Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. Moh. Ilyas Ruhiat (2/4)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

memberi Ajengan Ilyas kitab Al-Muwafaqat, karya monumental dari Imam al-Syathibi dalam bidang ushul fikih. Ajengan Ilyas yang masih kecil ini hanya menerima kitab tersebut dengan gembira sambil memeluknya erat- erat. Abah Engko berpesan kepada Mak Imon, “Imon, asuh anak ini dengan baik, kelak dia akan menjadi kiai!”

Ketika berusia 6 tahun, Ajengan Ilyas masuk HIS, sekolah yang didirikan Belanda setingkat dengan SD pada jaman sekarang. Kali ini Ajengan Ilyas diasuh oleh Nenek Sarimaya yang tinggal di Banjar Patroman. Wilayah ini dulu termasuk bagian Kabupaten Tasikmalaya namun sekarang bagian Kota Banjar. Nenek Sarimaya adalah ibunya Hj. Aisyah, istri pertama Ajengan Ruhiat. Nenek Sarimaya bersuami Muhammad Yusuf yang biasa dipanggil dengan Pak Ucup, seorang pegawai pos. Tiap hari Ajengan Ilyas dijatah uang saku sebanyak 5 sen.

Di saat masih kanak-kanak, Ajengan Ilyas menderita kencing batu. Nenek Sarimaya berusaha mengobatinya secara tradisional, namun belum juga sembuh. Akhirnya Ajengan Ilyas menjalani operasi di Rumah Sakit Tasikmalaya. Yang menangani proses operasi ini adalah dr. Soekardjo. Begitu sembuh dari penyakitnya ini, Ajengan Ilyas dipanggil Nenek Sarimaya dengan sebutan ‘Uyu’. Kata ini adalah bahasa Sunda sebagai kependekan dari uyuhan hirup yang berarti ‘untung masih hidup’, Maka ketika masih kecil, Ajengan Ilyas terkadang dipanggil dengan Jang Uyu atau Yuyu, sedangkan kakaknya tetap dipanggil dengan Endang Hasan.

Menginjak tahun ke-3 sekolah di HIS tahun 1943, Ajengan Ilyas disuruh pulang ke rumah oleh sang ayah, Ajengan Ruhiat. Ada 2 alasan Ajengan Ilyas disuruh pulang, yaitu Ajengan Ilyas kurang mendapat pendidikan agama selama tinggal bersama Nenek Sarimaya, padahal Ajengan Ilyas adalah putra seorang pengasuh pesantren, dan Ajengan Ruhiat tidak setuju dengan saikeirei yang diwajibkan kepada seluruh siswa. Yang dimaksud saikeirei, seperti disebutkan sebelumnya, adalah menunduk seperti rukuknya orang shalat namun menghadap ke arah timur menghadap pemimpin Jepang. Akhirnya Ajengan Ilyas pulang ke kediaman Ajengan Ruhiat di Pesantren Cipasung Tasikmalaya.

MENUNTUT ILMU

Ajengan Ilyas hanya belajar di Pesantren Cipasung Tasıkmalaya, namun itu tidak mengurangi kealimannya. Ajengan Ilyas tidak pernah belajar di pesantren lain meskipun hanya untuk pasaran, yakni mengaji di bulan Ramadhan untuk menambah koleksi kitab bermakna. Ajengan Ilyas lebih banyak belajar kepada Ajengan Ruhiat yang dipanggilnya dengan ‘abah’. Selain Ajengan Ruhiat, guru-guru Ajengan Ruhiat adalah Pak Gozali, Pak Agus, Pak Abudin, Pak O’on Sya’roni, Ajengan Abdul Jabbar, Ajengan Bahrum, dan Ajengan Saifulmillah. Mereka yang dipanggil dengan ‘ajengan’ (kyai-ed.) adalah guru-guru Ajengan Ilyas dalam belajar kitab kuning.

Meskipun belajar di pesantren ayahnya, Ajengan Ilyas tinggal bersama para santri di asrama. Tampaknya Ajengan Ilyas ingin benar-benar merasakan kehidupan para santri. Santri yang lebih tua usianya memanggil Ajengan Ilyas dengan sebutan Jang yang merupakan kependekan dari Ujang, sedangkan santri yang lebih muda usianya memanggilnya dengan panggilan Kang sebagai kependekan dari Akang. Biasanya Ajengan Ilyas pulang ke rumah siang hari untuk makan siang. Untuk makan sore, ada santri yang mengantarkan makanan karena Ajengan Ilyas tidak sempat pulang. Ajengan Ilyas belajar menghafal beberapa kitab sebagaimana para santri lainnya.

Ada cara menarik yang dilakukan Ajengan Ruhiat dalam mendidik para santrinya. Untuk menarik minat mereka dalam belajar dan berfikir, Ajengan Ruhiat menyediakan uang atau makanan bagi muridnya yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar atau mampu menghafal pelajaran tanpa ada kesalahan. Ternyata cara ini cukup ampuh untuk memacu Ajengan Ilyas dalam belajar. Ini terbukti dari seringnya Ajengan Ilyas menerima uang atau makanan karena berhasil menjawab pertanyaan atau bisa menghafal tanpa salah.

Dari tahun 1950 hingga 1953 Ajengan Ilyas menjadi siswa Sekolah Pesantren Islam di Cipasung. Di sekolah ini Ajengan Ilyas mempelajari bahasa, sejarah, dan matematika. Adapun untuk kajian kitab kuning, Ajengan Ilyas mempelajarinya dari para ajengan di Cipasung, sebagaimana disebutkan di atas. Di Pesantren Cipasung, Ajengan Ilyas terkenal sebagai santri yang menguasai kitab kuning secara mendalam.

Setelah Ajengan Ilyas selesai belajar mengaji, biasanya ada santri yang menyusulnya agar dibacakan lagi kitab yang baru saja dipelajari. Ada santri-santri yang ketinggalan menulis makna di kitabnya. Barangkali santri tersebut mengantuk ketika mengaji, masih baru mengenal kitab kuning, atau gurunya yang membaca terlalu cepat.

Tahun 1949 Ajengan Ilyas mendapat surat dari ayahnya yang dipenjara oleh Belanda di Sukamıskin Bandung. Ajengan Ruhiat menyuruh Ajengan Ilyas untuk mengajar para santri. Cukup lama Ajengan Ilyas berfikir bagaimana melaksanakan perintah ayahnya tersebut. Ajengan Ilyas memang sering membaca ulang kitab kepada santri, namun itu dilakukan atas permintaan santri dan hanya untuk mengulangi membaca. Setelah berfikir cukup lama, akhirnya Ajengan Ilyas memberanikan diri mengajar. Untuk mempermudah memahami materi yang disampaikan, Ajengan Ilyas mempersiapkan diri dengan membuat semacam rangkuman. Ajengan Ilyas yang usianya masih 15 tahun mengajar para santri junior, sedangkan santri senior diajar oleh Ajengan Saifulmillah.

Ajengan Ilyas pernah mengikuti Madrasah Aliyah Persamaan tahun 1968, lalu ‘mencicipi beberapa bangku kuliah. Hanya Ajengan Ilyas, satu-satunya Rais Am Syuriyah PBNU yang pernah belajar di perguruan tinggi meskipun tidak selesai. Ajengan Ilyas pernah kuliah jarak jauh pada Jurusan Ilmu Mendidik Universitas Madjapahit Jakarta (1957-1958) namun tidak selesai karena kampusnya yang ‘gulung tikar’, lalu kuliah jarak jauh pada Jurusan Ilmu Hadits Lembaga Dakwah Universitas Islam Syekh Yusuf Jakarta (1974), serta kuliah pada Institut Islam Siliwangi Bandung. Tokoh ini juga pernah ikut kursus bahasa Arab, bahasa Inggris, dan jurnalistik pada NV Sumber Pengetahuan Bandung (1957-1958), serta kursus Kader Muballigh Pesantren Cipasung (1954). Semua ini menunjukkan bagaimana Ajengan Ilyas memiliki semangat belajar yang tinggi.

MEMBANGUN RUMAH TANGGA

Ajengan Ilyas menikah dalam usia yang relatif muda, 22 tahun. Dia dijodohkan sang ayah dengan Dedeh Tsamrotul Fuadah, putri pasangan Ajengan Mapruh dan Ibu Daoah. Dedeh adalah anak ke-6 dari 11 bersaudara. Ajengan Mapruh adalah sahabat akrab Ajengan Ruhiat sesama aktifis NU. Dan memang sesuatu yang biasa jika ada sesama kiai atau ajengan yang menjodohkan anaknya atau besanan. Hampir semua pesantren di tanah Jawa ini ‘bersaudara dengan pesantren lainnya melalui ikatan perkawinan. Ajengan Ruhiat adalah pendiri Pesantren Cipasung, sedangkan Ajengan Mapruh adalah pendiri Pesantren Gentur Rancapaku. Dedeh, sebagaimana kakak-kakaknya, belajar di Pesantren Cipasung. Maka, Ajengan Ruhiat mengetahui bagaimana keseharian Dedeh.

Dedeh berusia 8 tahun lebih muda daripada Ajengan Ilyas. Ajengan Ilyas lahir 31 Januari 1934, sementara Dedeh lahir 6 April 1942. Pernikahan anak kedua ajengan ini dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 1956. Acaranya cukup meriah. Kedua mempelai duduk di dalam mobil. Di depan mobil ada barisan sepeda, sedangkan di belakang ada rombongan delman. Peristiwa bersejarah ini diabadikan dalam foto hitam putih.

Bagaimana perkenalan Ajengan Ilyas dengan Dedeh? Keduanya tidak pernah berpacaran, namun tiga tahun sebelumnya keduanya pernah bertemu. Ketika itu diadakan acara maulid Nabi di daerah Rancapaku. Ajengan Ilyas adalah penceramah muda yang mengisi acara tersebut, sedangkan Dedeh adalah salah seorang dari kelompok wanita yang tampil menyanyikan lagu-lagu Sunda di atas panggung. Yang dinyanyikan saat itu adalah …

(bersambung)