Andaikata orang itu berniat mendapatkan kewenangan shalat dengan disertai dugaan bahwa hadats yang ia tanggung itu hadats kecil, tetapi yang sebenarnya adalah hadats besar, atau sebaliknya dia menduga hadatsnya hadats besar, tetapi kenyataannya hadats kecil, sah tayammumnya tanpa khilāf. Sebab yang diwajibkan dari adanya dua hadats tersebut adalah satu, yaitu tayammum. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ مَسْحُ الْوَجْهِ وَ الْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَ التَّرْتِيْبُ.).
[Dan mengusap wajah, dan dua tangan hingga siku dan tertib].
Termasuk fardhunya tayammum yaitu mengusap wajah dan dua tangan. Sebab firman Allah:
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيْكُمْ
“Sapulah mukamu dan tanganmu.” (an-Nisā’: 43).
Dan karena Rasūlullāh s.a.w. sendiri melakukannya.
Adapun mengusap muka, usapannya wajib merata sebagaimana dalam wudhu’. Tetapi tidak wajib mendatangkan tanah pada tempat tumbuhnya rambut yang wajib dibasuh pada waktu wudhu’, menurut madzhab yang kuat, disebabkan karena sukar.
Al-Qādhī Ḥusain berkata: Selain tidak wajib, juga tidak disunnatkan mendatangkan tanah pada tempat tumbuhnya rambut. Dan wajib mendatangkan tanah pada bagian yang tampak pada jenggotnya yang menggelantung ke bawah, menurut qaul yang azhhar jelas wajahnya, sebagaimana dalam wudhu’.
Adapun mengusap tangan, juga wajib meratakan sampai ke siku. Demikian menurut Imām Rāfi‘ī dan Imām Nawawī di dalam ar-Raudhah. Ketetapan tersebut menggunakan hujjah kata Ibnu ‘Umar r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ: ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ، وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ.
“Tauyammum itu dua kali pukulan. Satu pukulan untuk muka dan satu pukulan lagi untuk kedua tangan hingga sikut.” (Riwayat al-Ḥākim).
Dan al-Ḥākim memberikan pujiannya pada Hadits ini. Tetapi beliau ditentang oleh al-Baihaqī. Al-Baihaqī berkata: Yang benar, Hadits tersebut riwayatnya berhenti sampai kepada Ibnu ‘Umar r.a. Dan menggunakan hujjah kias, yaitu dikiaskan dengan wudhu’.
Di dalam qaul qadīm, tidak sah hanya mengusap tapak tangan saja. Imām Syāfi‘ī mengambil ḥujjah dari sabda Rasūlullāh s.a.w. kepada ‘Ammār:
إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَقُوْلَ بِيَدَيْكَ هكَذَا. ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الْأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِيْنِ وَ ظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَ وَجْهَهُ.
“Sesungguhnya kamu cukup memukulkan kedua tanganmu begini. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memukulkan kedua tangannya ke bumi sekali, dan kemudian mengusapkan tangan kirinya pada tangan kanan dan bagian luar tapak tangan dan mengusap mukanya.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Di dalam qaul qadīm ini, Imām Syāfi‘ī menggantungkan masalah cukup mengusap tapak tangan ini pada Haditsnya ‘Ammār. Sedangkan Haditsnya ‘Ammār itu shahih, jadi berarti cukupnya mengusap tapak tangan itu merupakan madzhabnya Imām Syāfi‘ī berdasarkan Hadits tersebut. Sebab kata Imām Syāfi‘ī: “Apabila sebuah Hadits itu shaḥīḥ, maka ikutilah, dan ketahuilah bahwa Hadits yang shaḥīḥ itu adalah madzhabku.”
Qaul qadīm ini juga merupakan madzhabnya Imām Mālik dan Imām Aḥmad, dan dipilih oleh Imām Nawawī. Di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab Imām Nawawī berkata bahwa cukupnya mengusap tapak tangan itu lebih kuat di bidang dalil dan lebih dekat dengan zhahirnya sunnat Rasūl yang shaḥīḥ. Wallāhu a‘lam.
Ibnu Rif‘ah setelah membicarakan masalah-masalah yang dibahas oleh Imām Ḥaramain ini beliau berkata: Wajib men-tarjīḥ-kan qaul qadīm. Wallāhu a‘lam. Imām Nawawī di dalam asal kitab ar-Raudhah berkata: Ketahuilah, bahwa lafazh Dharbataini (dua kali pukulan) itu seringkali diulang-ulang di dalam Hadits-hadits Rasūl. Kemudian sekompok Ulama dari Ulama Madzhab Syāfi‘ī mengambil keputusan menurut zhahirnya Hadits. Mereka berkata: Tidak boleh kurang dari dua kali pukulan, tetapi boleh melebihi dari dua kali itu.
Qaul yang ashaḥḥ yaitu apa yang dikatakan oleh Ulama Syāfi‘ī lainnya bahwa yang diwajibkan itu adalah mendatangkan tanah (debu), baik tanah itu dari hasil satu pukulan maupun lebih dari dua pukulan. Akan tetapi disunnatkan, hendaknya jangan sampai lebih dari dua pukulan atau kurang dari dua pukulan. Baik debu itu didapat dari tangan, dari kain atau dari kayu.
Di dalam tayammum, tidak disyaratkan harus menjalankan tangannya di anggota menurut qaul yang rājiḥ. Wallāhu a‘lam.
Di antara fardhunya tayammum ialah tertib (berurutan). Jadi wajib mendahulukan muka daripada kedua tangan. Baik tayammum itu sebagai gantinya wudhu’ maupun gantinya mandi janābah. Sebab tayammum itu wajib bersuci pada dua anggota. Jadi sama dengan wudhu’, menurut Hadits ‘Ammār r.a. Andaikata dia lupa melaksanakan tertib ini, tidak sah tayammumnya menurut madzhab yang kuat, sama dengan wudhu’.
Tidak disyaratkan tertib di dalam mengambil tanah untuk kedua anggota tayammum tersebut menurut qaul yang ashaḥḥ. Sehingga andaikata orang itu memukulkan kedua tangannya di atas tanah, dan kemudian dia mengusap mukanya dengan tangan kanannya, setelah itu tangan kanannya itu diusap dengan tangan kirinya, sah dan cukup tayammumnya. Demikian pula andaikata dia mengambil tanah itu dengan kain, kemudian mengusap muka dengan sebagian kain itu dan mengusap kedua tangannya dengan bagian yang lain dari kain itu, cukup tayammumnya.
Orang yang bertayammum wajib melepaskan cincin pada pukulan kali yang kedua, tidak cukup dengan hanya digerak-gerakkannya. Lain halnya pada ketika berwudhu’. Sebab tanah itu tidak boleh sampai ke bawah jari yang bercincin itu. Wallāhu a‘lam.
Andaikata orang itu bertayammum, sedangkan pada tangannya ada najis, dan orang itu memukulkan kedua tangannya pada tanah yang suci kemudian mengusap mukanya, boleh menurut qaul yang ashaḥḥ. Tidak boleh mengusap tangan yang ada najisnya, tanpa khilāf. Sebagaimana tidak sah membasuh tangan yang ada najis di dalam wudhu’.
Andaikata orang itu sedang bertayammum lalu kejatuhan najis, tidak batal tayammumnya menurut madzhab yang kuat. Andaikata orang itu bertayammum sebelum berijtihad menentukan qiblat, maka mengenai sah atau tidaknya tayammumnya ada dua wajah. Sama dengan masalahnya orang yang pada anggota tayammumnya ada najis. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ سُنَنُهُ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: التَّسْمِيَةُ، وَ تَقْدِيْمُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، وَ الْمُوَالَاةُ قِيَاسًا عَلَى الْوُضُوْءِ.).
[Sunnat-sunnatnya tayammum ada tiga, yaitu membaca basmalah, mendahulukan tangan kanan daripada yang kiri, dan berturut-turut. Semua itu dikiaskan dengan wudhu’].
Di antara sunnat-sunnatnya tayammum lagi ialah memperingan (mempersedikitkan) tanah yang diambil jika berlebihan; hendaknya melepaskan cincin pada pukulan yang pertama; hendaknya menghadap ke qiblat sebagaimana dalam wudhu’, dan hendaknya setelah pukulan yang kedua jari-jemarinya itu saling dimasukkan satu kepada yang lainnya. Imām Nawawī berkata di dalam asal kitab ar-Raudhah: Juga (disunnatkan) membaca dua syahadat sesudah tayammum itu, sebagaimana wudhu’ dan mandi. Wallāhu a‘lam.