BAB 6
Ibnu Isḥāq berkata: “Salah seorang dari Saba’ yang bernama Daus (دَوْس) Dzū Tsa‘labah selamat dari pembunuhan massal oleh Dzū Nuwās. Ia melarikan diri dengan mengendarai kudanya dan mengarungi tanah lumpur hingga tidak mampu dikejar pasukan Dzū Nuwās. Ia terus berjalan hingga tiba di Kaisar, guna meminta bantuan kepada raja Romawi, untuk menghadapi Dzū Nuwās dan pasukannya. Ia jelaskan kepadanya perlakuan pasukan Dzū Nuwās terhadap dirinya. Kaisar (Qaishar) berkata kepada Daus: “Sayang negerimu jauh dari kami, namun aku akan menulis surat kepada raja Ḥabasyah karena ia seagama denganmu, dan ia sangat dekat dengan negerimu.” Kaisar menulis surat kepada raja Ḥabasyah. Dalam suratnya, Kaisar menyuruh raja Ḥabasyah memberi bantuan kepada Daus dan mengambil tindakan atas perlakuan Dzū Nuwās.”
Daus tiba di tempat Najāsyī dengan membawa surat Kaisar, kemudian Najāsyī membantunya dengan pasukan yang berkekuatan tujuh puluh ribu personel, dan pasukan tersebut dikomandani salah seorang dari mereka yang bernama Aryāth (أَرْيَاط), dan salah seorang dari anak buahnya ialah Abrahah al-Asyram. Aryāth dan pasukannya termasuk Daus Dzū Tsa‘labah mengarungi lautan hingga tiba di pesisir Yaman.
Dzū Nuwās di Ḥimyar dan kabilah-kabilah Yaman yang setia kepadanya datang menghadang Daus dengan dukungan pasukan dari Ḥabasyah. Ketika kedua belah pihak telah bertemu, Dzū Nuwās dan pasukannya terpukul mundur. Ketika Dzū Nuwās mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan pasukannya, ia mengarahkan kudanya ke arah laut, dan berjalan di laut dari air yang dangkal ke air yang dalam hingga tenggelam. Itulah akhir kesudahan Dzū Nuwās. Kemudian Aryāth memasuki Yaman dan menguasainya. Salah seorang dari Yaman berkata tentang tindakan Daus mengundang pasukan Ḥabasyah:
Tidak seperti Daus dan tidak pula seperti apa yang ia bawa dalam perjalanannya
Pepatah di atas tetap berlaku di Yaman hingga hari ini.
Dzū Jadan al-Ḥimyarī berkata:
Pertahankanlah, air mata tidak mau mengembalikan apa yang telah sirna
Jangan engkau mati karena sedih memikirkan orang yang telah meninggal
Apakah setelah Bainūn tidak ada mata air dan bekas
Apakah setelah Silḥīn manusia bisa membangun rumah-rumah
Bainūn, Silḥīn, dan Ghumdān adalah benteng-benteng Yaman. Dzū Jadan juga berkata:
Biarkan aku, semoga engkau tidak mempunyai bapak, engkau tidak akan sanggup
Semoga Allah mengutukmu, sungguh engkau telah membuat air liurku kering
Ketika kita mabuk di tengah lantunan lagi artis
Dan ketika kami disuguhi madu asli
Meminum minuman keras bukanlah hal aib bagiku
Jika sahabatku tidak mengeluhkan kejahatan akhlakku
Sesungguhnya kematian itu tidak bisa dihadang siapa pun
Kendati ia minum obat
Kematian juga tidak pula bisa dihadang rahib di biaranya
Burung Anuq melindungi telurnya di tempat yang sulit dijangkau binatang lain
Ghumdān* yang engkau ceritakan kepadaku
Telah dibangun dengan tingginya di atas puncak gunung
Di tempat peribadatan dan di bawahnya terdapat batu yang terukir
Yang bersih dari kotoran, campuran, dan licin
Lampu-lampu minyak bersinar di dalamnya
Nyaris doyong karena tandan kurmanya
Setelah tua ia menjadi lumpur
Kobaran api mengubah keindahannya
Dzū Nuwās menyerah kalah
Ia ingatkan kaumnya akan sempitnya jalan yang sempit
(*) = Ghumdān ialah benteng di Yamāmah
Tentang kejadian di atas, ‘Abdullāh bin adz-Dzi’bah ats-Tsaqafī berkata:
Demi Allah, seorang pemuda tidak dapat mendapatkan tempat untuk melarikan diri
Dari kematian yang mengejarnya dan dari usia tua
Demi Allah, seorang pemuda tidak mempunyai tempat yang luas
Demi Allah, ia tidak mempunyai tempat berlindung
Apakah setelah kabilah-kabilah Ḥimyar
Dihancurkan pada pagi hari di Dzāt-ul-‘Ibār
Oleh sejuta tentara dan tikaman seperti langit yang berawan tebal sebelum hujan turun?
Teriakan mereka membuat tuli kuda-kuda yang ditali dekat rumah
Mereka menolak orang-orang yang berperang dengan mulut yang berbau
Jin-jin itu seperti tanah yang banyak
Pohon basah menjadi kering karena mereka
Ibnu Hisyām berkata: “Adz-Dzi‘bah adalah nama ibu Rabī‘ah. Nama asli Rabī‘ah ialah Rabī‘ah bin ‘Abdi Yālail bin Sālim bin Mālik bin Ḥuthaith bin Jusyam bin Qasī.”
‘Amr bin Ma‘dī Karib az-Zubaidī berkata tentang perseteruan yang terjadi antara dirinya dengan Qais bin Maksyūḥ al-Murādī, karena ia mendengar Qais bin Maksyūḥ mengancamnya. Ia berkata kepada Qais bin Maksyūḥ dan mengingatkannya tentang Ḥimyar, kebesarannya, dan kekuasaan selalu berasal daripadanya. Ia berkata:
Apakah engkau mengancamku, sepertinya engaku lebih enak hidupnya
Daripada Dzū Ruain dan Dzū Nuwās
Jadilah, orang sebelummu berada dalam kenikmatan
Dan berada dalam kekuasaan yang kuat atas manusia
Kekuasaannya dari zaman dulu sejak zaman ‘Ād
Kekuasaannya kuat dan tangguh
Kemudian mereka lenyap dan kekuasaan tersebut berpindah tangan
Dari orang ke orang lain
Ibnu Hisyām berkata: “Zubaid adalah anak Salamah bin Māzin bin Munabbih bin Sha‘b bin Sa‘d al-‘Asyīrah bin Madzḥij. Ada yang mengatakan Zubaid adalah anak Munabbih bin Sha‘b bin Sa‘d al-‘Asyīrah. Ada juga yang mengatakan Zubaid adalah anak Sha‘b bin Sa‘d. Dan Murād tidak lain adalah Yuḥābir bin Madzḥij.
Ibnu Hisyām berkata bahwa Abū ‘Ubaidah berkata kepadaku, ‘Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ‘anhu berkirim surat kepada Salmān bin Rabī‘ah al-Bāhilī dan Bāhilah bin Ya‘shur bin Sa‘d bin Qais bin ‘Ailān yang sedang berada di Armenia. Dalam suratnya, ‘Umar bin Khaththāb memerintahkannya melebihkan jatah pemilik kuda kuat atas pemilik kuda tua (lemah). Ketika kuda-kuda diperlihatkan, kuda ‘Amr bin Ma‘dī Karib lewat di hadapan Salmān. Salmān berkata kepada ‘Amr bin Ma‘dī Karib: “Kudamu ini tua (lemah).” ‘Amr bin Ma‘dī Karib marah kemudian berkata: “Orang jelek yang mengetahui orang jelek seperti dirinya.” Qais bin Maksyūḥ meloncat kepada Salman dan mengancamnya. Mendapat ancaman Qais, ‘Amr bin Ma‘dī Karib berkata seperti di atas.
Ibnu Hisyām berkata: “Inilah yang dimaksud Sathīḥ dengan ucapannya: “Orang-orang Ḥabasyī pasti menginjak negeri kalian, dan mereka pasti menguasai daerah antara Abyan hingga Juras.” Dan yang dimaksud Syiqq dengan ucapannya: “Sungguh orang-orang Sūdān akan singgah di negeri kalian, mereka pasti memiliki gadis-gadis remaja, dan berkuasa di antara Abyan hingga Najrān”.”
Ibnu Isḥāq berkata: “Setelah itu, Aryāth menetap di Yaman hingga beberapa tahun dan menjadi penguasa Yaman di sana. Kemudian Abrahah al-Ḥabsyī berusaha merebut kekuasaan Ḥabasyah di Yaman dari tangan Aryāth. Akibatnya orang-orang Ḥabasyah di Yaman terpecah menjadi dua kubu. Orang-orang Ḥabasyah bergabung kepada salah satu kubu dari dua kubu, dan masing-masing kubu menyerang kubu lain. Ketika kedua kubu saling berhadap-hadapan, Abrahah menulis surat kepada Aryāth: “Engkau jangan mempertemukan sesama orang-orang Ḥabasyah, karena hal ini membuat mereka musnah. Datanglah kepadaku, aku pasti datang kepadamu. Siapa di antara kita berdua yang mampu mengalahkan lawannya, maka pasukannya bergabung kepadanya.” Aryāth membalas surat Abrahah: “Engkau benar.” Kemudian Abrahah yang berpostur besar dan beragama Nashrānī datang ke tempat Aryāth, dan pada saat yang sama Aryāth yang tampan, besar dan jangkung datang ke tempat Abrahah dengan memegang tombak kecil. Di belakang Abrahah terdapat budaknya, ‘Ataudah yang mencegah kemungkinan Abrahah melarikan diri. Aryāth mengangkat tombak kecilnya, dan memukulkannya kepada Abrahah dengan sasaran ubun-ubunnya. Tombak kecil Aryāth mengenai dahi Abrahah. Akibatnya, kedua alis Abrahah, hidungnya, matanya, dan kedua bibirnya robek. Karena itulah, Abrahah dinamakan Abrahah al-Asyram (robek). Namun dari belakang Abrahah, ‘Ataudah menyerang Aryāth dan berhasil membunuhnya. Setelah itu, pasukan Aryāth bergabung kepada Abrahah., semua orang-orang Ḥabasyah di Yaman bersatu di bawah kepemimpinannya, dan Abrahah membayar diyat (uang darah) atas kematian Aryāth.”