Denfinisi Amr (Perintah) – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

AMR (PERINTAH)

Denfinisi Amr

(وَ الْأَمْرُ اسْتِدْعَاءُ الْفِعْلِ بِالْقَوْلِ مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ عَلَى سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ)
فَإِنْ كَانَ الْاِسْتِدْعَاءُ مِنَ الْمُسَاوِيْ سُمِّيَ إِلْتِمَاسًا، وَ مِنَ الْأَعْلَى سُمِّيَ سُؤَالًا
وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَى سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ بِأَنْ جُوِّزَ التَّرْكُ فَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَيْسَ بِأَمْرٍ، أَيْ فِي الْحَقِيْقَةِ.

Amr adalah tuntutan dilakukannya sebuah perbuatan dengan menggunakan ucapan dari orang yang lebih rendah secara wājib.

Apabila permintaan ditujukan kepada orang yang sejajar, maka dinamakan iltimās (permintaan). Dan bila ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, maka dinamakan su’āl (permohonan).

Sedangkan permintaan yang disampaikan tidak secara wājib, ya‘ni permintaan (atas sesuatu) yang boleh ditinggalkan, maka zhāhirnya permintaan ini bukanlah amr secara hakikat.

Penjelasan:

Pemilahan tuntutan menjadi amr, iltimās dan su’āl adalah istilah khusus yang digunakan ‘ulamā’ ahli balāghah, manthiq dan selainnya. Sedangkan versi ahli ushul semuanya disebut amr. Seperti dalam firman Allah s.w.t. QS. al-A‘rāf: 110:

فَمَاذَا تَأْمُرُوْنَ

(Fir‘aun berkata): Maka apakah yang kamu anjurkan?

Allah s.w.t. menyebut anjuran pemuka-pemuka kaum Fir‘aun dengan amr, padahal mereka lebih rendah derajatnya, bahkan meyakini Fir‘aun sebagai tuhan. Sehingga tidak mungkin terjadi mereka meninggikan suara di depan Fir‘aun. Penjelasan ini memperkuat pendapat Rājiḥ (unggul) bahwa amr tidak memerlukan syarat (عُلُوٌّ) “lebih tingginya derajat penuntut” dan (اسْتِعْلَاءٌ) “bernada tinggi”. (19).

Amr secara hakikat adalah tuntutan yang wājib dilakukan. Apabila sebuah tuntutan boleh ditinggalkan, maka tuntutan ini tidak bisa disebut amr secara hakikat. Hanya bisa disebut amr secara majāz.

Pertanyaan:

Apa yang dimaksud “ucapan” dan “perbuatan” dalam definisi di atas?

Jawab:

Maksud “ucapan” adalah shīghat (اِفْعَلْ) “berbuatlah” dan yang sejenis. Dan maksud “perbuatan” dalam definisi tersebut adalah segala hal yang bisa disebut perbuatan secara ‘urf. Sehingga lebih umum dari sekedar menggunakan lisan, hati, atau anggota tubuh lainnya.

Referensi:

وَ الْمُرَادُ بِالْقَوْلِ صِيْغَةُ اِفْعَلْ – إِلَى أَنْ قَالَ – وَ الْمُرَادُ بِالْفِعْلِ مَا يُسَمَّى فِعْلًا عُرْفًا أَعَمُّ مِنْ كَوْنِهِ فِعْلَ اللِّسَانِ أَوِ الْقَلْبِ أَوِ الْجَوَارِحِ (لنفحات صــــ 50).

Maksud “ucapan” adalah shīghat (اِفْعَلْ) “berbuatlah) – s/d – Dan maksud “perbuatan” adalah segala hal yang bisa disebut pebuatan secara ‘urf. Lebih umum dari sekedar menggunakan lisan, hati, atau anggota tubuh lainnya.

Pertanyaan:

Apakah tingginya status orang yang menuntut dan lebih rendahnya status orang yang dituntut menjadi syarat mutlak dalam amr?

Jawab:

Ada dua istilah dalam persyaratan amr, (عُلُوٌّ) dan (اسْتِعْلَاءٌ).

(عُلُوٌّ) adalah lebih tingginya derajat penuntut dibandingkan orang yang dituntut. Seperti tuntutan Allah s.w.t. pada hamba-Nya. Hal ini merupakan sifat dari mutakallim (penuntut).

(اسْتِعْلَاءٌ) adalah tuntutan yang bernada tinggi, meskipun sebenarnya menuntut tidak lebih tinggi derajatnya. Seperti tuntutan fakir miskin pada orang kaya dengan keras dan nada tinggi. Hal ini merupakan sifat dari kalām (tuntutan).

Mengenai dua syarat di atas ada empat pendapat ‘ulamā’:

  1. Mensyaratkan (عُلُوٌّ) saja, diungkapkan oleh kelompok Mu‘tazilah, Abū Isḥāq asy-Syīrazī, Ibn-ush-Shabāgh dan as-Sam‘ānī.
  2. Mensyaratkan (اسْتِعْلَاءٌ) saja, diungkapkan oleh Abul-Ḥusain dari Mu‘tazilah, Imām ar-Rāzī, al-Amudī dan Ibn-ul-Ḥājib.
  3. Tidak mensyaratkan keduanya, diungkapkan oleh pensyarah Jam‘-ul-Jawāmi‘ dan Zakariyyā al-Anshārī. Pendapat ini adalah yang unggul.
  4. Mensyaratkan keduanya, diungkapkan sebagian ‘ulamā’.

Pengarang dalam hal ini kemungkinan mengikuti pendapat pertama atau keempat.

Referensi:

وَ الْعُلُوُّ هُوَ صُدُوْرُ الطَّلَبِ مِنَ الْأَعْلَى إِلَى الْأَسْفَلِ كَطَلَبِ اللهِ مِنْ عِبَادِهِ وَ الْأَمِيْرِ مِنْ رَعِيَّتِهِ وَ السَّيِّدِ مِنْ عَبْدِهِ أَوْ خَادِمِهِ. وَ الْاِسْتِعْلَاءُ وَ هُوَ صُدُوْرُ الطَّلَبِ مِنَ الطَّالِبِ بِعَظَمَةٍ وَ تَعَالٍ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ مِمَّنْ يَتَّصِفُ بِصِفَةِ الْعُلُوِّ كَطَلَبِ الْجُنْدِيِّ مِنْ قَائِدِهِ شَيْئًا وَ لكِنْ بِغِلْظَةٍ وَ اسْتِعْلَاءٍ وَ كَطَلَبِ الْفَقِيْرِ مِنَ الْغَنِيِّ شَيْئًا بِغِلْظَةٍ وَ اسْتِعْلَاءِ لَا بَذْلَةٍ وَ تَمَسْكُنٍ. فَالْعُلُوُّ صِفَةُ الْمُتَكَلِّمِ وَ الْاِسْتِعْلَاءُ صِفَةُ الْكَلَامِ (الْوَجِيْزُ صــــ 132).

‘Uluww adalah keluarnya tuntutan dari yang lebih tingginya derajat kepada yang lebih rendah. Seperti tuntutan Allah s.w.t. pada hamba-Nya, pemimpin pada rakyatnya, dan tuan pada budak atau pembantunya. Isti‘lā’ adalah keluarnya tuntutan dari penuntut dengan nada besar dan tinggi, meskipun sebenarnya penuntut tidak tinggi derajatnya. Seperti prajurit yang menuntut komandannya, namun dengan keras dan bernada tinggi, orang fakir yang menuntut orang kaya dengan keras dan nada tinggi. ‘Uluww merupakan sifat dari mutakallim (penuntut). Dan isti‘lā’ merupakan sifat dari kalām (tuntutan).” (al-Wajīz hal. 132).

 

(قَوْلُهُ مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ) – إِلَى أَنْ قَالَ – فَيَكُوْنُ الْمُصَنِّفُ قَدِ اعْتَبَرَ فِي الْأَمْرِ الْعُلُوِّ وَ هُوَ مُوَافِقٌ لِمَا جَرَى عَلَيْهِ الْمُعْتَزِلَةُ وَ أَبُوْ إِسْحَاقٍ الشِيْرَزِيُّ وَ ابْنُ الصَّبَاغِ وَ السَّمْعَانِيْ وَ يَحْتَمِلُ أَنَّهُ اعْتَبَرَ فِيْهِ الْعُلُوُّ وَ الْاِسْتِعْلَاءُ كَمَا قِيْلَ بِهِ – إِلَى أَنْ قَالَ – وَ اعْتَبَرَ فِيْهِ أَبُو الْحُسَيْنِ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَ الْإِمَامُ الرَّازِيُّ وَ الْأَمُدِيُّ وَ ابْنُ الْحَاجِبِ الْاِسْتِعْلَاءَ فَقَدْ وَ مَا جَرَى عَلَيْهِ الشَّارِحُ فِيْ جَمْعِ الْجَوَامِعِ عَدَمُ اعْتِبَارِ كُلٍّ مِنْهُمَا وَ هُوَ الرَّاجِحُ (النَّفَحَاتُ صــ 50).

Ucapan pengarang: dari orang yang lebih rendah) – s/d – maka pengarang mempertimbangkan syarat ‘uluww dalam amr. Hal ini sepaham dengan pendapat yang disampaikan kelompok Mu‘tazilah, Abū Isḥāq asy-Syīrazī, Ibn-ush-Shabāgh dan as-Sam‘ānī. Ada kemungkinan pengarang mempertimbangkan syarat ‘uluww dan isti‘lā’ sebagaimana disampaikan sebagian pendapat – s/d – Abul-Ḥusain dari Mu‘tazilah, Imām ar-Rāzī, al-Amudī dan Ibn-ul-Ḥājib mensyaratkan isti‘lā saja. Sedangkan pendapat yang disampaikan pensyarah Jam‘-ul-Jawāmi‘ adalah tidak mensyaratkan keduanya, dan pendapat ini adalah yang unggul.” (an-Nafaḥāt, hal. 50).

Pertanyaan:

Apakah perbuatan yang sunnah (الْمَنْدُوْبُ) termasuk sesuatu yang dituntut (مَأْمُوْرٌ بِهِ)?

Jawab:

Dalam hal ini ada dua pendapat:

  1. Tidak termasuk (مَأْمُوْرٌ بِهِ), karena perbuatan sunnah tidak harus dilakukan. Diungkapkan oleh Imām Abū Bakar ar-Rāzī, al-Karkhī, al-Jashshāsh, asy-Syarkhasī, Abul-Yasar dan Muḥaqqiqīn dari Ashḥāb-usy-Syāfi‘ī. Mereka mengggunakan dua dalīl:

(1) Firman Allah Q.S. Thāhā: 93:

أَفَعَصَيْتَ أَمْرِيْ

Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?

Dari ayat ini disimpulkan bahwa meninggalkan (مَأْمُوْرٌ بِهِ) adalah kemaksiatan, padahal meninggalkan sunnah bukanlah kemaksiatan.

(2). Sabda Nabi s.a.w.:

لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ

Jikalau saja aku tidak memberatkan umatku, pastilah aku perintahkan mereka bersiwak.”

Dari hadits ini disimpulkan bahwa siwāk yang hukumnya sunnah adalah sesuatu yang tidak dituntut (مَأْمُوْرٌ بِهِ). Juga dalam perbuatan sunnah tidak ada (مَشَقَّةٌ) “berat dilakukan” berbeda dengan (مَأْمُوْرٌ بِهِ).

  1. Termasuk (مَأْمُوْرٌ بِهِ). Diungkapkan oleh al-Qādhī Abū Bakar dan segolongan ‘ulamā’ lain. Dua argument mereka sampaikan:

(1). Perbuatan sunnah (الْمَنْدُوْبُ) disepakati merupakan ketaatan (طَاعَةٌ), sedangkan ketaatan merupakan perbuatan yang dituntut untuk dilakukan (مَأْمُوْرٌ بِهِ).

(2). Ahli lughat menyepakati bahwa amr terbagi menjadi amr wājib dan sunnah (الْمَنْدُوْبُ). Adanya pembagian ini mengindikasikan adanya titik persamaan, bahwa keduanya adalah (مَأْمُوْرٌ بِهِ).

Referensi:

(قَوْلُهُ عَلَى سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ) أَيِ التَّحَتُّمِ – إِلَى أَنْ قَالَ – فَعَلَى هذَا الْمَنْدُوْبُ لَيْسَ مَأْمُوْرًا بِهِ لِعَدَمِ تَحَتُّمِ أَمْرِهِ وَ بِهِ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ الرَّازِيُّ وَ الْكَرْخِيُّ وَ الْجَصَّاصُ وَ شَمْسُ الْأَئِمَّةِ السَّرْخِسِيُّ وَ صَدْرُ الْإِسْلَامِ أَبُو الْيَسَرِ وَ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ مُسْتَدِلِّيْنَ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مَأْمُوْرًا لَكَانَ تَرْكُهُ مَعْصِيَةً قَالَ تَعَالَى: أَفَعَصَيْتَ أَمْرِيْ فَيَلْزَمُ أَنْ يَكُوْنَ مَا فُرِضَ مَنْدُوْبًا وَاجِبًا بِأَنَّ السِّوَاكَ مَنْدُوْبٌ وَ الْحَالُ لَيْسَ بِمَأْمُوْرٍ بِهِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ وَ أَيْضًا الْمَنْدُوْبُ لَا مَشَقَّةَ فِيْهِ وَ فِي الْمَأْمُوْرِ بِهِ مَشَقَّةٌ لِلْحَدِيْثِ الْمُتَقَدِّمِ وَ ذَهَبَ الْقَاضِيْ أَبُوْ بَكْرٍ وَ جَمَاعَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَنْدُوْبَ مَأْمُوْرٌ بِهِ لِوَجْهَيْنِ أَلْأَوَّلُ أَنَّ الْمَنْدُوْبَ طَاعَةٌ إِجْمَاعًا وَ الطَّاعَةُ فِعْلُ الْمَأْمُوْرِ بِهِ الثَّانِيْ اِتِّفَاقُ أَهْلِ اللُّغَةِ عَلَى أَنَّ الْأَمْرَ يَنْقَسِمُ إِلَى أَمْرِ إِيْجَابٍ وَ أَمْرِ نَدَبٍ وَ مَوْرِدُ الْقِسْمَةِ مُشْتَرَكٌ. (النَّفَحَاتُ صـــ 50).

“(Ucapan pengarang: secara wājib) artinya harus dilakukan – s/d – mengikuti penafsiran ini, perbuatan sunnah tidak termasuk perbuatan yang diperintahkan (ma’mūr bih), karena perbuatan sunnah tidak harus dilakukan. Diungkapkan oleh Imām Abū Bakar ar-Rāzī, al-Karkhī, al-Jashshāsh, asy-Syarkhasī, Abul-Yasar dan Muḥaqqiqīn dari Ashḥāb-usy-Syāfi‘ī. Mereka berdalīl, seandainya perbuatan sunnah adalah ma’mūr bih, maka meninggalkannya disebut kemaksiatan. Allah berfirman: “Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” Sehingga menetapkan apa yang diperkirakan sunnah menjadi wājib. Bersiwak sunnah hukumnya, dan bersiwak bukan ma’mūr bih berdasarkan sabda Nabi s.a.w.: “Jikalau saja aku tidak memberatkan umatku, pastilah aku perintahkan mereka bersiwak.” Di dalam perbuatan sunnah juga tidak ada unsur berat, dan dalam ma’mūr bih ada unsur berat berdasarkan hadits tersebut. Al-Qādhī Abū Bakar dan segolongan ‘ulamā’ lain memilih pendapat bahwa perbuatan sunnah adalah ma’mur bih dengan dua alasan. (1). Perbuatan sunnah disepakati merupakan ketaatan, sedangkan ketaatan merupakan perbuatan ma’mūr bih. (2). Ahli lughat menyepakati bahwa amr terbagi menjadi amr wājib dan sunnah. Adanya pembagian ini mengindikasikan adanya isytirak (titik persamaan bahwa keduanya adalah ma’mūr bih)”. (an-Nafaḥāt, hal. 50).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *