Orang yang sakit boleh menggunakan pendapatnya sendiri mengenai apakah sakitnya itu mengkhawatirkan atau tidak, asalkan orang tersebut tahu selok-belok penyakit. Orang yang sakit itu boleh mengambil pedoman dari kata dokter yang ahli. Jika tidak ahli, tidak diterima.
Dokter, selain disyaratkan harus ahli, juga disyaratkan beragama Islam. Jadi dokter yang kafir (atau kristen), tidak boleh diterima keterangannya. Sebab Allah ta‘ālā menganggap fasik kepada orang-orang kafir itu. Untuk itu kita pun meninggalkan apa yang tidak diinginkan oleh Allah, dan kamu jangan terpancing oleh usaha sebagian Ulama fiqh yang menjijikkan.
Dokter juga diisyaratkan harus baligh. Dokter yang belum baligh tidak dapat diterima keterangannya. Juga disyaratkan harus adl (lurus). Keterangan dokter fasik tidak dapat diterima. Sebab Allah itu telah mewajibkan wudhu’. Jadi wudhu’ itu tidak boleh dipindah kecuali dengan keterangan yang boleh diterima Sedangkan Allah ta‘ālā Sendiri telah menganggap sia-sia ucapan orang-orang yang fasik. Kalau kita menerima omongan mereka, berarti kita berani bertentangan dengan Tuhan yang memperbuat sakit pada diri kita.
Ucapan seorang budak (hamba) atau perempuan boleh diterima. Dan cukup dengan hanya seorang menurut qaul yang masyhur. Ada yang mengatakan, harus dua orang, sebagaimana ketentuan sakit yang dikhawatirkan dalam bab wasiat. Sebab madzhab yang kuat dalam bab wasiat juga memastikan syarat harus lebih dari seorang. Mungkin perbedaannya, dalam bab wasiat terdapat hubungan ḥaqq Ādamī (hak kemanusiaan), yaitu para ahli waris dan orang-orang yang diberi harta wasiat. Jadi disyaratkan adanya orang-orang yang memberitahu itu harus lebih dari satu. Jika dalam bab tayammum, bahwa hak Allah. Sedangkan hak Allah itu berdasarkan atas kemurahan. Lain daripada itu, wudhu’ itu ada gantinya yaitu tayammum, sedangkan wasiat tidak ada gantinya.
Andaikata tidak ada dokter yang memenuhi syarat, ar-Ruyānī berkata menukil kata as-Sinjī: Tidak boleh tayammum. Imām Nawawī berkata: Aku belum pernah menjumpai seorang Ulama pun yang tidak sependapat atau yang menentang kata as-Sinjī.
Al-Asnā’ī berkata: Di dalam kitab Fatāwā-nya al-Baghawī ada sebuah keterangan yang memastikan boleh bertayammum. Jadi ada dua jawaban yang saling bertentangan. Adapun mewajibkan wudhu’ dan mandi tanpa mengetahui keadaan penyakit yang menjadi tempat diduganya kematian seseorang itu adalah jauh dari kebaikan syariah. Kita memohon kebaikan kepada Allah atas hukum yang telah kita tetapkan, dan kita memberikan fatwa dengan fatwa yang telah disampaikan oleh al-Baghawī. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ دُخُوْلُ وَقْتِ الصَّلَاة، وَ طَلَبُ الْمَاءِ، وَ تَعَذُّرُ اسْتِعْمَالِهِ.).
[Dan disyaratkan harus sesudah masuk waktu shalat. Harus mencari air dan adanya kesulitan dalam penggunaannya].
Tayammum boleh dianggap sah jika dikerjakan sesudah masuk waktu shalat. Karena firman Allah:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ.
“Jika kamu hendak berdiri untuk shalat, basuhlah mukamu…..” (al-Mā’idah: 6)
Dan seturusnya hingga akhir ayat. Berdiri untuk shalat itu tentu sesudah masuk waktu shalat. Wudhu’ dikecualikan dari masalah ini karena ada dalil lain. Sedangkan tayammum masih tetap karena memandang zhahirnya ayat. Dan Nabi telah bersabda:
جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ تُرَابُهَا طَهُوْرًا أَيْنَمَا أَدْرَكَتْنِي الصَّلَاةُ تَيَمَّمْتُ وَ صَلَّيْتُ.
“Bumi ini dijadikan bagi saya masjid (untuk shalat). Dan tanahnya dijadikan suci. Di mana jika saya temui waktu shalat, saya boleh bertayammum dan kemudian shalat.”
Lain daripada alasan tersebut, tayammum juga merupakan bersuci yang dharurat. Sebelum masuk waktu shalat tidak ada dharurat.
Syarat tayammum yang dianggap sah ialah orangnya harus mencari air lebih dulu. Sebab firman Allah:
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا
“Kemudian kami tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.” (al-Mā’idah: 6).
Allah menyuruh kita bertayammum apabila tidak ada air. Sedangkan kita tidak mungkin tahu adanya air itu kecuali setelah diadakan pencarian. Jadi mencari air itu menjadi syarat sahnya bertayammum.
Syarat mencari air harus sesudah masuk waktu shalat. Sebab waktu sesudah masuk waktu shalat itu adalah waktu dharurat. Orang yang hendak bertayammum boleh mencari air sendiri dan boleh juga dicarikan oleh seseorang yang telah mendapat keidzinannya, menurut qaul yang shaḥīḥ. Saya katakan: Dan orang yang mendapat keidzinannya itu harus orang yang boleh dipercaya dalam mencari air. Wallāhu a‘lam.
Tidak cukup yang mencari air itu seseorang yang tidak mendapat keidzinannya, tanpa ada khilāf. Caranya mencari air ialah mula-mula harus diteliti lebih dulu kendaraannya. Sebab boleh saja di dalam kenderaannya itu ada air yang dia sendiri tidak merasa. Jika jelas sudah tidak ada air, harus melihat ke kanan kiri, muka dan belakang, jika berada di tempat yang rata. Kemudian harus menambah penyelidikannya di tempat-tempat yang kelihatan hijau dan tempat-tempat yang dikerumuni oleh burung-burung. Jika berada di tempat yang tidak rata, harus dilihat. Jika orangnya khawatir akan keadaan dirinya atau barangnya bila harus mondar-mandir mencari air, maka tidak wajib mondar-mandir. Sebab khawatir yang demikian ini juga dapat mengesahkan tayammum dalam keadaan dia meyakinkan adanya air. Apalagi kalau hanya menyangka adanya air.
Jika tidak khawatir akan keadaan dirinya dan barang bawaannya, wajib mondar-mandir mencari air sampai batas andaikata dia diteriaki oleh teman-temannya boleh mendengar, selain juga mendengar, hiruk-pikuknya para rombongan dan ramainya omongan mereka. Batas tersebut boleh jadi tidak sama karena perbedaan rata tidaknya tanah dan naik-turunnya tanah.
Kemudian cara selanjutnya, jika ia bersama rombongan, maka wajib menanyai seorang demi seorang hingga rata atau sampai waktunya mepet hingga hanya cukup untuk melakukan shalat menurut qaul yang rājiḥ. Ada yang mengatakan, harus menanyai seluruh rombongan sampai rata walaupun habis waktunya. Dan tidak wajib mencari air dari satu persatu dari rombongan itu dengan dibuktikan secara nyata. Tetapi cukup memberikan pengumuman dengan berteriak: Siapa yang mempunyai air? Siapa yang ada kelebihan air? Dan lain sebagainya.
Andaikata rombongan yang berhenti istirahat itu menyuruh salah seorang yang dapat dipercaya untuk mencari air yang akan digunakan bersuci, orang tersebut sudah mencukupi sebagai mewakili dari seluruh rombongannya. Kemudian sewaktu-waktu diketahui salah seorang dari anggota rombongan itu ada yang mempunyai air, maka harus dicari walaupun dengan hibah menurut qaul yang rājiḥ.
Andaikata ada yang memberikan pinjaman timba, wajib diterima. Dan andaikata ada yang menawarkan piutang air, juga wajib diterima menurut qaul yang shaḥīḥ. Orang yang tidak memiliki air, wajib membeli air untuk wudhu’ dan mandi, dan wajib pula mengeluarkan semua uang yang ia miliki, kecuali jika ia membutuhkan uang itu untuk ongkos pulang pergi. Jika dia membutuhkan, tidak wajib menggunakannya untuk membeli air.
Orang yang tidak mempunyai air, tidak wajib membeli air jika harganya melebihi dari harga biasa. Walaupun kelebihannya hanya sedikit, menurut qaul dan rājiḥ. Jika seumpama tidak seorang pun yang meminjami timba kepadanya, kecuali tidak kalau mau membayar uang sewa, orang itu wajib menyewa timba itu dengan harga biasa.
Andaikata air itu dapat diambil dari sumur dengan menggunakan sorbannya lalu diperas airnya, maka wajib melakukannya. Seandainya sorbannya tidak boleh sampai ke dalam sumur, sedangkan sorbannya itu boleh disobek lalu disambung yang satu dengan yang lain hingga sampai ke air di dalam sumur itu, maka wajib melakukan itu semua. Demikian itu apabila tidak mengurangi harga sorban yang melebihi harga air dan sewanya tali. Di dalam memberi anggaran harga umum ini terdapat banyak wajah. Qaul yang rājiḥ mengatakan harga umum itu menurut yang berlaku di tempat itu dan dalam keadaan yang demikian itu.
Kata pengarang “dan sulit menggunakan air,” yaitu mencakup seluruh sebab-sebab diperbolehkannya tayammum. Di muka telah disebutkan sebab-sebabnya yaitu sebab bepergian dan sebab sakit.
Di antara sebab-sebabnya lagi ialah ketika di dekat orang tersebut ada air. Akan tetapi jika harus menuju ke tempat itu, dia khawatir diganggu oleh binatang buas atau oleh musuh yang berada di sana. Atau dia mengkhawatirkan barang yang dibawanya, atau barang yang ditinggal di tempat berhentinya dari orang-orang yang merampas dan orang-orang yang mencuri; atau orang itu berada di atas perahu yang kalau dia mengambil air mungkin jatuh ke dalam laut. Dalam masalah-masalah ini, orang itu diperbolehkan tayammum.
Andaikata dia khawatir ditinggal oleh rombongannya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bila menuju ke tempat air itu, maka ia juga boleh tayammum tanpa khilāf. Jika tidak ada kekhawatiran maka ada khilāf. Qaul yang rājiḥ membolehkan tayammum karena dapat meresahkan hati.
Di antara sebab-sebabnya yang membolehkan tayammum, ialah karena dia memerlukan air itu. Ada kalanya karena dia dahaga, atau teman serombongannya yang dahaga, atau karena dahaganya hewan yang dimuliakan ketika itu atau hari esoknya.
Andaikata ada seorang laki-laki mati. Orang tersebut mempunyai air, tetapi teman-temannya banyak yang kehausan. Maka teman-temannya itu boleh minum air itu dan mentayammumkan mayit itu sebagai ganti memandikannya. Dan teman-teman yang ikut minum itu wajib membayar harga air yang diminumnya, kemudian hasilnya dimasukkan pada harta warisan. Harganya disesuaikan dengan harga yang berlaku di tempat mana mereka menghabiskan air pada waktu itu.
Di antara sebab-sebabnya lagi tudak boleh menggunakan air karena mempunyai luka dan lain sebagainya. Seperti mempunyai bisul dan lain sebagainya. Baik dibalut dengan pembalut maupun tidak. Masalah ini dterangkan oleh pengarang sesudah membicarakan masalah sebab-sebab ini, karena ada rentetannya dengan hukum mengqadha’ shalat.
Orang yang kehausan boleh merampas air dari temannya secara paksa jika ia enggan memberinya dengan syarat teman itu tidak memerlukan air itu. Dan setelah diminumnya, hendaklah ia membayar harganya yang biasa. Wallāhu a‘lam.