Hati Senang

Dakwah Sirriyyah (secara Sembunyi-Sembunyi) – Dakwah Menuju Petunjuk – Nurul Yaqin (1/2)

NŪR-UL-YAQĪN   Judul Asli: Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek   Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil Penerbit: UMMUL QURA   (Diketik oleh: Zulfa)

PASAL 3

DAKWAH MENUJU PETUNJUK

Dakwah Sirriyyah (secara Sembunyi-Sembunyi)

Dakwah sembunyi-sembunyi dan orang yang pertama kali masuk Islām:

Rasūlullāh s.a.w. melaksanakan perintah Allah dan menyeru kaum yang berhati keras dan tidak beragama untuk beribadah kepada Allah s.w.t. Mereka menyembah berhala yang tidak dapat memberikan manfaat atau mudarat bagi diri mereka. Mereka juga tidak mempunyai ḥujjah dalam hal tersebut kecuali hanya mengikuti apa yang disembah oleh kakek moyang mereka. Mereka sama sekali tidak memliki akhlāq yang mulia selain hanya fanatisme dan kebanggaan belaka. Inilah yang menyebabkan timbulnya banyak peperangan, saling menyerang di antara mereka dan menumpahkan darah. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. datang kepada mereka dengan membawa syarī‘at yang belum mereka ketahui. Adapun sikap orang-orang yang berakal sehat dari mereka ialah bergegas untuk menyambut seruannya dan mempercayainya serta meninggalkan penyembahan berhala. Sementara orang yang dibutakan oleh jabatan, mereka menolak dan takabbur supaya kehormatannya tidak hilang.

Oran pertama yang menyambut dakwah Beliau adalah Khadījah binti Khuwailid, istri Rasūlullāh s.a.w. sendiri (101), dan sahabat ‘Alī bin Abī Thālib, sepupu Rasūlullāh s.a.w.. Pada waktu itu ‘Alī berada dalam asuhan dan jaminan Rasūlullāh s.a.w. Kisahnya bermula pada saat orang-orang Quraisy terkena paceklik, sedangkan Abū Thālib tidak mampu karena anaknya banyak. Maka Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada al-‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib; pamannya yang lain: “Sesungguhnya saudaramu, Abū Thālib, banyak anaknya, sedangkan sekarang ini seperti yang engkau lihat sedang musim paceklik. Marilah kita pergi menemui Abū Thālib untuk meringankan bebannya. Engkau mengambil seorang di antara anak-anaknya dan aku pun akan mengambil seorang anaknya pula.” Lalu mereka berdua berangkat ke Abū Thālib. Keduanya langsung mengutarakan maksudnya, dan Abū Thālib pun mau menerima usul mereka berdua. Akhirnya, ‘Abbās mengambil Ja‘far bin Abī Thālib sedangkan Rasūlullāh s.a.w. mengambil ‘Alī untuk diasuh dalam jaminannya dan diperlakukan sama dengan anak-anaknya yang lain.

Ketika Beliau diangkat menjadi nabi, shahabat ‘Alī sudah berusia bāligh. (112) ‘Alī r.a. selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi s.a.w. Ia belum pernah mengotori dirinya seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah seperti menyembah berhala dan mengikuti hawa nafsu. (123) Selain itu, yang menyambut dakwah Rasūlullāh ialah Zaid bin Ḥāritsah bin Syuraḥbīl al-Kalbī r.a., maulā (mantan hamba sahaya) Rasūlullāh s.a.w. sendiri. Zaid ini juga dikenal dengan nama Zaid bin Muḥammad karena sewaktu Rasūlullāh s.a.w. membelinya (134), ia langsung memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak angkat. Pada waktu itu kedudukan anak angkat adalah seperti anak kandung, dalam arti dapat mewarisi dan diwarisi. Orang yang menyambut dakwah Beliau lainnya adalah Ummu Aimān, mantan pengasuhnya, yang kemudian Beliau nikahkan dengan Zaid, maulā Beliau tadi.

Sementara orang pertama yang masuk Islām selain dari Ahli Bait ialah Abū Bakar bin Abī Quḥāfah bin ‘Āmir bin Ka‘ab bin Sa‘īd bin Taim bin Murrah at-Taimī al-Qurasyī. Sebelum masa kenabian. Abū Bakar sangat akrab dengan Muḥammad. Ia memiliki akhlāq mulia dan belum pernah berdusta sejak ia bergaul dengan Rasūlullāh s.a.w. Saat pertama kali mendengar berita tentang pengangkatan Muḥammad sebagai utusan Allah, ia langsung percaya, dan berkata: “Demi ayah, engkau, dan ibuku, orang yang paling jujur adalah engkau. Aku bersaksi tiada ilāh (yang berhak diibadahi) selain Allah, dan sungguh engkau adalah utusan Allah.”

Abū Bakar ra termasuk orang yang terpandang di kalangan kaum Quraisy, karena memiliki banyak harta dan berakhlāq mulia. Ia termasuk orang yang paling dermawan di kalangan kaumnya dan baik dalam bergaul. Selain itu, ia dicintai oleh kaumnya. Oleh karena itu, kedudukan Abū Bakar di sisi Rasūlullāh s.a.w. adalah sebagai wakilnya. Rasūlullāh s.a.w. selalu meminta pendapat kepadanya dalam segala urusan. Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda tentang Abū Bakar r.a. ini:

Aku belum pernah mengajak sesorang untuk masuk Islām melainkan meski berpikir dulu, kecuali Abū Bakar.”(145)

Pada mulanya dakwah Rasūlullāh s.a.w. dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena mengantisipasi bangsa ‘Arab akan kaget dengan adanya perkara yang serius seperti ini sehingga mereka sulit untuk masuk Islām. Oleh karena itu, Rasūlullāh s.a.w. tidak berdakwah kecuali kepada orang-orang yang benar-benar Beliau percaya. Abū Bakar juga mendakwahkan Islām kepada orang yang ia percaya dari para tokoh Quraisy sehingga sejumlah tokoh menyambut dakwahnya, seperti:

  1. ‘Utsmān bin ‘Affān bin al-‘Āsh bin Umayyah bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manāf al-‘Umawī al-Qurasyī. Ketika al-Ḥakam, paman shahabat ‘Utsmān, mengetahui keislamannya maka ia mengikatnya dengan kuat, lalu berkata: “Apakah engkau benci dengan agama nenek moyangmu lalu memeluk agama yang baru itu? Demi Allah, aku tidak akan melepaskan ikatan ini sehinga engkau meninggalkan agama yang baru engkau peluk itu!” Lalu ‘Utsmān menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkannya dan tidak akan pernah berpisah dengannya.” Setelah al-Ḥakam melihat keteguhan hati ‘Utsmān dalam memeluk agamanya, lalu ia melepaskan ikatannya. Al-Ḥakam – ketika itu sudah tua, (156) umur telah mencapai delapan puluhan tahun.
  2. Az-Zubair bin al-‘Awwām bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abd-il-‘Uzzā bin Qushay al-Qurasyī. Ibunya adalah Shafiyyah binti ‘Abd-īl-Muththalib. Ketika mendengar keponakannya masuk Islām, pamannya az-Zubair mengikatnya dan menyekapnya dengan asap supaya ia kembali kepada ajaran nenek moyangnya, tapi Allah meneguhkan hatinya. Pada saat itu ia masih remaja (167) dan belum mencapai usia bāligh.
  3. ‘Abd-ur-Rahmān bin ‘Auf bin ‘Abdi ‘Auf bin al-Ḥārits bin Zahrah bin Kilāb al-Qurasyī al-Hāsyimī. Sebelum masuk Islām ia bernama ‘Abdu ‘Amr, kemudian namanya diganti oleh Rasūlullāh s.a.w., menjadi ‘Abd-ur-Raḥmān.
  4. Sa‘ad bin Abī Waqqāsh Mālik bin Uhaib bin ‘Abdi Manāf bin Zahrah bin Kilāb az-Zuhrī al-Qurasyī. Ketika ibunya yang bernama Hamnah binti Abī Sufyān mengetahui Sa‘ad masuk Islām, ia berkata kepada Sa‘ad: “Hai Sa‘ad, aku telah mendengar bahwa engkau telah memeluk agama yang baru (Islām). Demi Allah, aku sekarang tidak mau dinaungi oleh atap rumah biar kepanasan dan kedinginan sekalipun. Dan kuharamkan atas diriku makan dan minum hingga engkau ingkar terhadap Muḥammad.” Hal itu berlangsung selama tiga hari tiga malam. Lalu Sa‘ad datang menemui Rasūlullāh s.a.w. untuk mengadukan perihal ibunya, dan turunlah firman Allah sebagai pemberitahuan untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu Sūrat-ul-‘Ankabūt [29]: 8:

وَ وَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَ إِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Allah berpesan kepada Sa‘ad untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Dia memerintahkan supaya Sa‘ad tetap memuliakan ibu-bapaknya, baik mereka berdua mu’min ataupun kafir, adapun jika keduanya memerintahkan Sa‘ad untuk berbuat syirik maka perbuatan maksiat sangat dilarang oleh-Nya. Sebab, tidak boleh ada ketaatan kepada makhlūq untuk berbuat maksiat terhadap al-Khāliq. Kemudian Allah swt menegaskan dalam ayat tersebut bahwa “hanya kepada-Ku-lah tempat kembali kalian” baik kalian beriman atau musyrik; Aku akan membalas kalian sesuai dengan pembalasan yang patut kalian terima. Pada akhir ayat ini terkandung dua faedah penting yaitu:

Pertama: peringatan bahwa balasan itu berada di tangan Allah, maka jangan pernah berniat berlaku kasar kepada kedua orang tua karena kesyirikan yang mereka perbuat.

Kedua: anjuran untuk tetap teguh di atas agama agar tidak mendapat balasan yang buruk kelak di akhirat.

  1. Thalḥah bin ‘Ubaidillāh bin ‘Utsmān bin ‘Amr bin Ka‘ab bin Taim bin Murrah at-Taimī al-Qurasyī. Sebelumnya, Thalḥah bin ‘Ubaidillāh telah mengetahui berita tentang Rasūlullāh s.a.w. dan sifat-sifatnya dari para rāhib. Ketika Abū Bakar mengajaknya masuk Islām, ia telah mendengar secara langsung dari Rasūlullāh s.a.w. tentang waḥyu yang diturunkan Allah kepadanya, dan ia melihat agama yang dibawa oleh Rasūlullāh s.a.w. membawa ḥujjah yang kuat serta jauh dari kebiasaan buruk yang dilakukan oleh orang-orang ‘Arab maka ia pun segera masuk Islām.

Orang-Orang yang Pertama Masuk Islām

Di antara yang pertama masuk Islām adalah:

  1. Shuhaib bin Sinān ar-Rūmī (178) ia termasuk mawālī (bekas hamba sahaya).
  2. ‘Ammār bin Yāsir al-Unsī. ‘Ammār bin Yāsir pernah mengatakan: “Aku melihat Rasūlullāh pada permulaan dakwahnya hanya diikuti oleh lima orang budak, dua orang wanita dan Abū Bakar.” Demikian pula ayahnya yang bernama Yāsir serta ibunya yang bernama Sumayyah, ia masuk Islām mengikuti jejak anaknya.
  3. Di antara orang yang paling dahulu masuk Islām lainnya ialah Shahabat ‘Abdullāh bin Mas‘ūd. Semula ia adalah seorang pengembala ternak milik orang musyrik Quraisy. Ketika melihat tanda-tanda yang sangat nyata dan akhlāq-akhlāq mulia yang diserukan oleh Rasūlullāh s.a.w., ia langsung meninggalkan berhala-berhala yang dahulu disembahnya dan selalu mendampingi Rasūlullāh s.a.w. ‘Abdullāh bin Mas‘ūd r.a. sering bertemu dengan Rasūlullāh s.a.w. secara langsung; berjalan di depan Rasūlullāh s.a.w.; menutupi Rasūlullāh s.a.w. bila mandi; membangunkan Rasūlullāh s.a.w. bila tidur; memakaikan alas kaki Rasūlullāh s.a.w. bila Beliau berdiri dan memegang kedua alas kaki Rasūlullāh s.a.w. bila Beliau duduk.

Catatan:

  1. 10). Sīrat-ubni Hisyām (1/244)
  2. 11). Yang benar adalah, ia baru berumur 8 tahun
  3. 12). As-Sīrat-un-Nabawiyyah, karya Ibnu Hisyām (1/246)
  4. 13). Disebutkan dalam Sīrat-ul-Ḥalabiyyah, juz 1, hlm. 271; bahwa Khadījah menghibahkan Zaid kepada Nabi. Dalam riwayat lain, disebutkan bahwasanya Beliau s.a.w. membelinya dari Khadījah, tapi justru dihibahkan oleh Khadījah r.a. kepada beliau s.a.w.
  5. 14). Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsīr dalam kitab tafsirnya (4/250), juga dalam kitabnya: Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (1/108).
  6. 15). Disebutkan dalam kitab al-Ishābah, ‘Utsmān dilahirkan 6 tahun setelah tahun gajah, menurut pendapat yang benar. Sehingga umurnya ketika Nabi diutus ialah 34 tahun atau separuh baya (kahl).
  7. 16). Disebutkan dalam kitab al-Isti‘āb: Dari ‘Urwah, ia berkata: “Zubair masuk Islām ketika ia berumur 12 tahun.” Kemudian diriwayatkan dari ‘Urwah pula; Zubair masuk Islām ketika ia berumur 16 tahun.
  8. 17). Dia adalah Shuhaib bin Sinān bin Namr bin Qāsith, ia disebut ar-Rūmī, karena orang Romawi telah menawannya ketika ia masih kecil, kemudian seseorang dari Bani Kalb membelinya dan menjualnya di Makkah.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.