Definisi Nahi – Terjemah Syarah al-Waraqat

Ushul Fiqh
Terjemah Syarah al-Waraqat
 
Judul (Asli): Syarh al-Waraqat
(Penjelasan dan Tanya Jawab Ushul Fiqh)
 
 
Penyusun: Darul Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridlwan
 
Penerbit: Santri salaf press.

NAHI (LARANGAN)

Definisi Nahi.

 

وَ النَّهْيُ اسْتِدْعَاءُ أَيْ طَلَبُ التَّرْكِ بِالْقَوْلِ مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ عَلَى سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ) عَلَى أَوْزَانِ مَا تَقَدَّمَ فِيْ حَدِّ الْأَمْرِ.

Nahi adalah tuntutan ditinggalkannya sebuah perbuatan dengan ucapan dari orang sebawahnya secara wājib. Sebanding dengan definisi amr yang telah lewat.

Penjelasan:

Nahi adalah tuntutan yang harus dilakukan dan berbentuk ucapan agar sebuah perbuatan ditinggalkan yang datang dari orang yang lebih tinggi kepada orang sebawahnya.

Perbedaan ‘ulamā’ menenai persyaratan (عُلُوٌّ) “lebih tingginya derajat penuntut” dan (اِسْتِعْلَاءٌ) “bernada tinggi” dalam nahi sama dengan bab amr. Namun yang membedakan dengan amr, nahi mutlak menetapkan (الْفَوْرُ) “disegerakan” dan (الدَّوَامُ) “dijauhi selamanya” (291).

Pertanyaan:

Mengapa nahi ketika dimutlakkan menetapkan (الدَّوَامُ) dijauhi selamanya)?

Jawab:

Karena dalam nahi mutlak terdapat kemutlakan larangan yang memuat larangan melakukan satu persatu dari perbuatan yang dilarang. Atau karena mematuhi larangan tidak mungkin diwujūdkan tanpa menjauhi selamanya.

Referensi:

وَ إِنَّمَا اقْتَضَى الدَّوَامَ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ الْمَنْعِ فِيْهِ الشَّامِلِ لِلْمَنْعِ عَنْ كُلِّ فَرْدٍ أَوْ لِتَوَقُّفِ الْاِمْتِثَالِ عَلَيْهِ فَيَكُوْنُ الْمَنْعُ وَ الْاِمْتِثَالُ بِحَسْبِ زَمَانِ النَّهْيِ فَإِنْ كَانَ مُطْلَقًا اقْتَضَى الْمَنْعَ عَلَى الدَّوَامِ وَ الْاِمْتِثَالِ كذلِكَ كَقَوْلِهِ تَعَالَى “وَ لَا تَقْرَبُوا الزِّنَا” أَوْ مَخْصُوْصًا اقْتَضَى ذلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُصُوْصِ لَا عَلَى وَجْهِ الدَّوَامِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى “لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَ أَنْتُمْ حُرُمٌ” فَإِنَّهُ مُقَيَّدٌ بِحَالَةِ الْإِحْرَامِ (النَّفَحَاتُ صــــ 65).

Sesungguhnya nahi menetapkan dawām (dijauhi selamanya), karena dalam nahi mutlak terdapat kemutlakan larangan yang memuat larangan melakukan satu persatu dari perbuatan yang dilarang. Atau karena mematuhi larangan tidak mungkin diwujūdkan tanpa menjauhi selamannya. Sehingga larangan dan mematuhinya tergatung dengan masa berlakunya nahi. Apabila nahi berbentuk mutlak (tidak dibatasi waktu), maka akan menetapkan larangan yang bersifat dawām (dijauhi selamanya) dan harus dipatuhi terus-menerus. Seperti firman Allah s.w.t. QS. al-Isrā’: 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina”. Dan apabila nahi berbentuk khusus, maka akan menetapkan larangan dan kepatuhan yang juga bersifat khusus, tidak bersifat selamanya. Seperti firman Allah QS. al-Mā’idah: 95: “Janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang iḥrām.” Di sini ḥarāmnya membunuh hewan buruan, dibatasi dalam keadaan iḥrām.” (an-Nafaḥāt, hal. 65).

Catatan:

  1. 29). An-Nafaḥāt, hal. 65.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *