Hati Senang

Dalam Asuhan Kakeknya yang Penuh Kasih-Sayang – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri

Dalam Asuhan Kakeknya yang Penuh Kasih-Sayang

‘Abd-ul-Muththalib membawa Rasūlullāh s.a.w. kembali ke Makkah. Perasaan kasih sayang di dalam hatinya terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin kuat, karena cucunya harus menghadapi cobaan baru di atas luka yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih-sayang yang tidak pernah dirasakannya sekali pun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan, dia lebih mengutamakan cucunya dari pada anak-anaknya.

Ibnu Hisyām menceritakan: “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka‘bah untuk ‘Abd-ul-Muththalib. Sedangkan kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga ‘Abd-ul-Muththalib ke luar ke sana, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya.

Suatu hari – saat Rasūlullāh s.a.w. telah menjadi anak kecil yang montok – beliau duduk di atas dipan itu, maka paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di atas dipan itu. Tatkala ‘Abd-ul-Muththalib melihat kejadian ini, dia berkata: “Biarkan anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung.” Kemudian ‘Abd-ul-Muththalib duduk bersama beliau di atas dipannya sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.” (171).

Pada usia 8 tahun lebih 2 bulan 10 hari dari umur Rasūlullāh s.a.w. kakeknya meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, ‘Abd-ul-Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abū Thālib, saudara kandung bapak beliau. (182) (193).

Dalam Asuhan Pamannya yang Penyayang

Abū Thālib menjalankan kewajiban yang diembankan kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan penuh tanggung jawab seperti halnya dia mengasuh anak-anaknya sendiri. Dia bahkan mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan mereka. Selain itu, ia mengistimewakannya dengan penghargaan yang begitu berlebihan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau berusia di atas empat puluh tahun. Paman beliau masih tetap memuliakan, memberikan pengamanan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengobar permusuhan dalam rangka membelanya. Pembahasan tentang hal ini akan kami uraikan di bagian tersendiri.

Meminta Hujan dengan Wajah Beliau

Ibnu ‘Asākir meriwayatkan dari Julhumah bin Arfathah, yang berkata: “Tatkala aku tiba di Makkah, orang-orang sedang dilanda musim paceklik. Orang-orang Quraisy berkata: “Wahai Abū Thālib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah kita berdoa meminta hujan.” Maka Abū Thālib keluar bersama anak kecil, yang seolah-olah wajahnya adalah matahari yang membawa awan yang sedang berjalan pelan-pelan. Di sekitar Abū Thālib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan menempelkan punggungnya ke dinding Ka‘bah. Jari-jemarinya memegangi anak itu. Langit yang tadinya bersih, tiba-tiba saja mendung datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah-lembah terairi dan ladang-ladang menjadi subur. Abū Thālib mengisyaratkan hal ini dalam syair yang dibacakannya:

Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya
Penolong anak yatim dan pelindung wanita janda.” (204).

Catatan:

  1. 17). Ibnu Hisyām, I/168.

    Komentar: Sanadnya terputus Saudara kami Syaikh Muḥammad bin ‘Abdullāh al-Ausyān dalam kitabnya Mā Syā’a wa lam Yatsbut fis-Sīrah hal. 10 mengatakan: “Ibnu Isḥāq meriwayatkan, ‘Abbās bin ‘Abdillāh bin Ma‘bad bercerita kepadaku, dari sebagian keluarganya yang berkata: “Konon sebuah ranjang disediakan untuk ‘Abd-ul-Muththalib;…… dst.

    ‘Abdullāh bin Ma‘bad bin al-‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib adalah perawi tsiqah yang menempati peringkat keenam, seperti disebutkan dalam at-Taqrīb. Ia meriwayatkan cerita ini dari beberapa keluarganya, namun tidak mungkin bila yang bersangkutan – di samping memang tidak dikenal – dari golongan shahabat. Di sanadnya ada yang terputus. Dan dari jalur Ibnu Isḥāq juga, hadits ini disebutkan oleh al-Baihaqī di ad-Dalā’il, II/21), juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘ad dalam ath-Thabaqāt, I/117 seperti itu dari gurunya, al-Wāqidī yang merupakan perawi matrūk.

    Adz-Dzahabī mengatakan dalam as-Sīratu min Tārīkh-il-Islām, hal. 53: “‘Abdullāh bin Syabīb – dia dha‘īf – berkata, Aḥmad bin Muḥammad al-Azrāqī bercerita kepada kami, aku mendengar Ibnu ‘Abbās berkata: Aku mendengar ayahku berkata: lalu menyebutkan kisah tersebut.

    Ibnu Syabīb dinyatakan oleh adz-Dzahabī: “Dia itu ahli berita yang banyak tahu (cerita) tetapi lemah.” Lisān-ul-Mīzān, III/299; dan di as-Sīrah, hal. 64 juga disebutkan demikian.

    Ibnu Katsīr menyebutkan kisah itu di dalam al-Bidāyatu wan-Nihāyah, II/281 dari Ibnu Isḥāq dan ia tidak mengomentarinya. (al-Malaḥ).

  2. 18). Talqīhu Fuhūmi Ahlil Ātsār, hal. 7 dan Ibnu Hisyām, I/169.
  3. 19). Komentar: Sanadnya dha‘īf (lemah). Dr. Akram Dhiyā’-ul-‘Umarī di kitab as-Sīrat-un-Nabawiyyat-ush-Shaḥīḥah I/105-106: “Diriwayatkan Ibnu Isḥāq dengan sanad terputus, serta di dalam as-Sīrah karya adz-Dzahabī dengan sanad dha‘īf jiddan (sangat lemah), juga di dalam Thabaqātu Ibni Sa‘ad, I/117-119. Adapun al-Wāqidī matrūk (riwayatnya ditinggalkan).” Dalam Sīratu Ibni Hisyām, I/220, Cet. Darush-Shahabah, Thantha, pentaḥqīq menyatakan: “Sanadnya dha‘īf.” (al-Malaḥ).
  4. 20). Mukhtasharu Sīrat-ir-Rasūl, Syaikh ‘Abdullāh an-Najdī, hal. 15-16.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.