PASAL 3
Dakwah sembunyi-sembunyi dan orang yang pertama kali masuk Islām:
Rasūlullāh s.a.w. melaksanakan perintah Allah dan menyeru kaum yang berhati keras dan tidak beragama untuk beribadah kepada Allah s.w.t. Mereka menyembah berhala yang tidak dapat memberikan manfaat atau mudarat bagi diri mereka. Mereka juga tidak mempunyai ḥujjah dalam hal tersebut kecuali hanya mengikuti apa yang disembah oleh kakek moyang mereka. Mereka sama sekali tidak memliki akhlāq yang mulia selain hanya fanatisme dan kebanggaan belaka. Inilah yang menyebabkan timbulnya banyak peperangan, saling menyerang di antara mereka dan menumpahkan darah. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. datang kepada mereka dengan membawa syarī‘at yang belum mereka ketahui. Adapun sikap orang-orang yang berakal sehat dari mereka ialah bergegas untuk menyambut seruannya dan mempercayainya serta meninggalkan penyembahan berhala. Sementara orang yang dibutakan oleh jabatan, mereka menolak dan takabbur supaya kehormatannya tidak hilang.
Oran pertama yang menyambut dakwah Beliau adalah Khadījah binti Khuwailid, istri Rasūlullāh s.a.w. sendiri (101), dan sahabat ‘Alī bin Abī Thālib, sepupu Rasūlullāh s.a.w.. Pada waktu itu ‘Alī berada dalam asuhan dan jaminan Rasūlullāh s.a.w. Kisahnya bermula pada saat orang-orang Quraisy terkena paceklik, sedangkan Abū Thālib tidak mampu karena anaknya banyak. Maka Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada al-‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib; pamannya yang lain: “Sesungguhnya saudaramu, Abū Thālib, banyak anaknya, sedangkan sekarang ini seperti yang engkau lihat sedang musim paceklik. Marilah kita pergi menemui Abū Thālib untuk meringankan bebannya. Engkau mengambil seorang di antara anak-anaknya dan aku pun akan mengambil seorang anaknya pula.” Lalu mereka berdua berangkat ke Abū Thālib. Keduanya langsung mengutarakan maksudnya, dan Abū Thālib pun mau menerima usul mereka berdua. Akhirnya, ‘Abbās mengambil Ja‘far bin Abī Thālib sedangkan Rasūlullāh s.a.w. mengambil ‘Alī untuk diasuh dalam jaminannya dan diperlakukan sama dengan anak-anaknya yang lain.
Ketika Beliau diangkat menjadi nabi, shahabat ‘Alī sudah berusia bāligh. (112) ‘Alī r.a. selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi s.a.w. Ia belum pernah mengotori dirinya seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah seperti menyembah berhala dan mengikuti hawa nafsu. (123) Selain itu, yang menyambut dakwah Rasūlullāh ialah Zaid bin Ḥāritsah bin Syuraḥbīl al-Kalbī r.a., maulā (mantan hamba sahaya) Rasūlullāh s.a.w. sendiri. Zaid ini juga dikenal dengan nama Zaid bin Muḥammad karena sewaktu Rasūlullāh s.a.w. membelinya (134), ia langsung memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak angkat. Pada waktu itu kedudukan anak angkat adalah seperti anak kandung, dalam arti dapat mewarisi dan diwarisi. Orang yang menyambut dakwah Beliau lainnya adalah Ummu Aimān, mantan pengasuhnya, yang kemudian Beliau nikahkan dengan Zaid, maulā Beliau tadi.
Sementara orang pertama yang masuk Islām selain dari Ahli Bait ialah Abū Bakar bin Abī Quḥāfah bin ‘Āmir bin Ka‘ab bin Sa‘īd bin Taim bin Murrah at-Taimī al-Qurasyī. Sebelum masa kenabian. Abū Bakar sangat akrab dengan Muḥammad. Ia memiliki akhlāq mulia dan belum pernah berdusta sejak ia bergaul dengan Rasūlullāh s.a.w. Saat pertama kali mendengar berita tentang pengangkatan Muḥammad sebagai utusan Allah, ia langsung percaya, dan berkata: “Demi ayah, engkau, dan ibuku, orang yang paling jujur adalah engkau. Aku bersaksi tiada ilāh (yang berhak diibadahi) selain Allah, dan sungguh engkau adalah utusan Allah.”
Abū Bakar ra termasuk orang yang terpandang di kalangan kaum Quraisy, karena memiliki banyak harta dan berakhlāq mulia. Ia termasuk orang yang paling dermawan di kalangan kaumnya dan baik dalam bergaul. Selain itu, ia dicintai oleh kaumnya. Oleh karena itu, kedudukan Abū Bakar di sisi Rasūlullāh s.a.w. adalah sebagai wakilnya. Rasūlullāh s.a.w. selalu meminta pendapat kepadanya dalam segala urusan. Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda tentang Abū Bakar r.a. ini:
“Aku belum pernah mengajak sesorang untuk masuk Islām melainkan meski berpikir dulu, kecuali Abū Bakar.”(145)
Pada mulanya dakwah Rasūlullāh s.a.w. dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena mengantisipasi bangsa ‘Arab akan kaget dengan adanya perkara yang serius seperti ini sehingga mereka sulit untuk masuk Islām. Oleh karena itu, Rasūlullāh s.a.w. tidak berdakwah kecuali kepada orang-orang yang benar-benar Beliau percaya. Abū Bakar juga mendakwahkan Islām kepada orang yang ia percaya dari para tokoh Quraisy sehingga sejumlah tokoh menyambut dakwahnya, seperti:
وَ وَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَ إِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Allah berpesan kepada Sa‘ad untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Dia memerintahkan supaya Sa‘ad tetap memuliakan ibu-bapaknya, baik mereka berdua mu’min ataupun kafir, adapun jika keduanya memerintahkan Sa‘ad untuk berbuat syirik maka perbuatan maksiat sangat dilarang oleh-Nya. Sebab, tidak boleh ada ketaatan kepada makhlūq untuk berbuat maksiat terhadap al-Khāliq. Kemudian Allah swt menegaskan dalam ayat tersebut bahwa “hanya kepada-Ku-lah tempat kembali kalian” baik kalian beriman atau musyrik; Aku akan membalas kalian sesuai dengan pembalasan yang patut kalian terima. Pada akhir ayat ini terkandung dua faedah penting yaitu:
Pertama: peringatan bahwa balasan itu berada di tangan Allah, maka jangan pernah berniat berlaku kasar kepada kedua orang tua karena kesyirikan yang mereka perbuat.
Kedua: anjuran untuk tetap teguh di atas agama agar tidak mendapat balasan yang buruk kelak di akhirat.
Di antara yang pertama masuk Islām adalah: