Hati Senang

Cabang Permasalahan – Perihal Perkara-perkara Yang Membatalkan Tayammum – Kifayat-ul-Akhyar (2)

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini


Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Cabang Permasalahan (2)

Andaikata orang yang junub atau orang yang berhadats kecil tidak menemukan air kecuali air yang tidak cukup untuk bersuci, orang tersebut wajib menggunakan air itu menurut qaul yang shaḥīḥ dan juga wajib tayammum untuk sisa anggotanya.

Andaikata orang itu tidak menemukan tanah kecuali tanah yang sedikit, tidak cukup untuk tayammum, wajib menggunakan tanah itu menurut madzhab yang kuat. Demikian juga kalau di badannya ada najis, kemudian tidak menemukan air kecuali air yang cukup untuk membasuh sebagian dari najis itu, maka wajib membasuhnya menurut madzhab yang kuat.

Jadi andaikata orang itu masih berhadas kecil atau sedang junub atau di badannya ada najis, dan dia tidak menemukan air kecuali air yang hanya cukup untuk salah satunya, maka dia wajib menggunakan air itu untuk mencuci najis itu lalu bertayammum. Karena mensucikan najis itu tidak ada gantinya.

Andaikata di dalam perjalanannya, seorang musafir melewati air. Akan tetapi ia tidak mau menggunakan air itu. Padahal waktu shalat sudah masuk, kemudian setelah sampai di kejauhan dia bertayammum dan shalat, hal itu boleh dan tidak wajib mengulangi shalatnya menurut madzhab yang kuat.

Andaikata orang itu tidak menemukan air dan tidak menemukan tanah, ia wajib shalat karena memuliakan waktu dan wajib mengulangi shalatnya sesudah menemukan air. Shalatnya tetap dikatakan sah. Jadi kalau orang itu menemukan air, wajib mengulangi shalatnya.

Jika orang itu menemukan tanah, apakah dia wajib mengulangi shalatnya? Dilihat dulu. Jika tanah itu ditemukan di tempat yang boleh menggugurkan qadha’, wajib mengulangi shalat. Jika tidak, maka tidak wajib mengulanginya. Sebab tidak ada gunanya shalat dengan tayammum, shalat itu wajib diulang. Malah menurut kata sebagian Ulama, tidak boleh diqadha’.

Kemudian, orang yang tidak menemukan air dan tanah dalam keadaan junub, apakah wajib membaca al-Fātiḥah dalam shalatnya? Menurut apa yang menjadi kandungan di dalam kata Imām Rāfi‘ī mengenai masalah ini di dalam bab tayammum, tidak wajib membaca al-Fātiḥah, dan orang itu harus membaca dzikir-dzikir yang isinya sepadan dengan surat al-Fātiḥah. Hal yang demikian juga diikuti oleh Imām Nawawī. Namun di dalam bab mandi Imām Nawawī menganggap shaḥīḥ wajibnya membaca surat al-Fātiḥah.

Andaikata orang itu bertayammum karena janābah, lalu berhadats, haram baginya melakukan hal-hal yang diharamkan untuk orang-orang yang berhadats kecil. Tetapi tidak haram membaca al-Qur’ān dan tinggal di masjid. Kemudian dengan melihat air, membaca al-Qur’ān menjadi haram, dan menjadi haram pula apa-apa yang diharamkan kepada janābah, hingga orang tersebut mandi. Kecuali jika ada hal-hal yang dapat menghalangi dari menggunakan air itu. Baik penghalang itu dipandang dari sudut syar‘ī seperti dahaga, maupun penghalang ḥissī seperti ada binatang buas atau ada musuh, sebagaimana yang telah diterangkan di muka, dan lain sebagainya. Wallāhu a‘lam.

Masalah

Seorang musafir menemukan wadah berisi air yang disediakan untuk minum, orang tersebut tidak boleh menggunakan air itu untuk wudhu’, dan dia wajib tayammum. Sebab wadah berisi air yang ditempatkan di situ adalah untuk diminum. Demikian keterangan al-Mutawallī dan ar-Ruyānī. Ar-Ruyānī menukil masalah ini dari para Ulama Madzhab Syāfi‘ī. Wallāhu a‘lam.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.