Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. M. Hasyim Asy’ari (6/6)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

Mengingat:

a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketentraman umum.

b. Bahwa semua yang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia dan agama, dan ingin kembali menjajah di sini maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan banyak jiwa manusia.

c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan kemerdekaan negara dan agamanya.

d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu perlu mendapat perintah dan tuntunan yang nyata dari pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.

Memutuskan:

1. Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya.

2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam.

3. Umat Islam terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.

4 Kewajiban tersebut adalah suatu “jihad” yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardlu ‘ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (jarak di mana umat Islam diperkenankan sembahyang jamak dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.

Surabaya, 22-10-1945

HB. NAHDLATOEL OELAMA


Di bawah ini adalah teks Resolusi Jihad teks yang disepakati pada Muktamar NU ke-16 bulan Maret 1946, namun penulisannya disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan (EYD).

RESOLUSI

Muktamar Nahdlatul Ulama ke-VI jadi diadakan di Purwokerto mulai malam hari Rabu 23 hingga malam Sabtu 26 Rabiuts Tsani 1365, bertepatan dengan 26 hingga 29 Maret 1946.

Mendengar:

Keterangan-keterangan tentang suasana genting yang meliputi Indonesia sekarang, disebabkan datangnya kembali kaum penjajah, dengan dibantu kaki tangannya yang menyelundup ke dalam masyarakat Indonesia.

Mengingat:

a. Bahwa Indonesia adalah negeri Islam

b. Bahwa umat Islam di masa lalu telah cukup menderita kejahatan dan kezhaliman kaum penjajah.

Menimbang:

a. Bahwa mereka (kaum penjajah) telah menjalankan kekejaman, kejahatan dan kezhaliman di beberapa daerah daripada Indonesia.

b. Bahwa mereka telah menjalankan mobilisasi (pengerahan tenaga peperangan) umum, guna memperkosa kedaulatan Republik Indonesia.

Berpendapat:

Bahwa untuk menolak bahaya penjajahan itu tidak mungkin dengan jalan pembicaraan saja.

Memutuskan:

1. Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi orang yang berada dalam jarak lingkungan 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh.

2. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkungan tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (yang cukup kalau dikerjakan sebagian saja).

3. Apabila kekuatan no. 1 belum dapat mengalahkan musuh, maka orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran 94 km wajib berperang juga membantu no. 1 sehingga musuh kalah.

4. Kaki tangan musuh adalah pemecah kebulatan tekad dan kehendak rakyat dan harus dibinasakan, menurut hukum Islam sabda hadis riwayat Muslim.

Resolusi ini disampaikan kepada:

1. Presiden Republik Indonesia dengan perantaraan Delegasi Muktamar

2. Panglima Tertinggi TRI

3. MT Hizbullah

4. MT Sabilillah

5. Rakyat umum.

Resolusi Jihad ini dipertegas dalam Muktamar Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945 yang melahirkan Partai Islam Masyumi. NU masih aktif di dalam Masyumi hingga keluar tahun 1952. (Lihat kronologis keluarnya NU dari Masyumi dalam biografi KH. A. Wahab dalam bab berikutnya).

PERGAULAN YANG LUAS

Kiai Hasyim meskipun tinggal di Tebuireng Jombang, namun memiliki pergaulan yang luas. Kenalan dan sahabatnya melintasi batas-batas propinsi atau negara. Komunikası Kiai Hasyim dengan sahabat dan kenalannya dilakukan melalui surat-menyurat atau pertemuan ketika melaksanakan ibadah haji.

Ketika masih bermukim di tanah suci, Kiai Hasyim memiliki banyak sahabat dari Asia maupun Afrika. Di antara mereka adalah Sayyid Shalih Shatha, Syaikh Thayyib al-Sasi, Syaikh Bakr Shabbagh, Sayyid Shalih bin Alwi bin Uqail, Syaikh Abdul Quds, Syaikh Muhammad Nur Fathani, Syaikh Muhammad Said Abul Khair, Syaikh Abdullah Hamduh, Sayyid Idrus al-Barr, Sayyid Alwi al- Malıki, dan Sayyid Muhammad Thahir al-Dabbagh. Bahkan, tokoh yang disebut terakhir ini pernah berkunjung ke Tebuireng.

Ada juga sahabat Kiai Hasyim dari luar negeri yang berasal dari latar belakang pejuang, seperti Pangeran Abdul Karim al-Khaththabi yang menjadi pejuang revolusi kemerdekaan Maroko melawan penjajahan Prancis dan Spanyol, dan Sultan Pasya al-Athrasy yang menjadi pemimpin Suriah melawan penjajahan Prancis. Pada tahun 1924, kedua tokoh ini mengobarkan semangat jihad dan Kiai Hasyım memberikan dukungannya.

Tokoh-tokoh lainnya adalah Sayyid Muhammad Amin al-Husaini, ulama asal Palestina yang pernah menjadi ketua Kongres Islam Sedunia dan kemudian menetap di Berlin Jerman, Sayyid Dliyauddin, Muhammad Ali dan Syaukat Ali, ketiganya berasal dari India dan memimpin perjuangan melawan penjajahan Inggris; Muhammad Ali Jinnah yang menjadi Bapak Kemerdekaan Pakistan, Sayyid Hibbatuddin al- Syahrastani yang pernah menjadi Menteri Pendidikan Irak, Sayyid Alwi bin Thabur al-Hadad yang pernah menjadi mufti Kerajaan Johor Malaysia; dan Syaikh Ahmad Arif al-Zain yang menjadi pemilik dan pendiri majalah Al-Irfan dan koran Jabal ‘Amil.

Dari kalangan ulama dan budayawan, di antara sahabat dan kenalan Kiai Hasyim adalah Al-Amir Syakib Arsalan, seorang pemikir dan budayawan Mesir terkenal, Muhammad Iqbal, seorang filosof besar dari India; Sayyıd Mahdi al Syairazi, seorang pemikir asal Iran; Syaikh Muhammad Husain Ali Kasyif al Ghitha’, seorang penulis produktif; Syaikh Yusuf al-Dajawi dan Syaikh Ahmad Sa’ad Ali, keduanya adalah guru besar dari Universitas Al-Azhar dan merupakan penyunting kitab kenamaan di Kairo. Kedua orang yang disebut terakhir ini juga pernah memberikan kata pengantar pada salah satu karya Kiai Hasyim

Di saat Syarif Husain yang Sunni dikalahkan Ibnu Saud yang Wahabi, banyak tokoh Sunni yang dijadikan sebagai lawan politik oleh Ibnu Saud. Karena situasi yang kurang menguntungkan ini, beberapa tokoh Sunni melarikan diri atau pergi sementara. Di antara mereka ada Syaikh Abdul Hamid Sunbul Hadidi yang dulunya menjadi mufti madzhab Hanafi di Mekkah dan Syaikh Hasan al Yamani yang pernah menjadi pengajar di Masjidil Haram. Nah, kedua ulama ini pernah berkunjung ke Tebuireng untuk menghindari kejaran pemerintahan Ibnu Saud. Kiai Hasyim menerima kunjungan keduanya dengan gembira. Kedua ulama ini juga memberi kata pengantar pada salah satu karya Kiai Hasyim setelah ditunjukkan karya tersebut kepada mereka.

Persahabatan Kıai Hasyim yang sangat luas di luar negeri ini menjadikannya diakui sebagai ulama internasional. Kiai Hasyim pernah dipercaya sebagai ketua kehormatan pada sebuah organisası yang bernama Jam’iyyah al-Syubban al-Muslimin (Organisası Pemuda Islam) yang berpusat di Kairo Mesir.

Bahkan, biografi Kiai Hasyim pernah ditulis dalam bahasa Arab oleh seorang penulis luar negeri bernama Muhammad Asad Syihab. Buku tersebut diberi judul Al-Allamah al-Mujahid al-Hajj Muhammad Hasyim Asy’ari 1289-1366 H yang diterbitkan oleh Dar al-Shadiq, sebuah penerbit di Beirut Lebanon. Buku ini diterbitkan tahun 1971, 24 tahun setelah wafatnya Kiai Hasyim.

KH. A. Mustofa Bisrı Rembang atau Gus Mus telah menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, yang diterbitkan oleh kerjasama dua penerbit di Yogyakarta, Titian Ilahi Press dan Kurnia Kalam Semesta, tahun 1994. Gus Mus memperoleh fotokopian kitab tersebut dari KH. Muchit Muzadi Jember, seorang murid Kiai Hasyım yang masih diberi umur panjang hingga saat ini (1912).

Pergaulan Kiai Hasyim dengan para tokoh dan dalam negeri tidak perlu diragukan. Kiai Hasyim berhubungan baik dengan Presiden Soekarno, Panglima Soedirman, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah yang menjadi sahabatnya ketika belajar kepada Kiai Saleh Darat Semarang dan Syaikh Ahmad Khatib al- Minankabawi), H.O.S. Tjokroaminoto (pemimpin Sarekat Islam), Syaikh Ahmad Soorkatti (pemimpin Al-Irsyad), dan lain-lain. Kiai Hasyim mulai bersahabat baik dengan beberapa para tokoh tersebut ketika aktif di Masyumi.

Di lingkungan pesantren, pergaulan Kiai Hasyim tidak perlu dipertanyakan. Para kiai saat itu adalah teman-teman Kiai Hasyim ketika belajar kepada Kiai Khalil Bangkalan maupun teman-temannya ketika belajar di Mekkah. Di antara mereka juga merupakan murid Kiai Hasyim. Beberapa di antara mereka adalah KH. Ridlwan Abdullah Surabaya (pencipta lambang NU), KH. Mas Alwi Abdul Aziz Surabaya, KH. R. Asnawi Kudus, KH. Abdul Halim Cirebon, KH. Abdul Karim Lirboyo Kediri, KH. Muhammad Ma’ruf Kedunglo Kediri, Syaikh Ahmad Ghanaim al Misri yang tinggal di Surabaya, dan lain-lain.

Kiai Hasyim adalah seorang ulama yang sangat teguh berpegang kepada kebenaran. Beliau tak segan- segan harus berdebat jika itu menyangkut kebenaran. Pernah Kiai Hasyım berdebat dengan Kiai Abdullah Yasin Pasuruan dan Kiai Amar Fakih Gresik. Beliau juga pernah berdebat dengan Kiai Khalil Bangkalan, guru yang sangat dihormatinya, dan Syaikh Ahmad Khatib al Minankabawi, salah satu gurunya di Mekkah. Keteguhan Kiai Hasyım dalam memegang prinsip ini juga diungkapkan salah satu sahabatnya yang menjadi dosen di Universitas Al-Azhar Kairo, Syaikh Rabah Hasunah.

Meskipun begitu, Kiai Hasyım tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Beliau hormati pendapat orang lain yang tidak menyetujuinya. Yang menarik, sebagaimana disebutkan M. Ishom Hadzik dalam salah satu tulisannya, ada lawan diskusi Kiai Hasyim yang berkebangsaan Jerman. Dia adalah Karl von Smith yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda di negeri ini. Setelah berdiskusi banyak dengan Kiai Hasyim, Karl von Smith aklurnya masuk Islam. Dia akhirnya menyebarkan Islam di Hamburg Jerman melalui Islamic Center di sana.

Kiai Hasyim sangat menghormati tamu. Beliau temui sendiri tamu yang datang, baik rakyat kecil hingga pejabat. Orang Belanda yang terkenal bertamu ke Pesantren Tebuireng adalah Ch. O. Van der Plas yang pada tahun 1940-an menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Bahkan, Van der Plas ini datang ke Tebuireng dengan membawa seekor anjing! Hal ini tidak mengurangi Kiai Hasyim untuk menghormati tamu.

KARYA TULIS

Kiai Hasyim termasuk kiai yang produktif. Hal itu dibuktikan darı sejumlah karyanya yang bisa kita temukan saat ini. Tulisan-tulisan Kiai Hasyim diedit oleh M. Ishom Hadzik, salah seorang cucunya. Saat ini beberapa karya Kiai Hasyim ini dikumpulkan dalam satu jilid besar. Dengan bentuk seperti ini, kita lebih mudah untuk menelaah pemikiran pemikiran Kiai Hasyim. Sebelumnya, karya Kiai Hasyim tersebar dalam beberapa judul buku. Jika kita ingin menelaah pemikiran Kiai Hasyim secara utuh, mau tidak mau kita harus mengumpulkannya satu per satu. Namun sekarang, hanya dengan memiliki satu jilid besar, kita sudah bisa mengetahui seluruh karya Kiai Hasyim.

Karya-karya Kiai Hasyim adalah:

Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Penjelasan tentang Larangan Memutuskan Hubungan Kerabat dan Persahabatan),

Adab al ‘Alim wa al-Muta’allim (Etika Guru dan Murid),

Al-Tanbibat al Wajibat liman Yashna al-Maulid bi al-Munkarat (Nasihat Penting bagi Orang yang Merayakan Kelahiran Nabi Muhammad dengan Menjalankan Hal-hal yang Dilarang oleh Agama),

Al-Risalah al-Jami’ah (Kitab yang Lengkap),

Ziyadat al Ta’liqat ‘ala Manzhumat al-Syaikh Abd Allah bin Yasin al Fasuruwani (Catatan Tambahan mengenai Syair Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan),

Al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlah al-Ulama (Aturan Dasar Perkumpulan Nahdlatul Ulama),

Al-Mawa’izh (Beberapa Nasehat),

Hadits al-Maut wa ‘Asrah al Sa’ah (Hadis tentang Kematian dan Hari Kiamat),

Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin (Cahaya Terang tentang Cinta kepada Rasul),

Hasyiyah Fath al-Rahman, Al-Durar al-Muntathirah fi al Masa’il al Tis’ Asyarah (Mutiara tentang 19 Masalah),

Al Risalah al-Tauhidiyyah (Catatan tentang Teologi),

Al-Qala’id bi Bayan ma Yajib min al ‘Aqa’id (Syair-syair Menjelaskan Kewajiban Aqidah).

Beberapa tulisan Kiai Hasyim ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Menurut Kiai Muchit Muzadi, Kiai Hasyim dalam salah satu karyanya menyebutkan bahwa menikah itu hukumnya mubah, bukan sunnah sebagaimana yang dikatakan banyak orang. Menurut Kiai Hasyim, hukum menikah sesuai dengan niat pelakunya.

Selain tulisan-tulisan berbahasa Arab, sebagaimana yang disebutkan di atas, Kiai Hasyim juga pernah menulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk pidato-pidato yang dimuat dalam beberapa surat kabar. Di antara surat kabar yang pernah memuat pidato Kiai Hasyim adalah Soeara Nahdlatoel Oelama: surat kabar resmi NU diterbitkan tahun 1928-1030, Soeara MIAI: surat kabar resmi MIAI; dan Soeara Moeslimin Indonesia: surat kabar resmi Masyumi.

MENGHADAP SANG KHALIQ

Pada tanggal 21 Juli 1947, NICA datang lagi ke Indonesia untuk melancarkan agresi militernya. Tentara NICA mulai menguasai beberapa wilayah di Jawa Timur. Mengetahui hal ini, Kiai Hasvim memanggil putra bungsunya, M. Yusuf (kelak dikenal dengan sebutan Pak Ud atau KH. Yusuf Hasyim) yang saat itu menjadi komandan kompi Hizbullah Jombang. Kiai Hasyim mengajari puteranya ini cara menggunakan senjata api. Kiai Hasyim mengatakan kepada Yusuf, bahwa kita harus mempertahankan negeri ini darı penjajah sampai titik darah penghabisan.

Empat hari kemudian, tanggal 25 Juli 1947 yang bertepatan dengan 7 Ramadhan 1366, seperti biasanya, setelah mengimami shalat tarawih, Kiai Hasyim akan menyampaikan pengajian kepada ibu-ibu Muslimat. Ketika Kiai Hasyim akan memulai pengajian, tiba-tiba cucu menantu beliau, Muhammad Yusuf Masyhar, tergopoh-gopoh menemui Kiai Hasyim untuk memberitahukan ada 2 utusan Panglima Soedirman dan Bung Tomo yang ingin menemuinya. Karena tamu ini dirasa lebih penting, Kiai Hasyim menunda pengajuan ibu-ibu Muslimat. Kemudian Kiai Hasyim memerintahkan adık perempuannya untuk menyiapkan kue dan makanan untuk dihidangkan kepada tamu.

Lalu Kiai Hasyim segera menuju ruang depan untuk menemui tamu-tamu tersebut. Kedua utusan Panglima Soedirman dan Bung Tomo ditemani komandan Sabilillah Surabaya yang bernama Kiai Ghufron. Kiai Ghufron mengatakan bahwa tujuan kedua tamu penting ini adalah agar Kiai Hasyim mengomandokan jihad melawan Belanda, sebagaimana Resolusi Jihad yang dikeluarkan 2 tahun sebelumnya. Tak lama kemudian datang Kiai Adlan Ali, suami keponakan Kiai Hasyim yang biasanya diajak bermusyawarah untuk membahas persoalan-persoalan penting. Namun Kiai Adlan hanya datang sebentar kemudian pamit pergi karena ada keperluan lain.

Kiai Hasyim mengatakan ingin meminta waktu berfikir semalam untuk mengambil keputusan. Biasanya Kiai Hasyim akan melakukan shalat istikharah sebelum mengeluarkan keputusan-keputusan penting. Kiai Hasyim meminta petunjuk langsung kepada Allah mengenai apa yang sebaiknya dilakukan.

Kiai Ghufron melanjutkan pembicaraannya tentang ulah NICA yang semakin menjadi-jadi. Dikatakan Kiai Ghufron, bahwa NICA telah menguasai markas besar Hizbullah-Sabilillah di Singosari, Malang. Mendengar informası terakhir ini, Kiai Hasyim kaget luar biasa! Sambil memegang kepala erat-erat, Kiai Hasyim berkata, “Masyaallah, masyaallah…!” Lalu Rais Akbar NU ini pingsan dalam keadaan duduk.

Awalnya Kiai Ghufron hanya menduga Kiai Hasyim kelelahan sehingga tertidur. Kiai Ghufron menyuruh kedua tamu tersebut agar meninggalkan ruangan itu terlebih dahulu. Keduanya ingin berpamitan kepada Kiai Hasyim, namun pengasuh Pesantren Tebuireng ini hanya diam saja tidak memberi tanggapan. Maka keduanya segera pergi tanpa pamit terlebih dahulu.

Lalu Kiai Ghufron memperhatikan Kiai Hasyim lebih serius. Kiai Ghufron baru sadar ternyata Kiai Hasyim telah pingsan. Langsung saja Kiai Ghufron memeluk pendiri NU ini. Kemudian Kiai Ghufron mengajak Yusuf Masyhar untuk memindahkan Kiai Hasyim ke tempat tidur. Ternyata Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (hersenbloeding).

Keluarga besar Pesantren Tebuireng segera datang untuk melihat kondisi Kiai Hasyim. Mereka yang sedang tidak berada di Tebuireng segera dihubungı. Ada juga yang segera mencari dokter. Kala itu yang datang adalah dr. Mas Angka Nitisastra darı RSUD Jombang. Segera saja dokter melakukan pemeriksaan, kemudian mengambil darah Kiai Hasyim untuk mengurangi rasa sakit, meski harapan sembuh sangat tipis. Pukul 03.45 dini hari, Kiai Hasyim dipanggil Sang Maha Kuasa.

Ribuan orang segera datang ke Pesantren Tebuireng untuk melakukan shalat jenazah dan memberi penghormatan terakhir kepada Kiai Hasyım. Dari para ulama, tokoh NU, pejabat sipil, pejabat militer, kaum nahdliyyin, hingga masyarakat umum, semuanya bagaikan air yang tumpah di Tebuireng. KH. A. Wahab Hasbullah (kelak sebagai Rais Am PBNU menggantikan Kiai Hasyim) yang saat itu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) memberikan kata sambutan. Lalu Kiai Wahid, putra Kiai Hasyim, memberikan sambutan atas nama keluarga.

Ucapan turut berduka cita lewat surat maupun telegram disampaikan oleh orang-orang dekat Kiai Hasyim vang tidak sempat bertakziyah ke Tebuireng, misalnya Panglima Besar Angkatan Perang Letnan Jenderal Soedirman yang saat itu sedang berada di markas Komando Narotama dan Ki Bagus Hadikusumo yang menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.

Sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 249 tahun 1964, Presiden Soekarno menetapkan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, sebagai Pahlawan Nasional.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *