Cabang Permasalahan 1&2 – Perihal Mengusap Khuffain (Muzah) – Kifayat-ul-Akhyar

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Rangkaian Pos: 011 Perihal Mengusap Khuffain (Muzah) - Kifayat-ul-Akhyar

Cabang Permasalahan (1)

Andaikata seseorang mengenakan muzah rangkap, karena saking dinginnya, maka harus dilihat. Jika muzah yang luar layak diusap dan yang di bawah (yang di sebelah dalam) tidak layak karena sesak atau karena sudah robek, boleh mengusap muzah yang luar saja, tidak usah mengusap muzah yang dalam. Akan tetapi jika muzah yang dalam boleh diusap (tidak yang luar), boleh mengusap yang dalam saja.

Andaikata orang tersebut mengusap muzah yang luar, lalu airnya mengenai muzah yang dalam, apabila ia mempunyai niat hendak mengusap yang dalam, yang demikian adalah boleh. Demikian juga apabila ia mempunyai niat hendak mengusap kedua-duanya, menurut qaul yang rājiḥ. Jika hanya mempunyai niat mengusap yang luar saja, tidak boleh. Dan jika tidak berniat mengusap salah satunya tetapi telah mencukupi menurut qaul yang rājiḥ. Sebab ada niat menggugurkan fardhunya kaki dengan mengusap.

Jika masing-masing dari kedua muzah (yang dalam maupun yang luar) itu tidak patut untuk diusap, sulit mengusapnya. Dan jika kedua-duanya patut diusap semua, dalam masalah ini kewenangan mengusap yang luar saja terdapat dua qaul. Menurut qaul qadīm, boleh. Sebab kadang-kadang orang itu cukup memerlukan mengusap yang luar saja sebagaimana ketika dia kadang-kadang memerlukan mengusap muzah yang hanya satu (yang tidak rangkap).

Menurut qaul jadīd, yaitu qaul yang dianggap lebih jelas wajahnya oleh Jumhur, tidak sah mengusap muzah yang luar. Imām Syāfi‘ī telah menashkan ketidaksahannya di dalam kitab al-Umm. Sebab membasuh kaki itu asal kewajiban, sedangkan mengusap muzah hanyalah Rukhshah yang umum yang terjadi pada muzah. Pada umumnya para muslimin memerlukan muzah, adapun apabila ia memerlukan muzah rangkap, itu adalah Rukhshah yang khusus. Jadi Rukhshah tidak boleh menjalar kepada kewenangan mengusap muzah yang luar, dan juga muzah yang luar itu sifatnya hanya untuk menutupi muzah yang mestinya harus diusap. Jadi tidak boleh menggantikan kedudukan muzah yang dalam, dalam hal menggugurkan kefardhuan mengusap. Sebagaimana sorban, tidak boleh menjadi gantinya mengusap kepala. Wallāhu a‘lam.

Cabang Permasalahan (2)

Andaikata orang itu memakai muzah di atas pembalut, menurut qaul yang ashaḥḥ tidak boleh mengusap muzah tersebut. Sebab muzah itu benda yang dipakai di atas sesuatu yang diusap. Jadi tidak boleh diusap, sebagaimana mengusap sorban yang menjadi gantinya mengusap kepala. Wallāhu a‘lam.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ يَمْسَحُ الْمُقِيْمُ يَوْمًا وَ لَيْلَةً، وَ الْمُسَافِرُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهُنَّ).

[Orang muqim boleh mengusap muzah selama sehari semalam. Dan orang masafir boleh mengusap muzah selama tiga hari tiga malam].

Yang dijadikan dalil untuk membatasi waktu mengusap muzah tersebut ialah sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Abū Bakrah r.a. berbunyi:

أَرْخَصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهُنَّ، وَ لِلْمُقِيْمِ يَوْمًا وَ لَيْلَةً إِذَا تَطَهَّرَ وَ لَبِسَ خُفَّيْهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا.

Bahwa Rasūlullāh s.a.w. memberikan kemurahan (keringanan) kepada musafir mengusap muzah tiga hari tiga malam dan kepada orang muqim selama sehari semalam jika ia telah bersuci dan telah memakai muzahnya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Ḥibbān di dalam kitab Shaḥīḥ-nya. Imām Syāfi‘ī berkata: Isnad Hadits tersebut shaḥīḥ. Imām Bukhārī berkata: “Hadits tersebut Hadits ḥasan.

Diriwayatkan dari Shafwān bin ‘Assāl r.a. beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهُنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابِهٍ، وَ لكِنْ مِنْ بَوْلٍ أَوْ غَائِطٍ أَوْ نَوْمٍ فَلَا. (رواه النسائي و الترمذي)

Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kepada kita – waktu kita sedang dalam bepergian – supaya kita jangan mencopot muzah selama tiga hari tiga malam, kecuali sebab janabah. Tetapi untuk kencing, buang air besar dan tidur tidak perlu mencopot muzah kita.” (Riwayat an-Nasā’ī dan at-Tirmidzī).

Imām Bukhārī berkata: “Haditsnya Shafwān ini adalah Hadits yang paling shaḥīḥ mengenai urusan pembatasan waktu mengusap muzah. Imām Syāfi‘ī mempunyai qaul qadīm yang menyatakan bahwa mengusap muzah itu tidak ada batas waktunya. Sebab mengusap muzah itu adalah mengusap perkara yang menutupi kedua kaki, jadi tidak ada batas mengusap perkara yang menutupi kedua kaki, jadi tidak ada batas waktunya, sebagaimana mengusap pembalut pada badan. Qaul qadīm ini juga dikatakan oleh Imām Mālik. Yang dipakai hujjah ialah Haditsnya Ubay bin ‘Umārah. Para Ulama Hadits telah sepakat atas ke-dha‘īf-an Haditsnya Ubay ini, sehingga tidak boleh dijadikan dalil. Sedangkan kias itu tidak boleh dibuat hujjah selama masih terdapat nash.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ ابْتِدَاءُ الْمُدَّةِ مِنْ حِيْنِ يُحْدِثُ بَعْدَ لُبْسِ الْخُفَّيْنِ.).

[Permulaan waktu mengusap ialah sejak orang itu mengalami hadas sesudah muzah dipakai.].

Jika kita mencabangkan pada qaul yang shaḥīḥ, yaitu membatasi waktu mengusap sehari semalam bagi orang muqim dan tiga hari tiga malam bagi musafir, maka yang menjadi permulaan waktu mengusap yaitu dihitung sejak ia mengalami hadas yang pertama kali sesudah ia mengenakan muzahnya. Dan boleh karena mengusap muzah itu merupakan ibadah yang ditentukan waktunya, maka permulaan waktunya dihitung sejak orangnya mempunyai kewenangan melaksanakan ibadah itu, sebagaimana shalat.

Sesuai dengan ta‘līl (alasan) ini, orang yang mengusap muzah tidak diperkenakan memperbarui wudhu’. Akan tetapi Ibnu Rif‘ah berkata: Memperbarui wudhu’ bagi orang yang mengusap muzah itu hukumnya makruh, tidak ada kemamangan (kekaburan) lagi. Namun Imām Nawawī di dalam kitab Syaraḥ al-Muhadzdzab memastikan bahwa memperbarui wudhu’ bagi orang yang mengusap muzah itu disunnatkan.

Imām Rāfi‘ī meriwayatkan dari Dāūd bahwa permulaan waktu mengusap dihitung sejak orangnya memakai muzah itu. Yang demikian ini juga telah diriwayatkan oleh Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab dari Ibnul-Mundzir dan Abū Tsaur. Imām Nawawī selanjutnya mengatakan: Qaul ini adalah qaul yang dipilih. Sebab sesuai Hadits-hadits shaḥīḥ yang menerangkan tentang mengusap muzah. Wallāhu a‘lam.

Ketahuilah, bahwa musafir yang diperbolehkan mengusap muzah selama tiga hari tiga malam itu apabila bepergian yang jauh jaraknya, kalau jarak bepergiannya dekat, ia hanya diperbolehkan mengusap muzah selama sehari semalam saja.

Dan juga disyaratkan, bepergiannya bukan untuk maksiat. Kalau untuk maksiat, misalnya bepergiannya karena hendak memungut bea cukai, atau perginya karena disuruh oleh orang zhalim untuk mengambil uang sogok atau menagih uang sogok dan lain-lain, ataupun dia pergi padahal masih menanggung hak orang (hutang) yang wajib ia bayar, maka ia tidak boleh mengusap muzah tiga hari tiga malam itu.

Jika kepergian seseorang itu merupakan suatu hal yang wajib, misalnya pergi haji, padahal ia menanggung hak orang, apakah boleh mengambil Rukhshah sehari semalam? Ada yang mengatakan: Sama sekali tidak boleh mengambil Rukhshah. Sebab mengusap muzah itu Rukhshah, jadi tidak boleh berkaitan dengan maksiat. Qaul yang rājiḥ, boleh mengambil Rukhshah sehari semalam.

Khilāf di atas juga berlaku pada orang yang maksiat di rumah. Misalnya orang bermuqim di sebuah kota dengan maksud hendak mengambil barang-barang dagangan masyarakat dan orang-orang yang ikut kepadanya. Atau seperti budak (hamba) yang minggat (lari meninggalkan tuannya) dan lain-lain. Wallāhu a‘lam.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(فَإِنَّ مَسَحَ فِي السَّفَرِ ثُمَّ أَقَامَ، أَوْ مَسَحَ فِي الْحَضَرِ ثُمَّ سَافَرَ، أَتَمَّ مَسْحَ مُقِيْمٍ.).

[Andaikata seseorang mengusap muzah pada waktu bepergian kemudian ia muqim, atau mengusap pada waktu muqim kemudian ia bepergian, orang tersebut harus menyempurnakan pengusapannya sebagai orang yang muqim.].

Sebab mengusap itu merupakan ibadah yang dilakukan di rumah dan juga dilakukan pada saat bepergian. Jadi harus dimenangkan hukum di rumah. Seperti andaikata orang tersebut bermuqim pada salah satu bagian yang awal atau yang akhir dari shalatnya, dia tidak boleh meng-qashar shalatnya.

Kata pengarang: “Andaikata seseorang mengusap muzah pada waktu bepergian, kemudian ia muqim” mengandung arti, jika belum sampai melewati sehari semalam. Jika demikian, harus menyempurnakan pengusapannya sebagai orang muqim. Adapun apabila telah melewati sehari semalam ke atas pada saat bepergian, orang tersebut harus mengulangi mengusap.

Kata pengarang: “Andaikata ia mengusap,: apakah yang dimaksudkannya itu mengusap kedua muzah itu sekaligus ataukah asal mengusap begitu saja. Masalah ini akan tampak nyata faedahnya dalam masalah andaikata ada orang mengusap salah satu dari kedua kakinya pada saat di rumah, kemudian mengusap kaki yang lain pada saat bepergian. Apakah orang ini harus mengusap sebagaimana orang muqim ataukah mengusap seperti orang musafir? Menurut apa yang dipastikan oleh Imām Rāfi‘ī, orang itu mengusap sebagaimana mengusapnya orang musafir. Imām Rāfi‘ī berkata: Karena yang diperlukan itu sempurnanya mengusap, sedangkan kesempurnaan ini telah terwujud pada saat bepergian. Imām Nawawī berkata: Yang shaḥīḥ dan dipilih, orang tersebut mengusap sebagaimana orang muqim. Sebab orang itu melakukan ibadah pada waktu berada di rumah. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *