Cobaan Orang Mukmin – Kitab-ush-Shidq (1/3)

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

Rangkaian Pos: Maqam-maqam Orang Yang Benar - Kitab-ush-Shidq

BAGIAN DUA

COBAAN ORANG MUKMIN

 

Tanya: “Bisakah seorang hamba sampai pada satu situasi di mana ia tidak perlu lagi memaksa dirinya bersikap benar? Tidak perlu merasa bersusah-payah dalam melaksanakan ibadah? Tidak keberatan dalam berlaku ikhlas? Tidak sulit berlaku sabar? Dan justru menjalankan semua amalannya dengan benar dan baik sesuai dengan yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan ia bisa berbuat lebih dari itu tanpa merasakan kesusahan?”

Jawab: “Ya, bisa. Jika ia melakukan semuanya dengan sempurna dan baik. Apakah kamu belum pernah mendengar hadis-hadis Nabi yang berbunyi:

إِنَّ الْجَنَّةَ حُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ وَ حُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

Sesungguhnya Surga itu diliputi oleh berbagai kesukaran, dan Neraka diliputi oleh berbagai kenikmatan syahwat.

إِنَّ الْحَقَّ ثَقِيْلٌ مَرِيْءٌ وَ إِنَّ الْبَاطِلَ خَفِيْفٌ وَبِيْءٌ

Sesungguhnya kebenaran itu berat tetapi baik, sedangkan kebatilan itu ringan tetapi berbahaya.

Watak nafsu adalah menyukai dan menikmati dunia, tidak mau melaksanakan kewajiban Tuhan, dan suka bersenang-senang sepanjang waktu. Dengan demikian, mengamalkan kebenaran adalah musuh hawa nafsu. Begitu juga, akhlak yang mulia.

Apabila seorang hamba telah mengenal Allah s.w.t. dan mampu memahami apa yang diseru-Nya agar menjauhi kehidupan dunia serta menunjukkan perhatian yang besar akan kehidupan akhirat, niscaya ia akan memaksa dirinya menahan segala yang dibenci oleh hawa nafsu. Umpamanya, menapaki jalan kebenaran, berusaha keras melaksanakan kebaikan, bersabar di jalan Allah, dan menahan kesulitan hidup, yang semuanya itu dilakukan sembari memohon pertolongan Allah s.w.t. Sehingga Allah s.w.t. akan memandangnya dengan pandangan kasih atas apa yang dilakukannya, melapangkan jalan agar dapat diridhai-Nya, dan sesudah itu Dia pun melimpahkan rahmat, kasih sayang serta bantuan terhadap si hamba tersebut.

Kala itu, si hamba merasa bahwa semua beban yang jika ditanggung badan terasa berat akan menjadi mudah, segala yang pahit menjadi manis, segala yang berat menjadi ringan, dan segala yang kasar menjadi lembut. Oleh karena itu, akan mudah baginya untuk bangun malam bermunajat kepada Allah s.w.t., laku bersepi diri yang kerap menemui kesulitan untuk berbakti kepada Allah akan menjadi kenikmatan yang manis, dan puasa menanggung lapar dan haus di tengah terik panas matahari menjadi ringan. Semuanya karena mereka merasa kenikmatan yang dicita-citakan dari karunia Allah s.w.t. dan harapan dari balasan-Nya.

Begitu pula, akhlak dan hal-nya akan membaik dan tidak mengeluarkan banyak protes manakala mencapai maqam yang baru untuk menggantikan yang lama. Hal ini akan terjadi, jika sebelumnya ia mampu menanggung berbagai cobaan dalam rangka mencapai ridha Allah s.w.t., sehingga akhlaknya menjadi lebih bagus, tabiatnya membaik, jiwanya lebih tenang, pemikirannya menjadi lebih cerdas, dan hatinya diselimuti cahaya kebenaran. Akhirnya, dirinya akan terjauh dari keinginan hawa nafsu yang jahat dan kegelapan hatinya pun akan menjadi lenyap. Kala itu, sifat benar dan perilaku ahli kebenaran akan menjadi wataknya dan ia tidak bisa bersifat dan berlaku selain itu, sebab dirinya senantiasa berada dalam pemeliharaan Allah s.w.t.

Dan jika ia sudah bersifat dan berlaku demikian, maka segala perdaya Setan tidak akan mampu menipunya. Karena semua keinginan dan bujukan kesesatan telah mati di dalam hatinya dan senjatanya pun sudah tumpul, sebab hatinya telah bersih dan terkikis dari kehendak hawa nafsu semenjak ia mulai berakhlak dengan kelakuan orang-orang mulia yang dirahmati Allah s.w.t. Hal ini pernah disinggung pula oleh Allah s.w.t. ketika menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s.:

إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيْ

Sesungguhnya nafsu suka mengajak kepada yang buruk, kecuali yang dirahmati Tuhanku.” (Yusuf: 53)

Dan sesungguhnya jiwa para nabi dan para shiddiqīn, senantiasa dikucuri kasih sayang Allah s.w.t. Demikian pula jiwa setiap orang Mukmin, menurut kadar keimanannya masing-masing. Oleh sebab itu, maka nafsunya akan tersingkir jauh, sebab tidak sanggup berhadapan dengan sifat benar serta aneka perwujudannya. Dengan demikian, ia akan menjadi seorang yang benar sebagaimana yang telah disebutkan, atau bahkan lebih dari itu, sebagai akibat dari segala pengalaman baru yang dialaminya bagai makanan jiwa yang nikmat rasanya. Sekejap pun, ia tidak akan bisa meninggalkannya, sebab kalau sampai ditinggalkan, maka ia akan merasakan kegalauan yang luar biasa. Dengan demikian, perkara yang amat ditakutinya adalah kalau-kalau sifat tersebut dicabut dari dirinya. Oleh karena itu, sifat dan akhlak yang benar menjadi tabiat dirinya, dan tidak ada yang selainnya. Ada beberapa dalil yang menjadi bukti atas hal ini, di antaranya adalah:

وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوَا فِيْمَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَ أَنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan orang-orang yang berjuang di pihak Kami, niscaya akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabut: 69)

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضى لَهُمْ وَ لَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ لاَ يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْئًا

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, bahwa Dia akan memberikan kedaulatan kepada mereka di belahan bumi ini, sebagaimana Dia telah memberikan kedaulatan kepada umat sebelumnya. Bahwa Dia akan memperkuat kedudukan agama mereka yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan bahwa Dia akan merubah suasana ketakutan menjadi suasana yang penuh rasa aman tenteram; di mana mereka selalu dapat beribadah kepada-Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun.” (an-Nur: 55).

وَ نُرِيْدُ أَنْ نَّمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِي الأَرْضِ وَ نَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَ نَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِيْنَ. وَ نُمَكِّنَ لَهُمْ فِي الأَرْضِ.

Dan Kami akan memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi, dan akan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, serta menjadikan mereka sebagai orang-orang yang menerima warisan. Dan Kami akan kokohkan kedudukan mereka di muka bumi.” (al-Qashash: 5-6)

وَ جَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوْا

Dan akan Kami jadikan beberapa di antara mereka pemimpin-pemimpin yang akan memberi petunjuk dengan perintah Kami manakala mereka mau bersabar.” (as-Sajdah: 24)

Bersabar yang dimaksud di sini adalah menahan diri dari kenikmatan dunia dengan cara menguatkan jiwa dan meyakini adanya keharusan untuk menentang hawa nafsu dan melipagandakan usaha guna menjunjung kebenaran, sehingga pertolongan Allah s.w.t. senantiasa mendatanginya sebagaimana yang banyak dikutip oleh hadis Rasulullah s.a.w. Misalnya, dalam menafsirkan surat Thaha, Ibn ‘Abbas mengatakan: “Maksud lafal Thaha, adalah wahai lelaki dalam bahasa Habsyi. Tidaklah Kami turunkan al-Qur’an kepadamu supaya kamu celaka.” Maksudnya, al-Qur’an tidak diturunkan untuk menyusahkan Nabi Muhammad s.a.w. Padahal, bukankah beliau sering bangun tengah malam untuk beribadah guna menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah s.w.t. sampai-sampai kedua tumitnya membengkak hingga kemudian Allah memerintahkannya untuk berhenti.

Selain itu, pernah pula dikatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. beribadah di Gua Hira’ sepanjang bulan dan bahkan lebih. Begitu pula diriwayatkan bahwa beliau pernah dipelihara dari musuh-musuhnya, sehingga turun ayat: “Dan Allah menjagamu dari manusia,” Setelah itu, beliau menolak dijaga lagi karena meyakini firman Allah s.w.t. yang menjamin keselamatannya. Tepatnya beliau meyakini bahwa Allah s.w.t. akan memeliharanya dari segala ancaman manusia. Dan beliau merasa yakin dan kokoh atas kebenaran firman tersebut.

Orang-orang yang beriman bersama Nabi Muhammad s.a.w. juga merasa yakin sesudah sebelumnya mereka lemah manakala turun firman Allah s.w.t. Dalam peristiwa hijrah, umpamanya, Nabi Muhammad s.a.w. bersama Abu Bakar r.a. keluar dari Makkah menuju suatu bukit yang disebut: “Bukit Tsur”, dan keduanya bersembunyi di sana. Setelah itu, keduanya meneruskan perjalanan dalam kondisi sembunyi-sembunyi ke Madinah al-Munawwarah.

Semua peristiwa ini merupakan contoh ujian dari Allah s.w.t. terhadap diri Rasulullah s.a.w., sebab pada masa itu beliau sedang berada dalam maqam sabar dan mujahadah (menahan diri dari hawa nafsu). Bahkan, sesudah beliau menetap di Madinah pun, kaum Quraisy masih datang menyerang kaum Muslimin dalam suatu pertempuran yang disebut sebagai Perang Uhud. Dalam perang tersebut, beberapa sahabat Nabi mati syahid, bahkan Nabi sendiri dahinya terluka, hingga wajahnya berlumuran darah.

Bukankah semua itu menunjukkan bahwa beliau diuji dengan hawa nafsu dari bencana. Demikian pula dengan kaum Mukminin yang bertahan bersama beliau. Dan dalam peristiwa lain, Nabi bersama para sahabatnya berangkat menuju Makkah untuk menunaikan umrah, dan masing-masing telah ber-talbiyah (membaca: Labbaikallāhuma labbaik), serta membawa hewan qurban mereka. Ketika hampir sampai di Makkah, tiba-tiba mereka telah dihalangi kaum Quraisy untuk memasuki Makkah, sehingga menjadikan kaum Muslimin kacau balau. Melihat peristiwa itu, akhirnya Nabi dengan para sahabat menanggalkan baju ihram di Hudaibiyyah, dan langsung pulang kembali ke Madinah tanpa meneruskan perjalanan ke Tanah Suci.

Kemudian jika satu cobaan telah selesai, maka akan segera digantikan dengan datangnya kemenangan kaum Muslimin sebagaimana yang terlihat ketika mereka menaklukkan Makkah?! Mereka telah membunuh sebagian musuh Islam, dan sebagian yang lainnya dibebaskan dengan syarat memberikan jaminan keamanan. Dan pada saat itulah beliau diberi kabar gembira dengan adanya pengampunan Allah s.w.t., sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًا. لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَ مَا تَأَخَّرَ.

Sesungguhnya Kami telah memberikan suatu kemenangan yang nyata (penaklukan Makkah) kepadamu, supaya Allah mengampuni segala kesalahanmu, baik yang lalu, maupun yang akan datang.” (al-Fath: 1-2)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *