Cabang Permasalahan (3)
Andaikata seorang musafir ragu-ragu, apakah dirinya memulai mengusap di rumah ataukah waktu dalam bepergian? Maka dia harus mengambil keputusan “mengusap di rumah”. Jadi hanya boleh mengusap sehari semalam. Seperti halnya kalau ada orang mengusap muzah di rumah atau waktu dalam perjalanan, lalu ia ragu-ragu mengenai masa habisnya usapan, maka orang tersebut harus mengambil keputusan “berhenti mengusap”. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (4)
Mengusap muzah ialah paling kurangnya harus boleh katakan sudah mengusap pada bagian kaki yang wajib dibasuh, dari sisi atas muzah. Jadi tidak cukup hanya mengusap bagian bawahnya atau bagian tumit atau pinggirnya saja.
Boleh dianggap cukup, mengusap muzah dengan kain atau kayu atau lain-lain sebagainya. Andaikata air diteteskannya pada muzah, juga dianggap sudah cukup. Sebagaimana air yang diteteskan waktu mengusap kepala. Yang menjadi kesunnatannya yaitu mengusap muzah pada bagian atas dan bawahnya. Jika di bagian bawah ada najisnya, tidak boleh diusap.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ يَبْطُلُ الْمَسْحُ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: بِخَلْعِهِمَا، وَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ، وَ مَا يُوْجِبُ الْغُسْلَ.).
[Mengusap muzah itu menjadi batal sebab adanya tiga perkara ini. Yaitu sebab melepaskan muzah, sebab habisnya waktu mengusap dan sebab adanya sesuatu yang mewajibkan mandi].
Kewenangan mengusap muzah itu mempunyai beberapa batas waktu penghabisan. Apabila salah satunya telah sampai, maka batallah kewenangan mengusap muzah. Di antaranya, apabila orangnya dengan sengaja melepaskan kedua muzah itu, atau melepaskan salah satu dari kedua muzah itu, atau apabila muzah tersebut terlepas dengan sendirinya, atau apabila muzah itu sudah tidak patut lagi untuk dipakai karena robek atau sudah rapuh atau karena lainnya. Dalam keadaan begini, orangnya tidak boleh mengusap muzah. Demikian itu apabila orangnya itu masih dalam keadaan suci dengan mengusap muzah. Sebab dengan adanya perkara-perkara yang telah disebutkan tadi, orang tersebut wajib membasuh yang asal, yaitu wajib membasuh kaki.
Apakah orang seperti di atas harus memulai semula wudhu’nya, ataukah cukup membasuh kakinya saja? Ada dua qaul. Qaul yang rājiḥ menyatakan cukup dengan hanya membasuh kedua kakinya saja.
Di antara batas penghabisan mengusap muzah ialah habisnya waktu untuk mengusap. Jadi kalau sudah lewat sehari semalam bagi orang muqim dan sudah lewat tiga hari tiga malam bagi musafir, batal haknya untuk mengusap muzah. Dan orangnya harus memulai pakai muzah seperti waktu permulaannya, berdasarkan Haditsnya Abū Hurairah dan Haditsnya Shafwān bin ‘Assāl r.a.
Di antara batas penghabisan mengusap muzah ialah ketika berlaku pada diri orang yang mengusap itu perkara-perkara yang mewajibkan mandi. Karena Haditsnya Shafwān yang berbunyi:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ (ص) أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ.
“Kita diperintahkan oleh Rasūlullāh s.a.w. supaya tidak melepaskan muzah kita kecuali karena janabah.”
Andaikata di kaki orang yang memakai muzah terdapat najis, dan tidak mungkin mencuci najis itu di dalam muzah (tanpa melepaskannya), maka wajib ia melepaskan muzah itu untuk mencuci najisnya. Tetapi andaikata dimungkinkan dapat mencuci najis itu di dalam muzah, lalu orangnya mencuci najis itu, maka boleh mengusap muzah dan tidak batal.
Cabang Permasalahan (5)
Andaikata orang itu sehat kedua kakinya, tetapi ia hanya mengenakan muzah pada salah satunya, tidak sah mengusap muzah itu. Jadi kalau orang itu hanya mempunyai sebelah kaki, bolehlah ia mengusap muzah pada kaki yang satu itu.
Andaikata salah satu dari kedua kakinya ada yang luka (sakit) sehingga tidak wajib membasuhnya dalam berwudhu’, kemudian orang itu memakai muzah pada kaki yang sehat, menurut ad-Dārimī beliau memastikan sahnya mengusap muzah. Imām Ghazālī memastikan tidak sahnya mengusap muzah. Wallāhu a‘lam.