Adapun hak-hak kedua orang tua (terhadap anak) adalah:
Dalam sebuah hadits disebutkan: “‘Aqīqahilah bayi pada hari ke tujuh dari kelahirannya. Ketika menginjak usia 6 tahun, ajarkanlah tatakrama dan tawādhu‘ terhadap sesama manusia. Saat berusia 7 tahun ajarkan dan didiklah ‘ilmu agama, perintahkanlah shalat lima waktu, dan ajarkanlah tatacara berwudhū’ beserta syarat dan rukun-rukunnya. Ketika berusia 9 tahun, pisahkanlah anak perempuan dari anak laki-laki. Ketika berusia 13 tahun, jika ia meninggalkan shalat maka pukullah (menurut satu riwayat, saat berusia 10 tahun). Saat ia berusia 16 tahun, nikahkanlah dengan seorang perempuan, kemudian peganglah tangannya dan katakan: “Wahai anakku, aku gembleng agama, aku ajarkan al-Qur’ān serta perkara yang wajib dan haram. Sekarang engkau telah bāligh, aku nikahkan engkau dengan seorang perempuan. Aku sudah terlepas darimu. Aku memohon perlindungan kepada Allah s.w.t. dari fitnahmu di dunia dan siksamu kelak di akhirat (maksudnya, aku tidak lagi menanggungnya). Jika engkau taat kepada Allah maka surga menunggumu. Jika engkau taat kepada Allah maka surga menunggumu. Jika engkau mendurhakai-Nya maka neraka untukmu. Sudah cukup pengajaranku untukmu.”
Sebagian ‘ulamā’ berkata: “Jika anakmu sudah berusia 15 tahun maka nasihatilah: “Wahai putraku, sekarang engkau sudah terlepas dari tanggungjawabku. Jika engkau taat ber‘ibādah kepada Allah, engkau akan mendapatkan surga. Jika engkau mendurhakai-Nya, engkau akan dimasukkan neraka. Sedangkan aku sudah cukup mendidik dan mengajarimu semenjak engkau bayi hingga kini. Sekarang lafazhkan dua syahadat yang menjadi kewajiban bagi orang mu’min yang sudah bāligh:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ.
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah utusan Allah.”
Aku sudah tidak lagi berkewajiban menafkahimu. Namun, jika engkau mau belajar ‘ilmu agama, aku bersedia membiayai.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Hak saudara yang lebih tua kepada saudara yang lebih muda seperti hak orang tua pada anak”. Maksudnya, saudara yang lebih muda harus berbakti dan menghormati saudaranya yang lebih tua.
Disebutkan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya surga seorang anak berada di telapak kaki ibu.”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Berbakti kepada ibu dua tingkat di atas berbakti kepada ayah.”
Maksudnya, menasihati anaknya agar menghormati setiap orang yang lebih tua usianya, walaupun orang itu fāsiq dan bodoh. Menurut satu pendapat, meskipun orang tua adalah orang kafir, tetap harus dihormati. Jangan sekali-kali berbeda kehendak dengan kedua orang tua. Jika duduk dalam sebuah tempat, duduklah di tempat yang lebih rendah! Jangan mengungguli orang yang lebih tua. Walaupun engkau lebih ‘ālim dan orang yang lebih tua tadi bodoh, tetap harus menghormati mereka karena usianya lebih tua.
Mewariskan tatakrama kepada anak lebih utama daripada mewariskan gedung-gedung dan harta benda. Sebab, kemuliaan manusia setelah ketaqwāan dilihat dari akhlāqnya. Karenanya, ketika ada yang bertanya kepada Abū Nawas: “Engkau anak siapa?” Dia menjawab: “Aku anak dari tatakramaku”. Sebab, jika seseorang mengaku menjadi putra seorang raja, seorang ‘ulama’ atau seseorang yang mulia nasabnya, tapi dia bertabiat buruk kepada sesama manusia, maka tidak ada seorang pun yang akan mempercayainya.
Jangan pernah tidak saling menyapa antara anggota keluarga. Sebab, celakanya seseorang disebabkan salahnya pengajaran. Ambillah pelajaran dari hewan yang paling buruk, sampai-sampai dihukumi najis mughallazhah, ya‘ni anjing. Jika anjing dilatih, ia akan menjadi anjing terlatih sehingga ia menjadi mulia. Jika anjing saja bisa dilatih dan diajari apalagi manusia yang menjadi keturunan Nabi Ādam dan Nabi Nūḥ a.s. Celakanya manusia disebabkan pengajaran yang salah dari orang tuanya sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadits:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka ayahnyalah (kedua orang tuanya) yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau Majusi.”
Ketahuilah, dari semua yang telah disebutkan, manusia terbagi menjadi 3 macam:
Setelah mengetahui pembagian tersebut, kita butuh mengetahui adab berinteraksi atau bergaul dengan masing-masing dari ketiganya. Sebab, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia pasti butuh berinteraksi dengan manusia yang lain. Dalam berinteraksi harus mengetahui tatacara, kebiasaan, dan tatakrama yang berlaku. Sebab jika tidak, maka akan sulit berinteraksi dan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ketika engkau diberi cobaan berupa hidup bersama orang Muslim awam yang tidak engkau kenal, engkau harus mengetahui adabnya.
Adapun adab bergaul dengan orang awam adalah sebagai berikut:
مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ.
“Barang siapa yang tidak memerhatikan urusan kaum Muslim maka ia bukanlah golongan mereka (Muslimīn).”
Syaikh Ma‘rūf al-Karkhī berkata: “Barang siapa yang berdoa:
اللهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ اللهُمَّ اَصْلِحْ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ اللهُمَّ فَرِّجْ عَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ.
Setiap hari sebanyak 7 kali, maka ia ditulis dan dihitung seperti wali abdal.”
Semua yang telah disebutkan ini adalah adab kepada orang Muslim yang bukan merupakan sanak keluarga.
Ketahuilah! Selain hak sesama Muslim, tetangga juga memiliki hak yang lainnya, ya‘ni hak sebagai tetangga karena Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Tetangga ada 3 macam: Pertama, tetangga yang memiliki satu hak. Kedua, tetangga yang memiliki dua hak. Ketiga, tetangga yang memiliki tiga hak. Adapun yang memiliki tiga hak, yaitu tentangga Muslim yang merupakan saudara. Dia memiliki hak karena tentangga sesama Muslim, dan saudara. Yang memiliki dua hak, yaitu tentangga Muslim. Dia memiliki hak karena tentangga dan sesama Muslim. Yang memiliki satu hak yaitu tetangga musyrik. Ia hanya memiliki hak tetangga.”
Adapun hak-hak tentangga adalah:
Jika engkau membelikan sesuatu untuk anakmu, belikanlah juga anak tetanggamu supaya tetanggamu tidak menjadi susah. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Ketika engkau melempar anjing tetanggamu berarti engkau menyusahkan tetanggamu, begitu pula anak-anak mereka.”
Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa salah seorang sahabat melapor kepada Rasūlullāh s.a.w. : “Wahai Rasūlullāh, si Fulānah ahli puasa di siang harinya, ahli qiyām-ul-lail (ber‘ibādah di malam hari) untuk ber‘ibādah. Akan tetapi, ia sering menyusahkan dan menyakiti tetangganya”. Nabi bersabda: “Perempuan itu adalah penduduk neraka.”