Budi Pekerti Yang Mulia – Kisah Sang Rasul (2/2)

KISAH SANG RASUL:
Menyimak dan Meneguhkan Sosok Pembawa Risalah

Karya: Abdullah ibn Jakfar al-Habsyi
 
Diterbitkan oleh:
CV. Layar Creative Mediatama

Rangkaian Pos: Budi Pekerti Yang Mulia - Kisah Sang Rasul

Sayyidinā Ḥusain r.a. berkata:

Aku pernah bertanya kepada ayahku ‘Alī bin Abī Thālib r.a. tentang bagaimana Rasūlullāh s.a.w. jika kembali ke tempat tinggalnya? Maka Sayyidinā ‘Alī r.a. menjawab: “Beliau jika kembali ke rumahnya, membagi aktifitasnya menjadi 3 bagian; bagian untuk Allah, bagian untuk keluarganya, bagian untuk dirinya, kemudian membagi yang merupakan bagiannya untuk dirinya dan orang-orang. Beliau pun menginstruksikan pengajaran bagi awam kepada para sahabat yang khusus (yang lebih banyak menimba ilmu dari Rasūlullāh s.a.w.), tidak menyimpan hartanya dari mereka sedikitpun, dan sangat diketahui dari sejarah kehidupan beliau bahwa beliau mengutamakan orang yang dimuliakan, dan membagi waktu di antara mereka sesuai dengan keutamaan mereka, dan Baginda Rasūlullāh s.a.w. bekerja dengan mereka dan mempekerjakan mereka untuk maslahat (kebaikan) umat, baik terkait permasalahan maupun informasi yang beredar di kalangan umat, dan beliau bersabda:

لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ، وَ أَبْلِغُوْنِيْ حَاجَةَ مَنْ لَا يَسْتَطِيْعُ إِبْلَاغَهَا، فَإِنَّهُ مَنْ أَبْلَغَ سُلْطَانًا حَاجَةَ مَنْ لَا يَسْتَطِيْعُ إِبْلَاغَهَا، ثَبَّتَ اللهُ قَدَمَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Agar menyampaikan yang hadir kepada yang tidak hadir, dan sampaikanlah kepadaku hajat orang yang tidak bisa menyampaikan hajatnya, maka barang siapa yang menyampaikan kepada seorang pemimpin hajat orang yang tidak dapat menyampaikannya, niscaya Allah akan mengokohkan kedua kakinya hari kiamat kelak.” (al-Hadits).

Dan dahulu sahabat Rasūlullāh s.a.w. masuk ke kediaman beliau untuk mendapatkan manfaat dan tidaklah mereka keluar kecuali mereka sudah kenyang dengan manfaat tersebut, sehingga mereka mengajak orang kepada manfaat dan kebaikan itu.

Sayyidinā Ḥusain r.a. berkata:

“Aku bertanya kepada ayahku ‘Alī ibn Abī Thālib r.a. tentang bagaimana ketika Rasūlullāh s.a.w. meninggalkan kediamannya? Maka Sayyidinā ‘Alī r.a. menjawab: “Rasūlullāh s.a.w. jika keluar dari rumahnya menjaga lisannya, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat, mempersatukan umat, tidak memecah belah mereka, memuliakan orang yang dimuliakan kaumnya dan menyerahkan urusan kaum kepada pemukanya, memberi peringatan kepada manusia serta mewaspadainya seraya tetap memberikan senyuman dan budi pekerti yang mulia, dan Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang selalu tersenyum, berakhlak mulia, lembut, dan beliau orang yang melupakan sesuatu jika tidak mengingingkannya, tidak membuat putus asa orang yang mengharapkannya.

Beliau tidak memiliki 3 sifat ini dalam dirinya; berdebat, memperbanyak sesuatu, dan melakukan hal yang tidak bermanfaat. Dan Beliau pun tidak memiliki 3 sifat ini ketika bersosialisasi dengan umat manusia; tidak membenci seseorang, tidak membuat malu seseorang, dan tidak mencari-cari kesalahan seseorang.

Baginda Rasūlullāh s.a.w. menanyakan para sahabatnya, dan menanyakan permasalahan umat, beliau membenarkan yang benar serta menguatkannya, dan menyalahkan yang salah dan mengalahkannya, beliau moderat dengan keadaan umatnya, tidak melupakan pengajaran terhadap mereka, beliau mempersiapkan segala sesuatu untuk umatnya, tidak mengabaikan kebenaran ataupun melebihkan kebenaran, paling mulia di antara manusia yang paling mencakup nasihatnya kepada mereka, dan yang paling agung di antara umat manusia adalah yang paling banyak berbuat kebaikan dan kebajikan kepada mereka.”

Sayyidinā Ḥusain r.a. berkata:

“Aku bertanya kepada ayahku Alī ibn Abī Thālib r.a. tentang bagaimana majelis (perkumpulan) Rasūlullāh s.a.w.? Sayyidinā ‘Alī r.a. pun menjawab: “Rasūlullāh s.a.w. tidak duduk ataupun berdiri kecuali dalam keadaan berdzikir, jika datang ke suatu majelis maka beliau duduk sebagaimana beliau datang, dan beliau memerintahkan seperti itu, memberikan kabar gembira bagi orang yang duduk bersamanya yang tidak akan mengira teman duduknya ada yang lebih mulia dari Rasūlullāh s.a.w., teman duduknya atau orang yang meminta pertolongan kepadanya dibuat sabar hingga beliau yang menyelesaikan masalahnya, barang siapa meminta pertolongan dijawab dengan hajat yang diminta atau arahan yang baik, umat manusia diliputi rasa senang dengan akhlak mulia beliau, maka beliau layaknya ayah bagi mereka, dan mereka dalam kebenaran di posisi yang sama di mata Rasūlullāh s.a.w.

Majelis Baginda Rasūlullāh s.a.w. adalah majelis yang berisikan ilmu, rendah hati, amanat, dan kesabaran. Tidak terdengar suara yang diangkat di majelisnya, tidakpun kehormatan seseorang menjadi lengser di majelisnya, tidak disebutkan di majelisnya tentang keburukan manusia, mereka hidup berdampingan bersama Baginda Rasūlullāh s.a.w., para sahabat yang rendah hati berlomba dalam ketaqwaan, mereka menghormati yang tua, mengasihi yang muda, mengutamakan orang yang memiliki hajat dari diri mereka, menjaga orang asing yang bertamu datang.

Baginga Rasūlullāh s.a.w. paling luas hatinya, paling benar tutur katanya, paling lembut perangainya, paling mulia sifat sosialnya, barang siapa yang melihat beliau pertama kali akan tercengang dengan wibawanya, dan barang siapa yang mengenal serta berkumpul bersamanya pasti akan jatuh cinta kepadanya, beliau tidak berbicara kecuali pada hal yang mendatangkan pahala, dan jika Baginda Rasūlullāh s.a.w. berbicara maka kepala para sahabatnya tertunduk, seakan-akan di kepala mereka ada burung yang sedang bertengger, jika Baginda Rasūlullāh s.a.w. diam, maka mereka mulai

Majelis Baginda Rasūlullāh s.a.w. adalah majelis yang berisikan ilmu, rendah hati, amanat, dan kesabaran. Tidak terdengar suara yang diangkat di majelisnya, tidakpun kehormatan seseorang menjadi lengser di majelisnya, tidak disebutkan di majelisnya tentang keburukan manusia.Sayyidinā Alī ibn Abī Thālib r.a.

berbicara, mereka tidak berebutan berbicara di hadapan Rasūlullāh s.a.w., barang siapa yang berbicara di antara mereka maka yang lain mendengarkan hingga selesai.

Beliau s.a.w. tidak pernah memotong pembicaraan seseorang sampai seseorang tersebut membicarakan hal yang sudah kelewat batas, maka beliau memotong pembicaraan itu dengan melarang atau berdiri. Beliau tertawa bersama para sahabat, dan takjub terhadap apa yang menakjubkan, dan beliau sabar terhadap orang asing yang kurang mengerti akan adat istiadat setempat, bahkan beliau s.a.w. menginstruksikan kepada para sahabatnya:

إِذَا رَأَيْتُمْ طَالِبَ حَاجَةٍ يَطْلُبُهَا فَأَرْفِدُوْهُ.

Jika kalian melihat seseorang yang membutuhkan bantuan, maka tolonglah.”

Sayyidatunā ‘Ā’isyah rha. berkata:

“Baginda Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah memukul dengan tangannya sesuatu, tidak pernah memukul pembantu, wanita sekalipun, dan aku tidak pernah melihatnya membela kezhaliman yang menimpa dirinya kecuali jika sudah menyentuh haknya Allah, jika yang disentuh haknya Allah maka tidak terlihat orang yang lebih marah dari beliau, jika disodorkan pilihan kepadanya maka beliau memilih yang paling mudah selama tidak berhubungan dengan kesalahan.”

Mu‘āwiyah ibn Ḥakam as-Sulamī r.a. pernah menceritakan sebagai berikut:

“Ketika kami shalat bersama Rasūlullāh s.a.w., maka terdengar suara bersin dari seseorang maka aku pun mengucapkan: “Semoga Allah merahmatinya.” Maka para sahabat pun melontarkkan pandangan yang tajam kepadaku. Maka aku pun berkata: “Semoga kejahatan untuk kalian? Kenapa kalian memandangiku seperti ini?” Maka para sahabat pun memukulkan tangannya ke pahanya seraya memberikanku isyarat untuk diam, maka akupun terdiam. Dan ketika Rasūlullāh s.a.w. sudah menyelesaikan shalatnya, sumpah demi ayah dan ibuku seumur hidup aku belum pernah melihat orang yang mengajarkan kebaikan seperti dirinya. Demi Allah, beliau tidak menghardikku, memukulku ataupun mencemoohku, akan tetapi beliau s.a.w. berkata: “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas untuk diucapkan pembicaraan di dalamnya, sesungguhnya pembicaraan di dalam shalat ini adalah tasbīḥ, takbīr dan bacaan al-Qur’ān.