjadi penuh, maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu unta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.”

Esok harinya suamiku berkata kepadaku: “Demi Allah, tahukah engkau wahai Ḥalīmah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh berkah.” Ḥalīmah as-Sa‘diyyah pun berkata: “Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu.”

Ḥalīmah as-Sa‘diyyah melanjutkan penuturannya: “Kemudian kami pun siap-siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan bersamaku di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan cukup jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku, sehingga rekan-rekanku berkata keapdaku: “Wahai putri Abū Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini adalah keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?” Ḥalīmah as-Sa‘diyyah berkata: “Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku dulu.” Mereka berkata: “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa.”

Kami pun tiba di tempat tingal kami di daerah Bani Sa‘ad bin Bakar. Aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga berisi penuh, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes, sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya: “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaannya kalian seperti yang dilakukan oleh gembala putri Abū Dzu’aib.” Namun, domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan tidak ada setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya berisi penuh. Kami senantiasa mendapatkan tambahan berkah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.

Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan berkahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya: “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anakmu ini tetap bersama kami hingga menjadi besar, karena aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus-menerus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami. (92) (103).

Begitulah Rasūlullāh s.a.w. tinggal di tengah-tengah Bani Sa‘ad bin Bakar, hingga tatkala beliau berumur empat atau lima tahun (114) terjadi peristiwa pembelahan dada beliau.

Imām Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. didatangi Malaikat Jibrīl, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Malaikat Jibrīl memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata: “Ini adalah bagian syaithan yang ada pada dirimu.” Lalu Malaikat Jibrīl mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata: “Muḥammad telah dibunuh!” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajahnya semakin berseri. (125).

Catatan:

  1. 8). Zād-ul-Ma‘ād, I/19.
  2. 9). Ibnu Hisyām, I/162-164.
  3. 10). Komentar: Kisah ini dha‘īf (lemah riwayatnya). Al-Albānī berkata dalam ad-Difā‘u ‘anil-Aḥādīts-in-Nabawi was-Sīrah hal. 39-40: “Kisah ini tidak memiliki sanad yang bisa dijadikan pijakan. Jalur yang paling populer adalah yang diriwayatkan oleh Muḥammad bin Isḥāq, dari Jahm bin Abī Jahm, dari ‘Abdullāh bin Ja‘far, dari Ḥalīmah binti al-Ḥārits as-Sa‘diyyah.”

    Hadits itu juga diriwayatkan oleh Abū ‘Alī (I/128), Ibnu Ḥibbān meriwayatkan darinya (Mawārid, 2094), Abū Nu‘aim dalam Dalā‘il-un-Nubuwwah, I/47, dari Ibnu Isḥāq dengan itu, al-Baihaqī di Dalā‘il-un-Nubuwwah, I/108 darinya juga hanya saja ia mengatakan: “Kami mendapatkan cerita dari Jahm bin Abī Jahm – mantan budak seorang wanita dari Bani Tamīm yang ketika itu berada di tempat al-Ḥārits bin Ḥātib, dan biasanya dipanggil, Maulā al-Ḥārits bin Ḥātib – yang mengatakan: “Telah bercerita kepada kami orang yang mendengar ‘Abdullāh bin Ja‘far bin Abī Thālib yang berkata: “Aku menceritakan dari Ḥalīmah binti al-Ḥārits.”

    Saya katakan: Ini adalah sanad yang dha‘īf karena di dalamnya terdapat dua cacat:

    Pertama, ada keguncangan di sanad-sanadnya – seperti yang terlihat nyata – karena riwayat pertama merupakan ‘an‘anah dari Ibnu Isḥāq dari seluruh perawinya. Riwayat Kedua, penegasanya dengan menggunakan taḥdīts (bercerita kepada kami) padahal sangat jelas bahwa al-Jahm tidak mendengar dari ‘Abdullāh bin Ja‘far, dan pernyataan yang jelas bahwa dia tidak mendengar dari Ḥalīmah. Jadi, pada riwayat pertama ada yang terputus antara Ibnu Isḥāq dan al-Jahm. Karena perawi pertama terkenal melakukan tadlīs. Sedangkan pada riwayat kedua ada yang terputus di dua tempat. Dari sini dapat diketahui kesalahan al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar di dalam al-Ishābah (IV/266) karena ia mengatakan: “Ibnu Ḥibbān (dalam Shaḥīḥ-nya) menyatakan dengan tegas tentang taḥdīts antara ‘Abdullāh dan Ḥalīmah.” Padahal, tidak ada sama sekali taḥdīts ini di Ibnu Ḥibbān ataupun di orang lain yang kami sebutkan. Jauh sekali kemungkinan ‘Abdullāh bin Ja‘far pernah bertemu dengan Ḥalīmah, ibu susuan Rasūlullāh s.a.w. Karena ketika Nabi s.a.w. wafat, ‘Abdullāh baru berusia 10 tahun, sedangkan Ḥalīmah – meski tidak ada yang menyebutkan kapan wafatnya – menurut perhitungan pada umumnya mestinya sudah wafat sebelum Rasūlullāh s.a.w. Wallāhu a‘lam.

    Cacat lain, bahwa poros sanadnya di Jahm bin Abī Jahm, padahal keadaannya tidak diketahui. Adz-Dzahabī berkata di dalam al-Mīzān: “Ia tidak diketahui memiliki kisah tentang Ḥalīmah as-Sa‘diyyah.”

    Adapun Ibnu Ḥibbān menyebutkannya di dalam ats-Tsiqāt (I/31) pada kaidahnya dalam memastikan orang-orang yang tidak dikenal. Kisah ini dalam penuturan Abū Nu‘aim memiliki dua jalur lain yang berpangkal ke al-Wāqidī, seorang pendusta:

    Pertama, dari gurunya, Mūsā bin Syaibah yang berstatus layyin-ul-ḥadīts, seperti diungkapkan oleh al-Ḥāfizh di dalam at-Taqrīb dan lainnya: “Dari ‘Abd-ush-Shamad bin Muḥammad as-Sa‘dī, dari ayahnya, dari kakeknya yang berkata: “Beberapa orang yang menggembala kambing Ḥalīmah bercerita kepadaku……; dst. Dan mereka semua tidak dikenal.

    Dr. Akram Dhiyā’-ul-‘Umarī di kitab as-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah I/102 mengatakan: “Para kritikus telah serampangan dalam menyatakan ḥasan suatu cerita meskipun banyak cacat di sanadnya. Adz-Dzahabī berkata: “Ini adalah hadits yang sanadnya bagus.” Ibnu Katsīr mengatakan: “Hadits ini telah diriwayatkan dari jalur-jalur lain.” Dan itu termasuk hadits yang populer dan terus bergulir di antara para ahli sejarah dan peperangan. Hadits ini juga memiliki penguat yang lemah dari Ibnu ‘Abbās seperti disebutkan di Dalā’il, karya al-Baihaqī. Ibnu ‘Asākir mengatakan: “Hadits ini gharīb jiddan dan di dalamnya terdapat kata-kata lemah yang tidak mirip dengan yang benar.”

    Lihat: Sīratu Ibni Hisyām, I/211, taḥqīq: Majdi Fatḥi as-Sayyid, Cet. Dar-ush-Shahabah, Thantha dan Taḥdzīr-ud-Dā‘iyyati min-al-Qashash-il-Waḥiyyah, Syaikh ‘Alī bin Ibrāhīm Husyaisy, hal. 42-48 (al-Malaḥ).

  4. 11). Ini adalah pendapat mayoritas pakar sejarah. Tetapi, menurut riwayat Ibnu Isḥāq bahwa peristiwa itu terjadi pada usia tiga tahun. Lihat Ibnu Hisyām, I/164-165.
  5. 12). Shaḥīḥ Muslim, bab al-Isrā’, I/92.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.