Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. M. Hasyim Asy’ari (3/6)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

diterbitkan Pustaka Tebuireng Jombang, jumlah santri Pesantren Tebuireng telah mencapai 2000 orang. Namun hanya sekitar 50 orang yang dapat menamatkan pendidikannya di sini setiap tahunnya. Lebih banyak santri belajar di pesantren ini hanya sebentar, setahun atau dua tahun, tidak menamatkan pendidikan yang ada. Jika ingin tamat, seorang santri harus menyelesaikan pendidikan selama 6 tahun. Kecuali jika mulai tidak dari kelas satu, maka seorang santri tidak harus menempuh pendidikan selama 6 tahun. Misalnya Kiai Muchit Jember yang masuk ke Pesantren Tebuireng langsung kelas 3, maka hanya butuh waktu 4 tahun Kiai Muchit dapat menamatkan Pesantren Tebuireng. Kiai Muchit Jember, kakak kandung KH. A. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU periode 1999-2009), adalah satu-satunya alumni Pesantren Tebuireng yang pernah diajar Kiai Hasyim dan masih hidup hingga kini-semoga Allah memanjangkan umurnya. Kiai Muchit lahir di Tuban tanggal 4 Desember 1925, dua bulan sebelum lahirnya NU (tanggal 31 Januarı 1926).

Di Pesantren Tebuireng pernah ada dua madrasah, yaitu Madrasah Salafiyah dan Madrasah Nizhamiyah. Awalnya pesantren ini tidak jauh berbeda dengan pesantren laın, yakni tidak memiliki madrasah atau sistem kelas. Adalah Kiai Ma’shum Ali, murid sekaligus menantu Kiai Hasyim, mengusulkan agar Pesantren Tebuireng membuka madrasah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1916. Kiai Hasyim menyetujui usulan dari menantunya tersebut. Akhirnya Pesantren Tebuireng memiliki madrasah dengan 6 kelas. Kiai Ma’shum akhirnya ditunjuk sebagai kepala madrasah yang baru ini. Dengan adanya madrasah ini, para santri belajar sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Artinya, santri yang sudah pandai menempati kelas yang tinggi, sementara santri yang masih baru mengenal pesantren belajar di kelas yang rendah, bahkan di Sekolah Persiapan.

Pelajaran yang diajarkan masih berkisar tentang ilmu-ilmu agama, seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, dan lain-lain. Meskipun telah ada madrasah, sistem pengajaran yang lama, seperti bandongan dan sorogan, masih dipertahankan. Tampaknya Kiai Hasyim menerapkan kaidah ushul fikih yang terkenal yaitu mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik (Al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-ahdz bi al-jadid al-ashlah).

Adapun Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh KH. A. Wahid Hasyim, anak laki-laki tertua Kiai Hasyim, setelah pulang belajar di Mekkah. Nama madrasah ini mirip dengan madrasah yang dibangun oleh Wazir Nizhamul Muluk dan pernah menjadi tempat mengajar Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 1111 M). Dengan madrasahnya ini, Kiai Wahid ingin mencetak kader-kader yang handal dengan menggabungkan ilmu agama dan ilmu sekuler. Dalam istilah sekarang, Kiai Wahid ingin mendirikan perguruan tinggi di pesantren. Termasuk orang yang pernah dididik Kiai Wahid di madrasah ini adalah KH. Achmad Siddiq, kiai yang kemudian menjadi Rais Am Syuriyah PBNU tahun 1984-1990.

Hanya saja, Kiai Hasyim tidak begitu berkenan dengan kehadiran madrasah ini yang sehingga akhirnya digabungkan dengan Madrasah Salafiyah. Madrasah Nizhamiyah hanya berumur 2 tahun, 1935-1937. Kiai Hasyim memberi kebebasan dalam kegiatan belajar santri. Mereka belajar secara berkelompok di kompleks atau asramanya masing-masing. Sebagai pengajarnya adalah santri senior. Secara tidak langsung, Kiai Hasyim mengajarkan cara berorganısası kepada para santrinya. Di antara kitab yang diajarkan adalah Tuhfah al Athfal untuk kelas satu, Al ‘Imritiy untuk kelas dua, Al Maqshud untuk kelas empat, Alfiyyah Ibnu Malik untuk kelas lima dan enam, Al Jauhar al-Maknun untuk kelas enam, dan lain-lain.

Dalam sehari, Kiai Hasyim makan dua kali, yaknı sarapan pagi dengan minuman kopi susu dan makan malam setelah mengajar. Rais Akbar NU ini jarang makan siang, kecuali untuk menemani tamu sebagai bentuk penghormatan.

Kiai Hasyim berusaha untuk mengisi waktu-waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat. Selepas shalat subuh, Kiai Hasyim membaca wirid yang cukup panjang, lalu dilanjutkan dengan membaca kitab hingga matahari terbit. Kitab yang biasanya dibaca adalah Al Tahrir dan Al Syifa’. Kemudian Kiai Hasyim menemui para pekerja atau tukang untuk memberikan petunjuk mengenai apa saja yang harus dikerjakan hari itu.

Selanjutnya Kiai Hasyim membacakan kitab untuk para santri senior hingga pukul 10.00. Kitab yang dibaca adalah Al-Muhadzdzab dan Al-Muwaththa. Pengajian ini dilaksanakan di depan rumah beliau karena banyaknya santri yang ikut. Setelah selesai mengaji, Kiai Hasyim memanfaatkan waktunya untuk menemui tamu jika ada tamu, muthala’ah (membaca kitab sendiri, belajar) atau menulis.

Terkadang Kiai Hasyim tidur siang sebelum shalat zhuhur. Habis shalat zhuhur, kembali Kiai Hasyim membacakan kitab hingga menjelang waktu shalat ashar. Lalu para pekerja atau tukang melaporkan pekerjaannya hari itu. Selesai mandi dan shalat ashar, Kiai Hasyim membacakan kitab Fath al-Qarib. Semua santri harus mengikutinya. Kitab fikih ini biasanya dikhatamkan selama setahun atau satu setengah tahun. Hal itu diulang- ulang terus, namun terasa tidak membosankan. Hingga akhir hayatnya, Kiai Hasyim masih istiqamah membaca kitab ini. Maka tidaklah mengherankan jika kitab Fath al- Qarib selalu dipelajari para santri pemula di hampir seluruh pesantren. Kemudian, selesai membaca kitab sambil menunggu datangnya maghrib, Kiat Hasyim melakukan muthala’ah lagi.

Waktu antara maghrib dan isya’ digunakan Kımı Hasyim untuk menemui para tamu, terutama para wali santri. Setelah jamaah shalat isya’, kembali Kiai Hasyim membacakan kitab. Kali ini kitab yang dibacanya adalah Ihya’ Ulum al-Din dan Tafsir Ibnu Katsir. Kegiatan ini diselesaikan hingga pukul 23.00, baru kemudian Kiai Hasyim makan malam atau makan yang kedua.

Dalam seminggu, pengajian Kiai Hasyim hanya libur pada hari Jumat dan Selasa. Dua hari tersebut digunakan Kiai Hasyim untuk memeriksa sawah atau berdagang ke pasar. Pada hari Jumat, Kiai Hasyim memperbanyak bacaan shalawat dan membaca al-Qur’an. Setelah shalat Jumat, Kai Hasyim membacakan kitab Tafsir al-Jalalain. Sehari-harinya jika ada waktu luang, Kiai Hasyim memanfaatkannya untuk membaca shalawat, terutama membaca kitab Dalail al-Khairat.

Seperti kiai pada umumnya, Kiai Hasyim mengimami shalat 5 waktu setiap harinya. Hanya saja ketika shalat subuh, Kiai Hasyim membaca satu juz untuk 2 rakaat. Karena bukan baligh atau penghafal al Qur’an, Kiai Hasyim membawa al-Qur’an untuk dibaca ketika shalat. Santri yang tidak kuat berjamaah di belakang Kiai Hasyim akan memilih shalat subuh berjamaah dengan temannya atau shalat sendirian.

Kiai Hasyim sangat memperhatikan shalat berjamaah. Pendiri Pesantren Tebuireng ini ingin selalu mengerjakan shalat secara berjamaah. Empat tahun sebelum wafatnya, Kiai Hasyim pernah diserang demam hebat. Meskipun begitu, Kiai Hasyim masih ingin berjamaah. Untuk berwudhu saja saat itu, Kiai Hasyim harus dipapah kedua putranya. Ketika Kiai Hasyim dianjurkan putranya agar shalat di rumah saja tanpa berjamaah, Kiai Hasyim menjawab, “Ketahuilah, hai anakku, api neraka itu lebih panas daripada demamku Ini.”

Ketika datang waktu shalat, Kiai Hasyım biasanya berkeliling pesantren untuk membangunkan para santri agar ikut shalat berjamaah. Kiai Hasyim berkeliling sambil membawa tongkat yang siap dilemparkan kepada santri yang malas bangun. Jika datang Kiai Hasyim dengan tongkatnya, para santri segera berhamburan lari ke kamar mandi. Terkadang ada santri yang berteriak “kashukehe…!”.

Kata-kata itu biasanya diucapkan penduduk jika ada serangan Jepang lewat pesawat capung. Maksud ucapan tersebut adalah perintah untuk tiarap. Mendengar ucapan ini yang meyerupakan Kiai Hasyim dengan bala tentara Jepang, Kiai Hasyim hanya tertawa. Kiai Hasyim juga bertindak sebagai khatib atau pembaca khutbah setiap shalat Jumat. Beliau termasuk kiai yang memperbolehkan khutbah dengan terjemahan- nya, tidak harus berbahasa Arab seluruhnya.

Secara langsung, Kiai Hasyim tidak pernah melarang kentongan, kayu berlubang berukuran besar yang biasanya menemani bedug. Namun, di Masjid Tebuireng hanya ada bedug dan klonengan. Bedug dibunyikan ketika akan dikumandangkan adzan, dan klonengan dibunyikan menjelang iqamat.

Setiap tanggal 15 Sya’ban, kegiatan di Pesantren Tebuireng telah libur karena waktunya akan digunakan Kiai Hasyim untuk membacakan kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Kiai Hasyim membaca 2 kitab ini secara bergantian tiap bulan Ramadhan yang dimulai pelaksanaannya sejak bulan Sya’ban. Banyak orang yang mondok di Pesantren Tebuireng pada bulan Ramadhan untuk mengikuti pengajian Kiai Hasyim ini. Yang menarik, dalam membacakan kitab hadis standar ini, Kiai Hasyim selalu menjelaskan sanad yang beliau punya dari gurunya, dari gurunya, dari gurunya, sampai Imam al- Bukhari. Bahkan, Kiai Hasyim menuliskan sanadnya hingga 3 papan tulis karena sangat panjang. Para santri harus menulis ulang karena dulu belum ada mesin fotokopi. Kiai Hasyim memiliki sanad tidak hanya kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim saja, namun sanad dua kitab inilah yang paling terkenal.

Pengajian kitab hadis ini berlangsung hampir non stop, dimulai dari habis shalat subuh sampai waktu zhuhur, lalu setelah shalat zhuhur sampai datang waktu ashar, lalu berhenti sampai isya’, kemudian mulai lagi setelah isya’ atau setelah tarawih sampai jam 12 malam. Karena waktunya sangat lama sehingga melelahkan, tak jarang santri-santri tertidur, sementara Kiai Hasyim dengan serius terus membaca kitab tersebut.

Kiat Hasyim membacakan kitab dengan duduk menghadap ke timur di dekat mimbar. Beliau duduk beralaskan kasur yang dilapisi kulit kambing atau sajadah kecil. Tidak ada minuman di depannya. Di belakangnya ada satu atau dua bantal yang biasanya dijadikan sandaran ketika merasa lelah atau kurang enak badan. Di sampingnya berjejer tumpukan kitab. Menurut Kiai Muchit, Kiai Hasyim tidak pernah mengajar di dalam kelas.

Pengasuh Pesantren Tebuireng ini membuka forum diskusı yang disebut Kelas Musyawarah. Kelas ini diikuti oleh santri-santri senior, yaitu mereka yang sebelumnya telah belajar di beberapa pesantren. Di kelas ini, para santri berdiskusi untuk memecahkan hukum suatu masalah yang berkembang dalam masyarakat. Hukum tersebut disimpulkan dari berbagai keterangan yang ada dalam kitab kuning. Jadi, setiap pendapat adalah hasil dari pembacaan dan pemahaman kitab tertentu, tidak hanya berlandaskan logika. Karena itu, para peserta yang ikut dalam kelas ini tentunya sudah memiliki wawasan yang cukup mengenai kitab kuning. Kiai Hasyim biasanya menjadi penengah untuk memberikan kesimpulan terakhir dengan mempertimbangkan pendapat dari para peserta diskusi. Barangkali Kelas Musyawarah yang dirintis oleh Kiai Hasyim ini adalah cikal bakal bahtsul masa’il yang menjadi ciri khas NU dan pesantren.

Kiai Hasyim juga membuka program khusus untuk para santri yang merupakan anak kiai. Mereka menempati asrama tersendiri dalam bentuk yang masih sederhana. Program ini merupakan bentuk tanggung jawab Kiai Hasyim terhadap para santri yang kelak diserahi orangtua mereka untuk mengelola pesantren. Karena mereka akan menjadi pengasuh pesantren, Kiai Hasyim merasa perlu memberikan pengajaran tersendiri. Ini bukanlah sikap pilih kasih kasih dari Kiai Hasyim, namun lebih sebagai pelaksanaan bentuk tanggung jawab.

Kiai Hasyim termasuk orang yang sabar dalam mendidik santri. Namun jika kenakalan santri dirasa berlebihan, beliau tidak segan-segan memukul santri dengan tongkatnya. Pernah, seperti dikatakan Kiai …

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *