Buatlah Pahala Berlipat dengan Niat – Imam at-Tirmidzi – Ikhlas Tanpa Batas

Ikhlas Tanpa Batas
 
Belajar Hidup Tulus dan Wajar

Kepada 10 Ulama – Psikolog Klasik
 
Imām al-Ghazālī (w. 505 H)
Imām al-Ḥākim al-Tirmidzī (w. 320 H)
Imām al-Nawawī al-Dimasyqī (w. 676 H.)
Syekh al-Ḥārits al-Muḥāsibī (w. 243 H)
Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī (w. 561 H.)
Syekh Ibn ‘Athā’illāh (w. 709 H.)
Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H)
Syekh ‘Abd al-Raḥmān al-Lajā’ī (w. 599 H.)
Syekh ‘Abd al-Ḥamīd al-Anqūrī (abad 8 H)
Syekh Muḥammad al-Birgawī (w. 995 H)
 
Penerbit: Zaman

Salah satu tanda cerdasnya jiwa adalah kaya niat baik senantiasa. Orang yang cerdas jiwanya, melakukan suatu perbuatan bukan karena diperintah orang atau ingin bereaksi atas suatu situasi, melainkan karena niat baik yang melimpah dalam hati.

Bila amal yang satu bisa diniati sebagai beberapa kebaikan, tentu pahalanya menjadi berlipat-lipat. Tetapi, ini membutuhkan “kecerdasan”. Imām at-Tirmidzī menggarisbawahi hal ini dalam salah satu bab pada kitabnya, Riyādhāt an-Nafs.

 

4

Buatlah Pahala Berlipat dengan Niat

[Imām al-Ḥākim at-Tirmidzī (w. 320 H)]

 

Niat secara bahasa berarti bangkit. Dalam hal ini, hati bangkit menuju Allah hingga sampai Sidrat al-Muntahā tatkala jalan ke sana terbuka. Jika ternyata hamba tertahan di jalan, sesuatu telah menahannya atau adab buruk membuat jalannya tertutup. Namun, bagaimanapun juga ia bangkit dan beranjak dari tempatnya, entah menemukan jalan atau tidak.

Hati berkata kepada anggota badan yang melaksanakan amal: “Lakukanlah amal dengan gerakanmu dan ikutilah jejakku! Aku berdiri di pintu guna mencari rida-Nya.” Inilah yang disebut niat.

Dalam masalah niat, manusia terbagi atas beberapa tingkatan sesuai dengan kapasitas akal mereka. Karena itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Manusia melakukan amal kebaikan dan mereka mendapat ganjaran sesuai dengan kadar akal mereka.

Dalam hadits qudsi, Allah berfirman: “Wahai Mūsā, sesungguhnya Aku memberi pahala kepada manusia sesuai dengan kadar akalnya.” Seseorang meminta penjelasan Nabi Mūsā: “Terangkan kepada kami bagaimana pahala berbeda sesuai dengan kadar akal?” Nabi Mūsā menjawab: “Perumpamaannya seperti orang yang masuk masjid. Ia melihat saf pertama telah penuh, maka ia berdiri di saf kedua. Dengan demikian ia gagal meraih kedudukan saf pertama.”

Kedudukan saf pertama adalah sebagaimana Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah dan para malaikat-Nya membacakan salawat untuk saf pertama.

Diterangkan pula bahwa rahmat Tuhan turun kepada imam sebanyak seratus. Orang yang tepat berada di belakang imam mendapat sebanyak itu pula, sedangkan yang berada di samping kanannya mendapat hingga tujuh puluh lima rahmat, dan yang di samping kirinya mendapat lima puluh rahmat. Orang yang masuk dalam masjid lalu berdiri di saf kedua dengan kondisi lalai, tidak mendapat salawat dan rahmat Tuhan sama sekali. Demikian keterangan Ibn ‘Abbās.

Akan tetapi, barang siapa masuk masjid lalu berniat: “Mudah-mudahan aku menemukan tempat di barisan pertama…”, maka dengan niat ini ia mendapat kedudukan yang sama dengan barisan pertama. Ia mendapat pahala sebanyak yang didapat barisan pertama karena niatnya. Seolah-olah ia berada di tengah-tengah mereka.

Jika ia berharap dapat masuk barisan pertama seraya meniatkannya, namun ia tertahan karena khawatir mengganggu muslim lain, pahalanya dilipatgandakan dari pahala barisan pertama karena kehati-hatiannya untuk tidak mengganggu muslim lain.

Dalam sebuah riwayat tentang niat dan ketakwaan, Abū Kabasyah al-Anshārī mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Saya akan sampaikan sebuah hadis kepadamu, maka camkanlah! Dunia ini diisi empat jenis hamba: 1). Hamba yang Allah beri harta dan ilmu yang dengan keduanya ia bertakwa kepada Allah, menyambung silaturahim, dan menjaga hak Allah; ini adalah tingkatan paling mulia; 2). Hamba yang Allah beri ilmu tetapi tak diberi harta, tapi ia sungguh-sungguh dalam niatnya berkata: “Andaikan aku memilki harta, tentu aku berbuat (baik) seperti yang fulan lakukan,” maka, pahala keduanya sama; 3). Hamba yang Allah beri harta tetapi tak diberi ilmu, sehingga ia tergelincir oleh hartanya karena tak disertai ilmu, ia tak menghindari riba, tidak menyambung silaturahim, serta tidak mengenal hak Allah, maka ia berada di tingkat terburuk; 4). Hamba yang tidak Allah beri harta dan ilmu, dan berkata: “Andaikan aku memiliki harta, tentu aku akan berbuat seperti yang fulan itu lakukan.

Dari ‘Abd al-Mālik al-Jazarī, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa tidak menunaikan shalat di saf pertama karena khawatir mengganggu atau menyulitkan muslim lain, sehingga ia shalat di saf kedua atau ketiga, niscaya Allah melipatgandakan pahalanya di atas mereka yang shalat di saf pertama.”

Dengan pemahamannya, hamba ini meraih tambahan pahala melebihi mereka yang berada di barisan pertama. Orang lain yang lalai dan tidak memahami ini tidak mendapatkan pahala tersebut. Itulah maksud perkataan: “Manusia mendapatkan pahala sesuai dengan kadar akalnya.

Karena itu, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Janganlah keislaman seseorang membuat kalian kagum sebelum kalian mengetahui kadar akalnya.

Orang yang tak sungguh-sungguh, qalbu mereka terhijab oleh syahwat. Niat mereka adalah bila bangkit dengan qalbunya. Namun, bila mereka tak menemukan jalan ketika bangkit, maka mereka berhenti di situ.

Adapun orang yang baginya pintu gaib dibukakan, hati mereka bangkit menuju maqām yang tinggi hingga mencapai posisi itu. Di sana ia menggapai rida Tuhan. Gerakan anggota badan dalam beramal mengikuti perintah hati. Inilah yang disebut niat.

Kalangan yang telah sampai kepada Allah berusaha meraih rida-Nya seraya menyertai niat dengan amal utama. Meskipun niat beragam, mereka semua adalah pelayan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *