Daus Dzu Tsa’labah Melarikan Diri – Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam (2/4)

SIRAH NABAWIYYAH IBNU HISYĀM
(Judul Asli: As-Sīrah an-Nabawiyyah li ibni Hisyām)
Penulis: Abū Muḥammad ‘Abd-ul-Mālik bin Hisyām al-Mu‘āfirī.

Penerjemah: Fadhli Bahri, Lc.
Penerbit: Darul Fikr.

Rangkaian Pos: Daus Dzu Tsa'labah Melarikan Diri - Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam

6: 2. Murka Najāsyī dan Trik Abrahah

Ketika an-Najāsyī mendengar peristiwa di atas, ia marah besar. Ia berkata: “Gubernurku dibunuh tanpa perintahku.” An-Najāsyī bersumpah, bahwa ia tidak meninggalkan Abrahah hingga ia menginjak wilayah kekuasaannya dan memotong ubun-ubunnya. Mendengar sumpah an-Najāsyī, Abrahah mencukur rambutnya dan mengisi kantong kulit dengan tanah Yaman, kemudian mengirimkannya kepada an-Najāsyī. Ia menulis surat untuknya, dan dalam suratnya ia berkata: “Paduka raja, sesungguhnya Aryāth adalah budakmu, dan aku juga budakmu. Kami berbeda pendapat dalam memahami perintahmu, dan semuanya tetap patuh kepadamu. Namun aku lebih kuat mengurusi persoalan orang-orang Ḥabasyah di Yaman, lebih mantap dan lebih bijak daripada Aryāth. Sungguh aku telah mencukur semua rambutku ketika aku mendengar sumpah paduka raja dan mengirimkan kantong kulit yang berisi tanah Yaman kepadamu agar paduka raja meletakkannya di bawah telapak kakinya, agar dengan demikian sumpahnya tidak berlaku lagi terhadap diriku.”

Restu Najāsyī

Ketika surat Abrahah sampai kepada an-Najāsyī, ia merestuinya dan mengirim surat balasan kepadanya. Dalam surat balasannya, an-Najāsyī berkata: “Engkau harus tetap bertahan di Yaman, hingga engkau mendapat perintah dariku.” Abrahah pun tetap menetap di Yaman.

Pembangunan Gereja

Kemudian Abrahah membangun gereja. Ia bangun gereja megah yang belum pernah ada pada masa itu. Abrahah menulis surat kepada Najāsyī: “Paduka raja, untukmu, aku telah membangun gereja megah yang belum pernah dibangun untuk raja sebelummu. Aku tidak berhenti membangun gereja, hingga berhasil mengalihkan haji orang-orang ‘Arab kepadanya.”

Kisah Nasa’ah

Ketika orang-orang ‘Arab mengetahui surat Abrahah kepada an-Najāsyī, maka marahlah salah seorang dari an-Nasa’ah, yaitu salah seorang dari Bani Fuqaim bin ‘Adī bin ‘Āmir bin Tsa‘labah bin al-Ḥārits bin Mālik bin Kinānah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyās bin Mudzar. An-Nasa’ah yaitu orang-orang yang menunda bulan-bulan bagi orang-orang ‘Arab pada masa jahiliyah. Mereka menghalalkan bulan-bulan haram, mengharamkan bulan-bulan suci, dan menunda bulan-bulan tersebut. Tentang hal tersebut, Allah tabāraka wa ta‘ālā menurunkan ayat-Nya:

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.” (at-Taubah: 37)

Ibnu Hisyām berkata: “Maksud firman Allah liyuwāthi’ū adalah menyesuaikan. Muwātha’ah artinya persesuaian. Orang-orang ‘Arab berkata: “Wātha’tuka ‘alā hādz-al-amri.” Maksudnya aku sesuai denganmu dalam urusan ini.

Bid‘ah Nas’u

Ibnu Isḥāq berkata: “Orang yang pertama kali menunda bulan-bulan bagi orang-orang ‘Arab, mengharamkan bulan-bulan halal, dan menghalalkan bulan-bulan haram ialah al-Qalammas. Nama lengkapnya ialah Ḥudzaifah bin ‘Abd bin Fuqaim bin ‘Adī bin ‘Āmir bin Tsa‘labah bin al-Ḥārits bin Mālik bin Kinānah bin Khuzaimah. Sepeninggalnya, nas’u dilanjutkan anaknya, Qala‘. Setelah Umaiyah, nas’u dilanjutkan anaknya, Abū Tsumāmah Junādah bin ‘Auf. Dialah orang terakhir yang melakukan nas’u dan pada zamannya Islam muncul.

Dulu jika orang-orang ‘Arab merampungkan ibadah hajinya, mereka datang kepada al-Qalammas, kemudian ia mengharamkan empat bulan yang diharamkan; yaitu Rajab, Dzulqa‘dah, Dzulḥijjah, dan Muḥarram. Jika ia ingin menghalalkan salah satu dari keempat bulan tersebut, misalnya bulan Muḥarram, maka ia mengharamkannya, dan mereka pun mengharamkan. Sebagai gantinya, ia mengharamkannya, dan mereka pun mengharamkan. Sebagai gantinya, ia mengharamkan bulah Shafar, dan mereka pun mengharamkannya, agar dengan cara seperti itu mereka tetap bisa menyesuaikan diri dengan keempat bulan tersebut. Jika orang-orang ‘Arab hendak pulang haji, al-Qalammas berdiri di depan mereka kemudian berkata: “Ya Allah, aku telah menghalalkan untuk mereka salah satu dari dua Shafar, yaitu Shafar pertama (Muḥarram) dan aku menunda Shafar kedua untuk tahun depan.”

Tentang hal ini, ‘Umair bin Qais Jidzlu ath-Tha‘‘ān, salah seorang dari Bani Firās bin Ghunm bin Tsa‘labah bin Mālik bin Kinānah berkata membangga-banggakan para an-Nasa’ah atas orang-orang ‘Arab:

Sungguh Ma‘add telah mengetahui, bahwa kaumku
Adalah orang-orang mulia dan anak-anak orang-orang mulia
Orang-orang manakah yang tidak bisa kita tindak?
Orang-orang manakah yang tidak bisa kita gerakkan?
Bukankah kita yang menunda-nunda bulan halal
Kemudian kami menjadikannya haram bagi Ma‘add

Ibnu Hisyām berkata: “Bulan-bulan haram pertama adalah Muḥarram.”

Al-Kinānī Berak di Gereja Abrahah

Ibnu Isḥāq berkata: “Al-Kinānī keluar dari rumahnya dengan tujuan gereja Abrahah, kemudian ia berak di dalamnya.”

Ibnu Isḥāq berkata: “Setelah berak di gereja tersebut, al-Kinānī pulang ke negerinya. Peristiwa pemberakan gereja dilaporkan kepada Abrahah. Abrahah bertanya: “Siapa yang melakukannya?” Dikatakan kepadanya: “Pelakunya salah seorang ‘Arab tepatnya dari warga sekitar Baitullāh di Makkah, tempat orang-orang ‘Arab berhaji kepadanya, karena ia mendengar ucapanmu bahwa engkau akan mengalihkan haji orang-orang ‘Arab ke gerejamu. Orang tersebut naik pitam kemudian ia berak di gerejamu. Ini artinya gerejamu itu tidak layak dijadikan sebagai tempat haji.”

Kepergian Abrahah ke Makkah untuk Menghancurkan Ka‘bah

Abrahah murka mendengar laporan pemberakan di gerejanya. Ia bersumpah, bahwa ia akan pergi ke Baitullāh untuk menghancurkannya. Ia perintahkan pasukan Ḥabasyah bersiap-siap, kemudian ia berangkat ke Makkah dengan mengendarai gajah. Ketika orang-orang ‘Arab mendengar rencana Abrahah menghancurkan Ka‘bah rumah Allah yang suci, mereka menganggap rencana tersebut sangat berbahaya, dan berpendapat bahwa perang melawan Abrahah adalah wajib bagi mereka.

Tokoh-tokoh Yaman Berperang Membela Ka‘bah

Salah seorang dari tokoh Yaman dan pemimpinya, Dzū Nafr menemui kaumnya kemudian mengajak mereka, dan orang-orang ‘Arab yang merespons ajakan mereka untuk memerangi Abrahah dan berjuang melawannya demi mempertahankan Baitullāh yang suci, serta menggagalkan rencana Abrahah untuk menghancurkannya. Ajakan Dzū Nafr disambut orang-orang yang sependapat dengannya, kemudian ia beserta pengikutnya bertempur melawan Abrahah, namun Dzū Nafr dan pengikutnya dapat dikalahkan dengan mudah oleh Abrahah, dan Dzū Nafr sendiri jatuh menjadi tawanan perang. Ketika Abrahah hendak membunuhnya, Dzū Nafr berkata: “Paduka raja, jangan bunuh aku, karena barangkali keberadaanku bersamamu itu lebih baik daripada engkau membunuhku.” Abrahah membatalkan keinginannya membunuh Dzū Nafr dan sebagai gantinya ia menahannya dalam keadaan terikat.

Pertempuran Khats‘am Melawan Abrahah

Abrahah melanjutkan perjalanannya untuk mewujudkan keinginannya. Tiba di daerah Khats‘am, ia dihadang Nufail bin Ḥabīb al-Khats‘amī dengan dukungan dua kabilah Khats‘am, yaitu Syahrān dan Nāhis, serta kabilah-kabilah ‘Arab yang ikut bersamanya. Namun pasukan gabungan ini dapat dipukul mundur oleh Abrahah, dan Nufail jatuh menjadi tawanan perang. Ketika Nufail dihadapkan kepada Abrahah dan ia berkeinginan membunuhnya, Nufail berkata kepadanya: “Paduka raja, jangan membunuh aku, karena aku bisa menjadi penunjuk jalan bagimu ke negeri ‘Arab. Inilah kedua tanganku mewakili Syahrān dan Nāhis menyatakan mendengar dan patuh kepadamu.” Abrahah membebaskan Nufail dan berjalan bersamanya sebagai penunjuk jalan baginya. ketika Abrahah melewati Thā’if, ia dihadang Mas‘ūd bin Mu‘attib bin Mālik bin Ka‘b bin ‘Amr bin Sa‘d bin ‘Auf bin Tsaqīf dengan dukungan orang-orang Tsaqīf.

Nasab Tsaqīf

Nama asli Tsaqīf adalah Qasiyyu bin an-Nabīt bin Munabbih bin Manshūr bin Yaqdum bin Afshā bin Du‘mī bin Iyād bin Nizār bin Ma‘add bin ‘Adnān.

Umaiyyah bin Abush-Shalt ats-Tsaqafī berkata:

Kaumku adalah Iyād jika mereka dekat
Atau seandainya mereka berkuasa kemudian nikmat-nikmat menjadi berkurang
Kami adalah satu kaum yang mempunyai daerah ‘Irāq
Jika mereka berjalan semua dengan membawa kertas dan pulpen

Umaiyah bin Abush-Shalt ats-Tsaqafī juga berkata:

Jika engkau bertanya tentang aku
Dan tentang nasabku, maka aku jelaskan kepadamu dengan benar
Sesungguhnya kami berasal dari an-Nabīt Abū Qasiyyu
Manshūr bin Yaqdum yang telah berlalu

Ibnu Isḥāq berkata: “Nama asli Tsaqīf adalah Qasiyyu bin Munabbah bin Bakr bin Hawāzin bin Manshūr bin ‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais bin ‘Ailān bin Mudhar bin Nizār bin Ma‘add bin ‘Adnān. Dua syair di atas adalah ucapan Umaiyyah bin ash-Shalt ats-Tsaqafī.”

Gencatan Senjata antara Tsaqīf dengan Abrahah

Ibnu Isḥāq berkata: “Orang-orang Tsaqīf berkata kepada Abrahah: “Paduka raja, sesungguhnya kami adalah budak-budak yang mendengar dan patuh kepadamu. Kami tidak mempunyai alasan untuk menetangmu. Rumah kami yaitu rumah al-Lāta bukanlah rumah yang engkau kehendaki, namun rumah ibadah yang engkau kehendaki adalah rumah ibadah di Makkah. Kami sertakan untukmu orang yang siap menunjukkan jalan kepadamu. Oleh karena itu, berilah ampunan orang-orang Tsaqīf.”

Al-Lāta

Al-Lāta adalah rumah ibadah orang-orang Tsaqīf di Thā’if. Mereka mengagungkannya seperti mengagungkan Ka‘bah.

Ibnu Hisyām berkata: “Abū ‘Ubaidah an-Nahwī membacakan kepadaku syair Dzirār bin al-Khaththāb al-Fihrī:

Orang-orang Tsaqīf lari kepada al-Lāta mereka
Dengan membawa kegagalan dan kerugian

Syair di atas adalah salah satu bait dari syair panjang Dzirār bin al-Khaththāb al-Fihrī.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *