Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. M. Hasyim Asy’ari (5/6)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

Kemudian, pada tanggal 18-21 September 1937 yang bertepatan dengan 12-15 Rajab 1356, empat tokoh Islam berkumpul di Pesantren Kebondalem Surabaya. Mereka adalah KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur, dan W. Wondoamiseno dari Sarekat Islam. Perlu diketahui, Kiai Ahmad Dahlan yang dimaksud di sini adalah Kiai Ahmad Dahlan bin KH Muhammad Ahyad yang menjadi pengasuh Pesantren Kebondalem Surabaya, bukan KH. Ahmad Dahlan yang menjadi pendiri Muhammadiyah dari Yogyakarta. Karena, Kiai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah telah wafat tahun 1923.

Nah, keempat tokoh Islam ini berhasil mendirikan organisasi bernama Al-Majlisul Islamil A’laa Indonesia yang disingkat MIAI. Kemudian, beberapa organisasi Islam masuk ke dalamnya, seperti Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Al-Islam, Persatuan Ulama Majelengka, Al-Irsyad Surabaya, Hidayatul Islamiyah Banyuwangi, dan Al-Khairiyah Surabaya. NU secara resmi masuk ke dalam organisasi ini tahun 1939. Ada 13 organisasi Islam yang masuk ke dalam MIAI. Mengapa umat Islam dengan latar belakang yang berbeda-beda dapat bersatu? Sedikit banyak jawabannya adalah karena pengaruh surat terbuka Kiau Hasyim yang ditulis tahun 1937 ketika muktamar NU di Banjarmasin tersebut.

Pada muktamar NU yang dilaksanakan tahun 1938 di Menes Banten, NU menyatakan bahwa Hindia Belanda atau Indonesia saat itu adalah Darul Islam. Alasannya adalah karena penduduk Muslim dapat melaksanakan syariat Islam di sini dan wilayah ini dulunya juga diperintah oleh raja-raja yang Muslim. Keputusan ini mencerminkan tradisi Sunni yang biasanya memang lebih akomodatif terhadap pemerintahan yang ada. Meskipun begitu, NU tetap menolak usulan untuk bergabung ke dalam Volksraad (Dewan Rakyat), yakni parlemen bentukan pemerintah Belanda.

Kedatangan Jepang pada bulan Maret 1942 disambut gembira oleh rakyat Indonesia karena telah membebaskan mereka dari cengkraman penjajah Belanda yang telah ratusan tahun bercokol di negeri ini. Namun itu hanya beberapa saat. Sejak Jakarta jatuh ke tangan Jepang, sikap Jepang mulai berubah. Rakyat Indonesia dilarang menggelar kegiatan politik dan keagamaan dengan alasan karena darurat perang. Mereka juga diperintahkan untuk melakukan saikeirei, yakni membungkukkan badan 90 derajat setiap pagi ke arah Jepang sebagai bentuk penghormatan terhadap Kaisar Jepang, Tenno Haika, yang dipercaya orang Jepang sebagai titisan Dewa Amaterasu Omikami.

Para ulama, termasuk Kiai Hasyim, mengharamkan kegiatan ini karena menyerupai rukuk dalam shalat, padahal hanya kepada Allah kita boleh melakukan rukuk. Lalu Kiai Hasyim, sebagai tokoh NU yang paling dihormati, serta para tokoh NU lainnya ditangkap Jepang dan dimasukkan ke dalam penjara dengan alasan telah mendalangi kerusuhan di Pabrik Gula Cukir (Tjeokir). Alasan sebenarnya adalah karena mereka melarang kegiatan saikeirei.

Kiai Wahab dengan para tokoh NU lainnya baru berhasil membebaskan Kiai Hasyim dan lain-lain setelah 5 bulan kemudian. Jepang kemudian mengubah haluan politiknya, tidak lagi memusuhi tokoh Islam namun justru berusaha merangkulnya. Jepang butuh dukungan warga Indonesia, khususnya umat Islam melalui tokoh-tokohnya, sebagai tambahan tentara perang. Kewajiban saikeirei pun akhirnya dihapus.

KH. A. Wahid Hasyim, putra Kiai Hasyim, serta para tokoh NU Jawa Barat masuk ke dalam parlemen bentukan Jepang, Chuo Sangi-in. Kiai Wahid dan para tokoh Muhammadiyah berhasil membujuk Jepang agar memperbolehkan NU dan Muhammadiyah melakukan aktifitasnya kembali setelah lama tanpa aktifitas karena kontrol Jepang yang kuat. Maka, sejak September Jepang mengijinkan kedua organisasi ini untuk ‘hidup kembali Akhirnya pada bulan Oktober 1943 atas prakarsa NU dan Muhammadiyah terbentuk organisasi bernama Majelis Syura Muslimin Indonesia yang disingkat Masyumi. Masyumi merupakan federasi dari sejumlah organisasi Islam untuk menggantikan MIAI yang telah bubar dengan lahirnya Masyumi ini. Pimpinan tertinggi Masyumi dipercayakan kepada Kiai Hasyim dan wakilnya adalah KH. A. Wahid Hasyim (NU) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). KH. A. Wahab Hasbullah (NU) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) bertindak sebagai penasehat khusus.

Pada tahun 1944 terjadi krisis kepercayaan di tubuh Shumubu atau Kantor Urusan Agama atau semacam Kementrian Agama. Dr. Husein Djajadiningrat sebagai pimpinannya mengundurkan diri. Jepang lalu mengangkat Kiai Hasyim sebagai pimpinan Shumubu. Namun pengasuh Pesantren Tebuireng ini tidak mau menempati kantornya. Tugas-tugasnya diserahkan kepada Kiai Wahid, anak laki-laki tertuanya. Kiai Wahid berhasil membujuk Jepang agar mendirikan Shumuka, yaitu Kantor Urusan Agama tingkat daerah. Kiai Wahid mengusulkan agar didirikan Shumuka di seluruh wilayah Indonesia, namun Jepang hanya mengabulkan di wilayah Jawa dan Madura saja. Ini merupakan prestasi Kiai Wahid yang tidak kecil.

Ketika dibentuk pasukan Pembela Tanah Air (Peta) pada tanggal 3 Oktober 1943, Kiai Hasyim menganjurkan para santri untuk bergabung menjadi anggotanya. Masuknya para santri ke dalam Peta dipelopori oleh putra Kiai Hasyim, Abdul Choliq Hasyim.1 Bahkan Abdul Choliq kemudian diangkat menjadi Daidanco (komandan batalion), jabatan yang juga disandang Panglima Soedirman. Terbentuknya Peta kemudian disusul dengan Hizbullah (Oktober 1944) dan Sabilillah.

Kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 tidak berarti negeri ini telah benar-benar bebas dari penjajah asing. Jepang memang telah menyerah kepada sekutu setelah Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, namun tidak berarti segalanya telah selesai. Penyerahan Jepang kepada Sekutu dilakukan oleh South East Asia Command (SEAC) di bawah komando Laksamana Lord Louis Mounbatten, sedangkan pasukan sekutu yang bertugas di Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah komando Letnan Jenderal Sir Philip Christuson. AFNEI merupakan bagian dari SEAC.

Awalnya rakyat Indonesia menyambut gembira kedatangan Sekutu yang membebaskan negeri ini dari Jepang. Namun ternyata Sekutu membawa pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration), pasukan Belanda. Pertempuran pun tak terhindarkan untuk mempertahankan kemerdekaan negeri ini yang baru beberapa bulan diproklamasikan.

Pada tanggal 10 Oktober 1945, Sekutu dan NICA menguasai Medan, Palembang, Padang, dan Bandung. Lalu tanggal 19 Oktober 1945, Semarang pun berhasil dikuasai Sekutu dan NICA. Di Surabaya, tempat lahirnya NU, kontak fisik telah terjadi antara arek-arek Suroboyo dengan pasukan Belanda yang mendarat sejak September. Pemerintah saat itu sedang sibuk menyusun birokrasi negeri yang baru berdiri ini. Melihat situasi yang mulai tidak terkendali, Presiden Soekarno mengirim seseorang untuk menemui Kiai Hasyim di Pesantren Tebuireng. Orang tersebut disuruh Soekarno untuk bertanya kepada Kiai Hasyim bagaimana hukumnya perang membela tanah air. Pertanyaan Soekarno ini bukanlah pertanyaan untuk mencari jawaban, tapı meminta kepada Kiat Hasyim agar ikut turun tangan mencari solusi atas kekacauan situasi negeri ini.

Kiai Hasyim segera memanggil Kiai Wahab Tambakberas, Kiai Bisri Syansuri Denanyar, dan para kıai lainnya. Kemudian HBNO (sekarang disebut PBNU) segera membuat undangan untuk disebarkan kepada seluruh pengurus NU atau para kiai di Jawa dan Madura. Mereka diminta segera berkumpul di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jalan Bubutan Surabaya.

Pada tanggal 21 Oktober 1945 para kiai telah berdatangan dan menunggu apa yang akan dimusyawarahkan. Kiai Hasyim meminta mereka untuk menunggu kedatangan para kiai dari Jawa Barat, yaitu KH. Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, KH. Satori dari Pesantren Arjowinangun Cirebon, KH. Amin dari Pesantren Ciwaringin Cirebon, dan KH. Suja’i dari Indramayu. Maklum saat itu alat transportasi paling cepat adalah kereta, sehingga memerlukan waktu cukup lama. Baru tanggal 23 Oktober 1945 rapat darurat dan penting inı dimulai. Rapat ini dipimpin oleh Kiai Wahab. Hasilnya, Kiaı Hasyim atas nama HBNO (sekarang disebut PBNU) mendeklarasikan seruan jihad yang lebih dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad.

Isi Resolusi Jihad yang paling penting adalah kewajiban berperang bagi umat Islam yang tinggal di radius 94 km dari Surabaya. Jarak 94 km adalah jarak diperbolehkannya melakukan jamak dan qashar shalat. Kewajiban ini bersifat individu atau fardlu ‘ain. Bagi yang tinggal di luar radius 94 km dari Surabaya, mereka berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang tinggal dalam radius 94 km. Ada 2 macam teks Resolusi Jihad, yaitu teks yang dibagi-bagikan setelah rapat tanggal 21-22 Oktober 1945, dan teks yang disepakati pada Muktamar NU ke-16 bulan Maret 1946. Untuk mengenang peristiwa penting ini dibangun Monumen Resolusi Jihad Nahdlatoel Oelama di sebelah kantor PCNU Surabaya yang beralamatkan di Jalan Bubutan VI Surabaya.

Tanggal 10 November di peringati sebagai Hari Pahlawan karena pertempuran besar terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Dengan pekikan takbir “Allahu Akbar” dari Bung Tomo, arek-arek Suroboyo berhasil mempertahankan tanah kelahirannya dari rongrongan Inggris atau Sekutu. Inggris memberi ultimatum kepada arek-arek Suroboyo agar segera menyerahkan diri sebelum jam 06.00 tanggal 10 November 1945. Namun, arek-arek Suroboyo bukannya menyerahkan diri, justru mengadakan perlawanan. Hasilnya, Brigadir Jenderral Mallabi, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, tewas tanggal 30 Oktober 1945.2 Besarnya semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan tentara Inggris tidak dapat dilepaskan dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan sebulan sebelumnya. Dan yang terkadang terlupakan, Surabaya adalah kota tempat dilahirkannya NU dan menjadi kantor pengurus besar (HBNO) jaman dulu. Peran besar yang diberikan Kiai Hasyim bagi negeri ini adalah keluarnya Resolusi Jihad. Di bawah ini adalah teks Resolusi Jihad yang dibagi-bagikan setelah rapat tanggal 21-22 Oktober 1945, namun penulisannya disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan (EYD).

Resolusi NU tentang Jihad fi Sabilillah

Bismillahirrahmanirrahim

Resolusi:

Rapat besar wakil-wakil daerah (konsul-konsul) perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.

Mendengar:

Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat umat Islam dan alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan agama, kedaulatan Negara Republik Indonesia merdeka.

Menimbang:

a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam.

b. Di Indonesia ini warga negaranya adalah sebagian besar terdiri dari umat Islam.

(bersambung)

Catatan:

  1. Tentang Kiai Choliq Hasyim, baca Muhammad Yahya dan Dawud Ubaidilah Habibi, Pahlawan yang Terlupakan Sang Kiai Kadigdayan Biografi Almarhum KH. Abdul Choliq Hasyim (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011).
  2. Tentang kronologi peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, lihat Gugun El-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), hlm. 81-93.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *