Apa dalil yang menyatakan bahwa tawassul telah terjadi sebelum penciptaan Rasūlullāh s.a.w.?
Dalilnya adalah yang diriwayatkan al-Ḥākim, ath-Thabrāni, dan al-Baihāqī dari ‘Umar bin Khaththāb r.a. secara marfū‘, bahwa ketika Ādam a.s. melakukan kesalahan, ia berkata: “Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haknya Muḥammad, ampunilah aku.”
Allah s.w.t. berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muḥammad padahal Aku belum menciptakannya?”
Ādam berkata: “Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan meniupkan ruh-Mu ke dalam diriku, aku angkat kepalaku lantas kulihat di penopang-penopang singgasana tertulis: (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ.) “Tidak ada tuhan selain Allah, Muḥammad utusan Allah.” Aku tahu, tidaklah Engkau mengaitkan pada nama-Mu kecuali makhluk yang paling Engkau sukai.”
Allah berfirman: “Kau benar, hai Ādam. Sesungguhnya ia benar-benar makhluk yang paling Aku sukai. Lantaran kau memohon kepada-Ku dengan kebenarannya, maka Aku mengampunimu. Seandainya bukan karena Muḥammad, Aku tidak menciptakanmu.” (111)
Ādam adalah orang pertama yang bertawassul dengan Rasūlullāh s.a.w. Tawassul inilah yang disinggung oleh Imām Mālik r.a. ketika ditanya oleh Khalīfah al-Manshūr saat ia berada di Masjid Nabawī: “Aku menghadap qiblat dan berdoa atau menghadap Rasūlullāh s.a.w.
Imām Mālik menjawabnya: “Mengapa kau alihkan wajahmu dari beliau sementara beliau adalah wasīlahmu dan wasīlah bapakmu Ādam kepada Allah s.w.t.?! Bahkan hadapkanlah dirimu kepada beliau. Mohonlah syafā‘at dengan perantaraan beliau. Semoga Allah memperkenankan beliau memberi syafā‘at kepadamu.”
Allah s.w.t. berfirman:
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رِحِيْمًا.
“Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi diri mereka sendiri datang kepadamu (Muḥammad), lalu menohon ampunan kepada Allah, dan Rasūl pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisā’: 64).
Ini disebutkan oleh al-Qādhī ‘Iyādh dalam asy-Syifā’ (122).
Bagaimana cara bertawassul?
Ulama raḥimahumullāh memaparkan bahwa tawassul dengan pribadi utama, seperti Nabi s.a.w. dan nabi lainnya serta orang shāliḥ, dilakukan dengan tiga bentuk:
Pertama, memohon kepada Allah s.w.t. secara meminta syafā‘at dengan perantara mereka. Misalnya orang yang bertawassul mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan nabi-Mu Muḥammad.” Atau “dengan kebenaran beliau bagi-Mu. Atau, “aku menghadapkan diri kepada-Mu dengan perantara beliau terkait perkara ini.”
Kedua, pihak yang dijadikan wasīlah dimohon agar berdoa kepada Allah untuk pemohon terkait berbagai keperluannya. Misalnya mengatakan: “Wahai Rasūlullāh, berdoalah kepada Allah s.w.t. agar menurunkan hujan kepada kami.”
Ketiga, memohon keperluan yang sama dari pihak yang dijadikan wasīlah. Maksudnya adalah menjadikannya sebagai sebab pemenuhan keperluannya dari Allah dengan syafā‘at dan doanya kepada Tuhannya. Bentuk tawassul ini berkaitan dengan bentuk tawassul kedua.
Tiga cara bertawassul ini telah ditetapkan dalam teks-teks syarī‘at yang shaḥīḥ dan dalil-dalil yang tegas.
Apa dalil tawassul bentuk pertama?
Di antara hadits-hadits yang menunjukkan penetapan tawassul dengan bentuk pertama adalah hadits shaḥīḥ yang telah kami sebutkan sebelum ini dari ‘Utsmān bin Ḥunaif r.a., bahwa seorang buta datang kepada Nabi s.a.w. lantas berkata: “Wahai Rasūlullāh, berdoalah kepada Allah agar menyembuhkan penglihatanku.”
Beliau bersabda: “Jika kamu mau, aku akan berdoa kepada Allah. Dan jika kamu mau, kamu dapat bersabar.”
Periwayat mengatakan bahwa kemudian beliau menyuruhnya agar berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, lalu mengucap doa:
اللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ (ص) نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدٌ، إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ، اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan nabi-Mu, Muḥammad s.a.w., nabi yang rahmat. Ya Muḥammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu terkait keperluanku agar dipenuhi untukku. Ya Allah, perkenankan beliau memberi syafā‘at padaku.”
Orang buta tersebut segera melaksanakan perintah beliau kemudian kembali lagi dalam keadaan sudah dapat melihat.
Perhatikan, betapa Nabi s.a.w. tidak berdoa saja sendiri bagi orang buta itu, tapi beliau mengajarinya bagaimana berdoa dan menghadapkan diri kepada Allah dengan kedudukan beliau, serta menyeru beliau, seraya memohon syafā‘at dengan perantara beliau. Hadits ini mengandung dalil yang tegas terkait adanya anjuran bertawassul dan memohon pertolongan dengan perantara diri Nabi s.a.w.
Ini tak hanya terkait orang tersebut secara khusus, tapi berlaku umum baginya dan bagi orang lain. Baik saat Nabi s.a.w. masih hidup maupun telah beliau wafat. Kalangan salaf dan khalaf dari generasi sahabat, tābi‘īn, dan generasi setelahnya tetap meng‘amalkan doa ini untuk dikabulkannya hajat-hajat mereka.
Diriwayatkan bahwa periwayat hadits ini ‘Utsmān bin Ḥunaif mengajarkan doa tersebut kepada orang lain yang memiliki keperluan pada ‘Utsmān bin ‘Affān r.a. Ini terjadi setelah Rasūlullāh s.a.w. wafat. Pemahaman ‘Utsmān ini adalah ḥujjah pada maksud hadits sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul.
Apa dalil tawassul bentuk kedua?
Dalil-dalilnya banyak. Di antaranya, dari Anas r.a., ia mengatakan bahwa ketika Nabi s.a.w. khuthbah Jum‘at, tiba-tiba seorang laki-laki masuk dari arah pintu masjid lantas menghadap Nabi s.a.w. sambil berkata: “Wahai Rasūlullāh, harta benda telah binasa dan aliran air telah terhenti, maka berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kami.”
Rasūlullāh s.a.w. mengangkat kedua tangannya dan berdoa:
اللهُمَّ أَغِثْنَا (ثَلَاثًا)
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.” (tiga kali).
Anas mengatakan: “Demi Allah, kami sama sekali tak melihat ada awan di langit. Tapi lalu di hari itu juga hujan turun kepada kami dan hari berikutnya sampai pekan depan.
Orang yang menghadap tadi atau yang lainnya datang dan berkata: “Ya Rasūlullāh, rumah-rumah hancur, jalan-jalan terputus”.
Rasūlullāh s.a.w. mengangkat kedua tangannya dan berdoa:
اللهُمَّ حَوَالَيْنَا وَ لَا عَلَيْنَا.
“Ya Allah, (alihkanlah) di sekitar kami dan jangan (timpakan) kepada kami.”
Awan pun beralih dan kami keluar di bawah pancaran cahaya matahari. (133).
Dalam hadits shaḥīḥ ini terkandung dalil bahwasanya sebagaimana manusia diperbolehkan mengajukan permohonan kepada Allah tanpa perantara seorang pun, ia juga boleh mengajukan permohonannya dengan perantara seorang di antara kekasih-kekasih Allah s.w.t. yang ditetapkan oleh Allah s.w.t. sebagai sebab terpenuhinya berbagai keperluan hamba-hambaNya. Juga, ketika manusia memandang dirinya berlumuran tindak kemaksiatan yang menjauhkannya dari Allah s.w.t., maka selayaknya dirinya menyadari bahwa ia layak untuk tidak terpenuhi berbagai permohonannya dan tak tercapai berbagai keperluannya. Oleh karena itu, ia menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan perantara kekasih-kekasih Allah seraya menundukkan diri sepenuh hati kepada-Nya dengan kedudukan dan kehormatan mereka di sisi-Nya, agar Allah memperkenankan permohonannya lantaran para kekasih-Nya yang tidak mengenal selain ketaatan kepada Allah.
Apa dalil tawassul dengan bentuk ketiga?
Dalil-dalilnya banyak. Di antaranya yang diriwayatkan Muslim dari Rabī‘ah bin Ka‘ab al-Aslamī r.a., ia berkata: Nabi s.a.w. bersabda kepadaku: “Mintalah apa yang kamu kehendaki.”
“Aku memintamu agar aku bersamamu di surga,” jawabku.
Beliau bertanya: “Adakah yang selain itu?”
“Itu saja,” jawabku.
Beliau bersabda:
فَأَعِنِّيْ عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ.
“Bantulah aku pada dirimu dengan memperbanyak sujud.” (144)
Dalam hadits shahih juga dinyatakan, Qatādah bin Nu‘mān terkena panah tepat di matanya pada Perang Uhud hingga matanya tersebut keluar ke pipinya. Dia segera menemui Rasūlullāh s.a.w. dan berkata: “Mataku, ya Rasūlullāh!”
Beliau memberikan pilihan kepadanya antara bersabar dan didoakan beliau. Qatādah bin Nu‘mān memilih untuk didoakan. Rasūlullāh s.a.w. mengembalikan matanya dengan tangan mulia beliau ke tempatnya.
Mata Qatādah pun kembali seperti sedia kala. (155).
Catatan:
- 11). Disampaikan oleh al-Ḥākim (6: 672) dan ath-Thabrānī dalam ash-Shaghīr (2: 992) dan al-Awsath (6: 314). Al-Baihaqī dalam ad-Dalā’il, Bab Pernyataan Rasūlullāh s.a.w. tentang Nikmat Tuhannya.
- 12). Asy-Syifā’ (2: 41) dalam bahasan tentang penghormatan, pemuliaan, dan pengagungan terhadap Nabi s.a.w. setelah beliau wafat.
- 13). Disampaikan oleh al-Bukhārī (967, 968) dan Muslim (898).
- 14). Disampaikan oleh Muslim (489).
- 15). Disampaikan ole Abū Ya‘lā dalam kitabnya, Musnadu Abī Ya‘lā (3: 120) dan ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (8: 19).