Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. M. Hasyim Asy’ari (4/6)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

Pernah, seperti dikatakan Kiai Muchit, ketika akan dilaksanakan shalat Jumat, masih ada beberapa santri yang ramai-ramai di kamar mandi. Maka, Kiai Hasyim segera menuju ke kamar mandi, lalu memukul para santri dengan tongkatnya. Kiai Hasyim benar-benar marah saat itu. Yang menarik, masih menurut Kiai Muchit, ta’ziru atau hukuman bagi santri yang melanggar aturan adalah mencium pantat sapi. Ada seorang kiai di Malang yang dulunya ketika mondok di Pesantren Tebuireng pernah mendapat hukuman untuk mencium pantat sapi. Hukuman terberat adalah diusir dari pesantren.

Kiai Hasyim termasuk tipe kiai yang demokratis. Meskipun menjadi Rais Akbar NU, Kiai Hasyim tidak pernah menyuruh santrinya harus menjadi orang NU. Ketika dibentuk Ranting NU Tebuireng, ada santri yang mendaftar sebagai anggota NU dan ada yang tidak. Kiai Hasyim tidak mempersoalkannya. Bahkan, anak laki-laki tertuanya, KH. A. Wahid Hasyim (ayah Gus Dur), masuk NU setelah bertahun-tahun berpikir tentang organisasi apa yang sebaiknya dimasukinya. Meskipun begitu, para alumni Pesantren Tebuireng banyak yang menjadi tokoh NU di daerahnya masing-masing.

Ada sedikit perbedaan antara Kiai Hasyim dengan kiai pada umumnya, yaknı Kiai Hasyim tidak mau dihauli dan tidak ikut tarekat tertentu. Maka, tidak pernah diselenggarakan haul Kiai Hasyim. Meski tidak ikut tarekat tertentu, Kiai Hasyim tidak melarang santrinya masuk ke tarekat. Di antara santrinya ada yang menjadi tokoh tarekat, seperti Kiai Adlan Ali dan Kiai Musta’in Romli, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Perbedaan lainnya adalah Kiai Hasyim tidak merokok. Oleh karena itu, tidak heran jika Pesantren Tebuireng melarang para santrinya untuk merokok.

Pesantren Tebuireng terus berkembang dengan jumlah santrinya yang semakin banyak. Ketika itu, Pesantren Tebuireng dikenal sebagai salah satu pesantren yang paling berpengaruh di tanah Jawa. Biasanya para santri yang belajar di pesantren ini telah belajar sebelumnya di beberapa pesantren lain. Artinya, mereka belajar di pesantren ini karena merasa masih kurang ilmunya meskipun telah belajar di berbagai tempat. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kelak akan mendirikan pesantren atau menjadi pengasuh pesantren, misalnya KH. A. Wahab Hasbullah (pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang), KH. M. Bisri Syansuri (pendiri Pesantren Denanyar Jombang), KH. M. Abdul Karim (pendiri Pesantren Lirboyo Kediri), KH. Khudlari (Tegalrejo Magelang), KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pesantren Asembagus Situbondo), dan lain-lain.

Jika ada santri yang berniat mendirikan pesantren, Kiai Hasyim tidak segan-segan untuk membantunya. Biasanya Kiai Hasyim akan menjodohkan santri tersebut dengan anak perempuan orang kaya. Lalu pendirian pesantren diawali dengan pembangunan mushalla. Dari mushalla yang kecil akhirnya berkembang menjadi pesantren yang besar sedikit demi sedikit. Misalnya, Kiai Hasyim membantu memberi nama pesantren yang akan didirikan oleh KH. Djazuli Utsman, salah seorang muridnya, dengan nama Al-Falah yang artinya ‘keberuntungan’. Pesantren ini kelak lebih dikenal dengan nama Pesantren Ploso Mojo Kediri.

Dalam tulisan M. Ishom Hadzik, disebutkan mengenai kesederhanaan Kiai Hasyim. Meskipun menjadi orang kaya, Kiai Hasyim sangat sederhana dalam hidupnya. Rumahnya terbuat dari bambu dan beralaskan semen. Baru setelah beliau berusia lanjut, rumahnya direnovasi sehingga terbuat dari tembok. Renovasi rumah itu pun dilakukan karena paksaan seorang dermawan yang mengatakan bahwa rumah Kiai Hasyim sudah tidak layak lagi. Satu-satunya barang mahal yang ada di rumah Kiai Hasyim adalah ratusan kitab yang dibelinya dari tanah suci. Itu adalah ‘makanan’ sehari-hari Kiai Hasyim untuk menghabiskan waktu. Untuk merawat kitab-kitab ini, Kiai Hasyim menjemurnya sebulan sekali dengan dibantu beberapa santrinya, seperti KH. Abu Syuja’ dari Kediri dan KH. Achmad Siddiq dari Jember (kelak menjadi Rais Am Syuriyah PBNU tahun 1984-1990).

Benda lainnya yang tergolong mahal adalah beberapa ekor kuda. Baru ketika mobilitas Kiai Hasyim sangat tinggi, Nyai Nafiqah, istrinya, membeli mobil buatan Amerika. Beliau mempunyai sopir pribadi yang terkadang digantikan oleh Kiai Wahid, ayah Gus Dur. Pengasuh Pesantren Tebuireng ini biasanya pergi ke Pasar Jombang pada hari yang pasarannya Pon. Pada hari itu pengajian diliburkan karena Kiai Hasyim sedang berdagang kuda. Maka, jika pengajian Kiai Hasyim libur, para santri Pesantren Tebuireng menyebutnya dengan “pon, pon, pon” meskipun hari itu pasarannya bukan Pon. Istilah lain yang digunakan adalah Dawuh jika Kiai Hasyim akan menyampaikan sesuatu di masjid, misalnya doa-doa tertentu atau sesuatu yang penting lainnya.

Selain berdagang, sumber penghasilan Kiai Hasyim diperoleh dari bertani. Di sela-sela waktu mengajar, terkadang Kiai Hasyim menyempatkan diri untuk pergi ke sawah. Kiai Hasyim ingin mengajarkan kemandirian kepada para santrinya. Beliau tidak suka bergantung kepada orang lain apalagi sampai timbul sifat tama’ alias mengharap bantuan orang. Tak jarang Kiai Hasyim mengajak beberapa santrinya ke sawah. Di antara santrinya yang pernah di ajak ke sawah atau ke pasar adalah KH. Ahyad Halimi dari Mojokerto dan KH. Muchtar Syafaat dari Kediri (kelak mendirikan Pesantren Dasussalam Blokagung Banyuwangi).

Konon ketika Kiai Hasyim telah menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng, Kiai Khalil Bangkalan juga pernah mengaji kepadanya. Ketenaran bahwa Kiai Hasyim adalah kiai yang alim, khususnya dalam bidang hadits, sampai ke telinga Kiai Khalil. Maka pada bulan Ramadhan, Kia Khalil rela datang dari Bangkalan Madura ke Tebuireng Jombang ‘hanya’ untuk belajar kepada muridnya, Kiai Hasyim. Kiai Hasyim yang mengetahui gurunya, Kiai Khalil, datang ke pesantrennya, segera berusaha untuk menghormatinya. Beberapa santri disuruh mempersiapkan sebuah kamar khusus untuk Kiai Khalil. Begitu kamar telah siap untuk ditempati, Kiai Hasyim segera menemui Kiai Khalil. Kiai Hasyim mengatakan, “Kiai, mohon nanti istirahatnya di kamar yang telah dipersiapkan. Tidak usah tidur bersama santri yang lain.”

“Hasyim, di sini saya sebagai santri sebagaimana para santri yang lain. Jadi tidak usah kamu istimewakan. Di Bangkalan, saya kiai kamu. Di sini, kamu kiai saya. Jadi, jangan diistimewakan. Saya akan makan dan tidur bersama para santri. Saya kan juga santri kamu, “jawab Kiai Khalil. “Tapi, Kiai Khalil tetap sebagai guru saya, kapan pun dan di mana pun, di Bangkalan maupun di Tebuireng, “kata Kiai Hasyim yang masih mencoba membujuk Kiai Khalil. Kiai Hasyim terus mencoba merayu Kiai Khalil agar mau menempati kamar yang telah disediakan, namun Kiai Khalil tetap menolak tawaran tersebut. Jika di Bangkalan, Kiai Khalil adalah guru Kiai Hasyim, maka ketika di Tebuireng, Kiai Khalil merasa sebagai murid dan Kiai Hasyim sebagai gurunya. Berbeda dengan Kiai Hasyım. Pengasuh Pesantren Tebuireng ini merasa sebagai murid Kiai Khalil kapan pun dan dimana pun, baik di Bangkalan maupun di Tebuireng, dulu maupun sekarang. Dan sebagaimana diterangkan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, bahwa seorang murid harus menghormati gurunya. Bahkan, Ali bin Abi Thalib konon pernah mengatakan, “Aku adalah hamba orang yang pernah mengajariku meskipun hanya satu huruf. la boleh memerdekakanku atau pun tidak.”

Akhirnya dengan siasat yang cerdik tanpa mengurangi hormat kepada Kiai Khalil, Kiat Hasyim berkata, “Kiai Khalil, kalau memang Kiai menganggap saya sebagai guru, maka saya memerintahkan’ kepada Kiai untuk tinggal di kamar yang telah dipersiapkan itu. Nanti pakaian Kiai akan cucikan. Dan akan diantarkan makanan untuk Kiai. Kalau Kiai menganggap saya sebagai guru, maka tentunya Kiai akan mematuhi perintah saya.” Kiai Khalil pun akhirnya mematuhi ‘perintah’ Kiai Hasyim. Versi lain menyebutkan bahwa yang datang ke Pesantren Tebuireng bukan Kiai Khalil Bangkalan Madura, malainkan Kiai Khazin dari Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo.

Dulu depan Pesantren Tebuireng termasuk jalur kereta api. Karena itu, jika santri ingin pulang ke rumah, langsung saja naik kereta di depan pesantren. Kini jalan itu tidak lagi dilalui kereta api, namun kita masih bisa menemukan sisa-sisa rel kereta api yang tak terpaku di depan pesantren ini.

MENDIRIKAN DAN BERKHIDMAH KEPADA NAHDLATUL ULAMA

Jika pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, kiai yang paling dihormati dan kharismatik adalah Kiai Khalil Bangkalan, hal yang sama tampaknya diwarisi oleh Kiai Hasyim. Kiai Hasyim adalah kiai yang paling dihormati di tanah Jawa dan Madura. Setelah Kiai Hasyim berhasil mendirikan Pesantren Tebuireng, Kiai Khalil yang merupakan guru Kiai Hasyim, sempat belajar ke Tebuireng pada bulan Ramadhan, seperti disebutkan di atas. Peristiwa ini dimaknai oleh banyak orang sebagai pengakuan Kiai Khalil atas kealiman Kiai Hasyim. Tidak hanya itu, Kiai Khalil juga berperan dalam berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Dua tahun sebelum berdirinya NU, Kiai Khalil mengutus muridnya yang bernama As’ad Syamsul Arifin untuk menemui Kiai Hasyim. As’ad membawa tasbih dan bacaan al-Qur’an surat Thaha ayat 17-23. Ayat tersebut menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya.

Satu tahun kemudian, As’ad datang lagi menemui Kiai Hasyim atas perintah Kiai Khalil. Kali ini As’ad meyampaikan bacaan Ya Qahhar, Ya Jabbar (Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa, wahai Tuhan Yang Maha Memaksa). Kedua peristiwa yang disebutkan di atas diartikan sebagai restu Kiai Khalil kepada Kiai Hasyim untuk mendirikan organisasi yang kelak dinamakan NU. Beberapa tahun sebelum berdirinya NU, Kiai Wahab Tambakberas juga telah beberapa kali menyampaikan keinginannya untuk mendirikan organisasi yang mewadahi seluruh kiai atau kalangan pesantren. Namun tampaknya Kiai Hasyim masih ragu-ragu untuk menyetujui usulan dari muridnya tersebut. Dan Kiai Wahab tidak akan berani melangkah mendahului Kiai Hasyim. Restu dari Kiai Hasyim sangat diperlukan untuk pendirian organisasi.

Baru tahun 1926, Kiai Hasyim menyetujui pendirian organisasi yang akhirnya dinamakan dengan Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim terpilih sebagai Rais Akbar NU. (Kronologis berdirinya NU diuraikan dalam bab berikutnya yang membahas biografi KH. A. Wahab Hasbullah). Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar NU sejak kelahiran NU hingga beliau wafat tahun 1947. Banyak prestasi yang telah diukir Kiai Hasyim selama menjadi orang nomor wahid di organisasi ini. Wibawanya yang besar, kealimannya yang diakui semua orang, dan menjadi guru dari hampir semua para kiai pendiri pesantren di Jawa menjadikannya figur yang menentukan dalam perjalanan organisasi ini.

Kiai Hasyim menginginkan umat Islam bersatu, tidak terpecah belah hanya karena persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat). Lebih-lebih bagi bangsa Indonesia yang saat itu masih di bawah kekuasaan penjajah, persatuan merupakan langkah awal yang harus ditempuh untuk mengusir penjajah dari negeri ini. Maka, pada tahun 1935 ketika dilaksanakan Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin Kalimantan Selatan, Kiai Hasyim menulis surat dengan judul “Al-Mawa’izh” (beberapa nasehat) yang dibaca ketika sedang muktamar. Isinya adalah seruan untuk bersatu di antara umat Islam. Kata Kiai Hasyim, jika umat Islam masih saja terpecah-pecah, maka yang beruntung adalah kaum penjajah. Surat ini juga disebarkan kepada para ulama di tanah air. Buya Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah, pernah menerjemahkan surat ini dan memuatnya ke dalam majalah Panji Masyarakat tahun 1959. Buya Hamka sangat terkesan dengan surat ini.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *