(lanjutan)
Yang dinyanyikan saat itu adalah Sirrul Ihsan, karya Ajengan Ahmad Sanusi dari Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi, yang berisi sejarah hidup Nabi Muhammad.
Keluarga dan teman dekat Dedeh berusaha menjodohkan Dedeh dengan Ajengan Ilyas. Mereka berkata,” Andaikan ajengan muda itu menjadi suamiku.” Dedeh hanya tersipu malu mendengar ucapan mereka. Acara maulid Nabi ini diselenggarakan tahun 1953, dan tiga tahun berikutnya, 1956, Dedeh menikah dengan Ajengan Ilyas. Sebagai modal membangun rumah tangga, Ajengan Ilyas mengandalkan gaji dari mengajar di SMPI Cipasung serta amplop dari mengisi berbagai ceramah, dan Dedeh mendapatkan sebidang tanah dari neneknya yang bernama Hj. Nafisah. Awal menikah mereka tinggal di Rancapaku, namun ada peristiwa yang menyebabkan keduanya pindah ke Cipasung.
Pada tanggal 16 Juli 1956, dua hari setelah resepsi pernikahan, ada serangan Darul Islam (DI) ke Pesantren Gentur Rancapaku. Kelompok DI menjarah kediaman Ajengan Mapruh dan hampir saja membunuh Ajengan Ilyas yang diduga sebagai Ajengan Mapruh. Karena peristiwa itu, pasangan pengantin baru ini dipanggil Ajengan Ruhiat agar tinggal di Cipasung. Tempat kediaman Ajengan Ilyas dan Dedeh adalah sebuah kelas di Madrasah Diniyah yang ‘disulap’ menjadi kamar.
Ajengan Ilyas tetap mengajar sebagaimana biasanya. Dedeh juga ikut mengaji bersama para santri perempuan. Status sebagai istri Ajengan Ilyas tidak menghalangi Dedeh untuk terus belajar. Dedeh sering pulang ke Rancapaku jika Ajengan Ilyas keluar kota untuk menghadiri undangan. Maka, Dedeh sering tidak hadir dalam pengajian, sehingga sedikit menyesal ketika sudah tua.
Pernah Dedeh berseloroh kepada sahabatnya,” Saya ini seperti istri ketiga Apih saja!” Apib adalah panggilan Ajengan Ilyas. “Lalu istri pertama dan kedua siapa?” tanya sahabatnya. “Istri pertamanya adalah NU dan istri keduanya adalah pesantren,” jawab Dedeh. Dedeh mulai jarang pulang ke Rancapaku setelah memiliki kesibukan sebagai guru di Madrasah Ibtidaiyah Cipasung. Yang jelas, Ajengan Ilyas tidak berniat berpoligami atau memiliki lebih dari satu istri. Komitmen Ajengan Ilyas hanya beristri satu ini adalah sebagai pelaksanaan atas nasehat sang ayah, Ajengan Ruhiat.
Suatu ketika pasangan Ajengan Ilyas dan Dedeh serta Endang Hasan (kakak Ajengan Ilyas) dan Siti Rohayah dipanggil Ajengan Ruhiat. “Kalian jangan memadu istrimu, Abah mah melakukannya untuk kemajuan pesantren,” kata Ajengan Ruhiat kepada kedua anaknya.
“Menjadi istri santri, jangan banyak menuntut, santri tidak banyak uang, yang sabar saja!” kata Ajengan Ruhiat kepada kedua menantunya. Dedeh mengalami 2 kali keguguran. Kemungkinan ini adalah akibat tekanan mental karena dia tahu banyak gadis lebih dewasa yang sebenarnya ‘mengincar’ Ajengan Ilyas yang memang berwajah tampan. Maklum Dedeh menikah dalam usia 14 tahun. Baru memasuki tahun ke-4 pernikahan, pasangan ini dikarunia anak. Mereka dikarunia 3 orang anak, yaitu Acep Zamzam Noor, Neng Ida, dan Enung Nursaidah Rahayu.
Ada yang menarik dengan kehidupan satu-satunya putra Ajengan Ilyas, yaitu Acep Zamzam Noor. Ketika masıh bayi, putra pertama yang hidup ini diberi nama dengan Abdul Wahid Ramadlan. la adalah anak pertama yang hidup sehingga diberi nama ‘Abdul Wahid’ yang berarti hamba Sang Maha Esa’. Ajengan Ilyas memberi nama ini karena tafa’ul dengan anak laki-laki pertama Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’arı yang diberi nama ‘Abdul Wahid’ yang tidak lain adalah ayah Gus Dur Adapun akhiran ‘ramadlan’ adalah karena bayi ini lahir pada bulan Ramadhan.
Akan tetapi ketika bayi ini telah berusia 4 tahun, ada seorang santri bernama Endeng Amna memberi nama baru kepada sang bayi, yaitu Acep Zamzam Noor. Dan nama terakhir inilah yang lebih populer sehingga tertulis dalam ijazah. Abdul Wahid Ramadlan akhirnya berubah menjadi Acep Zamzam Noor.
Acep memilih jalan hidup yang sedikit berbeda dengan sang ayah yang seorang ajengan. Dengan rambut gondrongnya, Acep tidak ingin hidup dalam bayang- bayang sang ayah. Acep memilih menekunı dunia sastra dan seni. Gelar kesarjanaannya diperoleh dari jurusan seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB). Acep sering tampil sebagai penyair dan perupa muda di beberapa media cetak. Tahun 2005 Acep mendapatkan penghargaan South East Asian Write Award darı Kerajaan Thailand untuk puisinya Jalan Menuju Rumahku.
TERUS BELAJAR DAN MENGAJAR
Ajengan Ilyas dapat disebut sebagai kutu buku. Selain memiliki koleksi kitab yang banyak, dia berlangganan sejumlah majalah dan koran, seperti Duta Masyarakat, Gema Muslimin, Berita NU, Risalah NU, dan Gelanggang. Yang disebutkan ini adalah media cetak milik NU.
Lalu ada Hikmah, Aliran Islam (diasuh oleh KH. M. Isa Anshari, seorang tokoh Persatuan Islam/Persis), Warta Bandung, Abadi (milik Masyumi), dan Pani Masyarakat (diasuh oleh Buya Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah). Berikutnya ada Kiblat, Suara Masjid, dan Mimbar Ulama yang diperoleh setelah Ajengan Ilyas aktif di MUI. Tampaknya Ajengan Ilyas tidak puas hanya dengan media cetak yang dikelola NU, dia juga berlangganan media cetak yang dimiliki ‘orang lain’.
Yang dilakukan Ajengan Ilyas ini mengingatkan kita dengan KH. A. Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) yang juga berlangganan puluhan majalah dan koran dalam berbagai bahasa di Tebuireng. Yang menarik, koleksi majalah dan koran milik Ajengan Ilyas masih terawat dengan baik, kecuali yang hilang diambil orang.
Kebiasaan membaca Ajengan Ilyas juga menular kepada sang istri, Dedeh Tsamrotul Fuadah. Dedeh berlangganan sejumlah majalah sastra dan masalah perempuan yang diantaranya berbahasa Sunda, seperti Mangle, Warga, Hanjuang, Galura, Giwangkara, Variasi, dan Femina. Ajengan llyas juga punya kebiasaan menulis. Hanya saja, tulisannya banyak berceceran di buku harian atau diary. Ajengan Ilyas tidak membatasi terhadap informasi yang masuk. Asalkan itu baik, dia akan menerimanya. Maka, dalam buku hariannya juga tercatat petuah-petuah Cina kuno hingga nasehat-nasehat para ulama. Darı tahun 1950-an hingga 2000, Ajengan Ilyas ‘hanya’ menulis 30 makalah. Itu pun ditulis karena permintaan panitia seminar dan lokakarya. Selebihnya Ajengan Ilyas lebih banyak menuangkan idenya dalam buku harian.
Selain terus belajar dengan membaca sejumlah kitab dan media cetak, Ajengan Ilyas juga terus menularkan ilmunya, baik melalui makalah yang disampaikan dalam seminar maupun dengan mengajar. Kegiatan mengajar ini telah dilakoni Ajengan Ilyas sejak belajar di Pesantren Cipasung. Awalnya Ajengan Ilyas sering disuruh teman- temannya untuk membaca ulang kitab yang baru dibaca gurunya. Mereka ingin ‘menambal’ makna yang kurang kepada Ajengan Ilyas, sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Lalu pada tahun 1949 Ajengan Ilyas disuruh Ajengan Ruhiat untuk menggantikannya mengajar karena sedang dipenjara dı Sukamıskın. Kemudian ketika Ajengan Ruhiat wafat tahun 1977, Ajengan Ilyas menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Cipasung sekaligus mengajar para santri
Ajengan Ilyas juga menjadi guru di sekolah formal, seperti guru SMP Islam Cipasung, guru SMA Islam Cipasung, kepala sekolah SMA Islam Cipasung, guru MAN Cipasung, guru SP IAIN Sunan Gunung Djati cabang Cipasung dan Garut Lalu di dunia akademisi, Ajengan Ilyas pernah menjadi dekan Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam Cipasung, rektor Institut Agama Islam Cipasung, menjadi Dewan Penyantun Uninus, dan menjadi Dewan Penyantun STH Galunggung Tasıkmalaya
(bersambung)