Cabang Permasalahan – Perihal Tayammum – Kifayat-ul-Akhyar (2/3)

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Rangkaian Pos: 012 Perihal Tayammum - Kifayat-ul-Akhyar

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ التُّرَابُ الطَّاهِرُ.).

[Dan debu yang suci].

Tidak sah tayammum seseorang kecuali dengan menggunakan debu (tanah) yang suci, murni dan belum pernah digunakan. Jadi keharusan adanya tanah itu sudah pasti. Baik tanah merah, tanah hitam atau tanah kuning. Baik tanah dari Armani maupun dari lainnya, asalkan sebutan tanah tetap pada tanah-tanah yang bermcam-macam itu.

Tidak sah bertayammum dengan kapur (yang dibuat untuk melabur – mengkapur – rumah) atau dengan tanah kapur dan semua barang-barang tambang (bahan galian seperti besi, emas dan sebagainya). Dan juga tidak sah pula bertayammum dengan batu yang sudah dihancurkan atau dengan kaca beling (pecahan kaca) yang sudah digerus (gosok/tumbuk) dan lain sebagainya. Dalam satu wajah, semua barang-barang tersebut di atas itu boleh dibuat tayammum. Namum hukum yang demikian itu adalah salah. Mereka menjadikan hujjah firman Allah s.w.t.:

فَتَمَّمُوْا صِعِيْدًا طَيِّبًا

Maka bertayammumlah dengan debu yang bersih!” (al-Mā’idah: 6).

Kata-kata sha‘īd merangkumi tanah tanah dan semua yang ada di dalam tanah.

Wajah tersebut dinisbatkan kepada Imām Mālik dan Imām Abū Ḥanīfah. Kedua Imām ini berkata: Tayammum boleh menggunakan segala macam jenis tanah, bahkan dengan batu yang dibersihkan sekalipun.

Imām Rāfi‘ī menukil dari Imām Mālik bahwa beliau mengesahkan tayammum dengan menggunakan segala sesuatu yang terdapat di bumi, seperti pepohonan dan tumbuhan sawah.

Imām Nawawī menukil dari al-Auzā‘ī dan Sufyān ats-Tsaurī di dalama Syaraḥ Muslim bahwa al-Auzā‘ī dan Sufyān juga mengesahkan tayammum dengan menggunakan segala sesuatu yang ada di bumi, bahkan dengan es sekalipun.

Menurut madzhab Imām Syāfi‘ī serta kebanyakan para Ulama, dan juga menjadi perkataan Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Ibn-ul-Mundzir dan Dāūd, tayammum tidak sah jika tidak menggunakan tanah yang suci dan berdebu, yang boleh menempel pada kulit wajah dan kedua tangan. Sebab perkataan “sha‘īd” itu boleh mengenai tanah dan semua yang ada pada permukaan tanah dan jalan-jalan. Jadi perkataan sha‘īd itu mujmal tetapi sudah diterangkan maksudnya oleh Rasūlullāh s.a.w. dengan sabdanya:

التُّرَابُ كَافِيْكَ

Tanah itu dapat mencukupi dirimu.”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda lagi:

جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ تُرْبَتُهَا طَهُوْرًا إِذَا لَمْ تَجِدِ الْمَاءَ.

Bumi itu dijadikan masjid buat aku, dan tanahnya dijadikan tanah yang boleh mensucikan jika kamu tidak menemukan air.” (Riwayat Muslim).

Di sini Rasūlullāh s.a.w. mengalihkan pembicaraan dari bumi lalu menyebutkan tanah. Andaikata tidak ada maksud memberi kekhususan sifat suci mensucikan terhadap tanah, tentu Rasūlullāh s.a.w. tidak akan berkata demikian. Sebab sifat mensucikannya tanah itu telah diterangkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Dāruquthnī di dalam kitab Sunan-nya dan Abū ‘Awānah di dalam kitab Shaḥīḥ-nya, yang lafazhnya berbunyi “wa turābuhā thahūrun,” yakni dan tanahnya suci mensucikan.

Ibnu ‘Abbās berkata: sha‘īd ialah tanah sawah. Diriwayatkan dari ‘Alī dan Ibnu Mas‘ūd bahwa yang disebut sha‘īd ialah tanah yang berdebu. Imām Syāfi‘ī berkata: Yang disebut sha‘īd ialah tiap-tiap tanah yang berdebu. Kata Imām Syāfi‘ī mengenai perkara ini boleh dibuat ḥujjah di dalam lughat.

Kemudian, tanah yang boleh digunakan untuk tayammum itu syaratnya ialah harus tidak keluar dari keadaan semulanya kepada lain yang dapat mencegah dari dikatakannya sebagai “tanah.” Hingga andaikata tanah itu dibakar sampai menjadi abu, atau menjadi tembikar yang telah ditumbuk halus, maka tidak boleh digunakan untuk tayammum.

Andaikata orang membakar tanah liat, kemudian bakarannya digerus (dikisar) sampai halus, maka mengenai kewenangan tayammum dengan menggunakan tanah liat yang telah dibakar itu mempunyai dua wajah. Imām Rāfi‘ī tidak men-tarjīḥ-kan salah satu dari kedua wajah tersebut. Demikian juga Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah.

Apakah boleh tayammum dengan menggunakan pasir? Kalau pasirnya kasar, yang seumpama dilemparkan tidak ada debunya, maka tidak boleh. Tetapi jika keluar debunya, boleh. Jika pasirnya halus, boleh menggunakannya untuk tayammum. Sebab pasir yang halus termasuk salah satu jenis tanah. Demikian kata Imām Rāfi‘ī. Kewenangan tayammum tersebut telah ditetapkan secara pasti oleh Imām Nawawī di dalam kitab Fatawa-nya. Tetapi di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, Syaraḥ al-Wasīth dan Tashḥīḥ-ut-Tanbīh, Imām Nawawī berkata: Andaikata orang itu tayammum dengan tanah yang dicampur dengan pasir yang halus, tidak sah tayammumnya. Apatah lagi dengan pasir semata-mata, tentulah lebih tidak boleh.

Kemudian tanah yang digunakan untuk bertayammum itu harus suci. Sebab firman Allah: sha‘īdan thayyiban, artinya: Debu yang suci. Kata thayyiban di sini menggunakan arti thāhir (yakni suci). Sebab kata thayyib ada kalanya yang menggunakan arti sesuatu yang dirasakan enak oleh nafsu, ada yang menggunakan arti halal dan ada yang menggunakan arti thāhir. Dua makna yang pertama tidak pantas untuk menyifati tanah, jadi harus menggunakan arti yang ketiga yaitu thāhir (suci).

Sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Dan tanahnya boleh dijadikan suci mensucikan,” mengandung maksud yang menunjukkan bahwa sha‘īd tersebut artinya suci. Karena air yang najis itu tidak boleh untuk bersuci, maka sudah tentulah demikian juga dengan tanah yang najis.

Diambil dari kata pengarang “thāhir”, andaikata orang itu bertayammum dengan tanah debu yang suci yang berada di atas benda najis, tayammumnya tetap mencukupi. Memang demikianlah hukumnya.

Kemudian, tanah yang digunakan untuk tayammum itu harus tanah murni. Tidak boleh bertayammum dengan tanah yang dicampur dengan tepung atau za‘faran dan lain sebagainya, tanpa ada khilāf. Demikian pula kalau yang mencampuri itu hanya sedikit, menurut qaul yang shaḥīḥ. Yang disebut “banyak” itu, yaitu asal dapat dilihat dengan mata. Yang disebut “sedikit” itu, yaitu yang tidak dapat dilihat mata. Demikian kata Imām Ḥaramain.

Kemudian, tanah yang digunakan untuk tayammum itu tidak boleh yang musta‘mal (yang telah digunakan), sama dengan air menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab tanah ini untuk menjadikan sahnya sesuatu yang asal dicegah. Yang disebut tanah musta‘mal ialah tanah yang menempel pada anggota badan. Demikian juga tanah yang rontok dari anggota badan menurut qaul yang rājiḥ. Jadi boleh dianggap musta ‘mal jika sudah menyentuh badan. Kalau belum menyentuh, tidak dianggap musta‘mal. Demikian kata Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ فَرَائِضُهُ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: النِّيَّةُ.).

[Fardhunya tayammum ada empat. Yang pertama ialah niat].

Niat diwajibkan di dalam tayammum karena sebuah Hadits yang masyhur, yaitu:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

Sesungguhnya sahnya suatu amal itu apabila disertai dengan niat.”

Oleh karena tayammum termasuk ibadah, maka ia juga memerlukan niat. Sama halnya dengan wudhu’ dan shalat.

Caranya yaitu berniat memperoleh kewenangan dalam mengerjakan shalat. Tidak cukup berniat, untuk menghilangkan hadats, sebab orang yang bertayammum itu tidak boleh menghilangkan hadatsnya. Dalilnya yaitu sabda Rasūlullāh s.a.w. kepada ‘Amr bin al-‘Āsh ketika ‘Amr sedang mengalami janābah lalu bertayammum dan kemudian shalat menjadi imam dengan sahabat-sahabatnya. Ketika itu Rasūlullāh s.a.w. bersabda begini:

أَصَلَّيْتَ بأَصْحَابِكَ وَ أَنْتَ جُنُبٌ.

Apakah engkau shalat dengan kawan-kawanmu sedangkan engkau dalam keadaan junub!.”

Lain daripada itu, seandainya tayammum itu boleh menghilangkan hadats, tentunya tidak akan batal tayammum itu karena melihat air, seperti wudhu’ dengan air.

Di dalam tayammum, tidak cukup berniat bersuci dari hadats, menurut qaul yang shaḥīḥ. Andaikata orang itu berniat menunaikan kewajiban tayammum atau berniat fardhunya tayammum, maka ada dua wajah. Yang pertama mengatakan cukup sebagaimana dalam wudhu’. Adapun menurut qaul yang ashaḥḥ, tidak cukup. Perbedaannya dengan wudhu’, bahwa wudhu’ itu merupakan ibadah yang dituju pada hakikatnya, sehingga memperbarui wudhu’ itu hukumnya sunnat. Sedangkan tayammum pula tidak disunnatkan memperbaruinya. Andaikata orang itu berniat tayammum begitu saja, tidak cukup. Demikian kata al-Māwardī.

Ketahuilah, bahwa niat tidak boleh tertinggal dari awal pekerjaan tayammum yang difardhukan, yaitu memindahkan tanah. Yang dimaksud yaitu ketika orang yang bertayammum itu meletakkan tangannya di atas permukaan tanah. Jadi sebelum mengangkat tangan harus sudah niat. Andaikata bersamaan antara niat dan meletakkan tangan di atas tanah dan niat itu hilang sebelum mengusap wajah, cukup tayammumnya menurut qaul yang rājiḥ di dalam Syaraḥ as-Shaghīr dan kitab ar-Raudhah.

Ibnu Rif‘ah berkata: Yang ashaḥḥ, tidak cukup, sebab memindahkan tanah itu walaupun hukumnya wajib, tetapi yang dimaksudkan bukan itu yang sebenarnya.

Kemudian, jika orang itu berniat memperoleh kewenangan sesuatu fardhu, maka baginya ada empat hal pokok, yaitu:

  1. Orang itu berniat mendapatkan kewenangan ibadah fardhu dan sunnat, kedua-duanya. Maka dia boleh mengerjakan ibadah fardhu dan sunnat, dan boleh mengerjakan sunnat sebelum dan sesudah fardhu, di dalam waktunya maupun di luar waktunya. Tidak disyaratkan menjelaskan fardhunya menurut qaul yang rājiḥ, cukup berniat fardhu secara mutlak dan boleh mengerjakan shalat fardhu mana saja yang dikehendaki. Jika dia berniat untuk sesuatu fardhu yang dijelaskan, boleh juga mengerjakan shalat fardhu selain yang dijelaskan (atau dinyatakan) itu.
  2. Orang itu berniat fardhu, baik shalat fardhu yang lima waktu maupun shalat fardhu yang di-nadzar-kan, dan tidak terpikir sama sekali dalam hatinya untuk shalat sunnat. Orang yang demikian boleh mengerjakan shalat fardhu, karena dia telah berniat fardhu. Dan juga boleh mengerjakan shalat sunnat sesudah fardhu maupun sebelumnya menurut qaul yang rājiḥ, karena shalat sunnat itu ekor kepada shalat fardhu.
  3. Orang itu berniat untuk sunnat saja. Orang seperti ini tidak boleh mengerjakan shalat fardhu menurut qaul yang rājiḥ. Sebab shalat sunnat itu sifatnya hanya ekor, sedangkan shalat fardhu itu yang asal (kepala). Jadi tidak sah shalat sunnat itu menjadi Tābi‘ (yang mengikuti) sedangkan dia tidak berniat fardhu (sebagai Matbū‘) yang diikuti.

Andaikata orang itu berniat untuk memegang mushḥaf, atau orang junub berniat untuk i‘tikaf, maka hukumnya sama dengan niat sunnat. Jadi tidak boleh untuk mengerjakan fardhu menurut madzhab yang kuat. Tetapi orang tersebut boleh mengerjakan apa saja yang ia niati menurut qaul yang shaḥīḥ.

Andaikata orang itu berniat tayammum untuk shalat janāzah, hukumnya sama dengan ketika dia berniat untuk shalat sunnat menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab, walaupun shalat janāzah itu dikira wajib atau dirinya (fardhu kifāyah), tetapi tetap sama dengan shalat sunnat ditujukan kewajibannya kepada dirinya saja. Buktinya, kewajiban shalat janāzah itu menjadi gugur apabila sudah ada orang lain yang menshalati janāzah itu.

4. Orang itu berniat untuk shalat saja (tanpa menyebut fardhunya atau sunnatnya). Orang seperti ini sama hukumnya dengan orang yang berniat untuk shalat sunnat menurut qaul yang rājiḥ. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *