Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. M. Hasyim Asy’ari (2/6)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

Namun ini tidak berarti Kiai Hasyim anti tarekat. Ini terbukti dari adanya murid Kiai Hasyim yang pernah menjadi mursyid tarekat. Mereka adalah Kiai Adlan Ali dan Kiai Mustain Ramli. Andaikan Kiai Hasyim benar-benar melarang ajaran tarekat, tentunya kedua kiai ini tidak akan bersedia menjadi mursyid.

Ada yang menginformasikan bahwa Kiai Hasyim sempat menjadi salah satu pengajar di Masjidil Haram. Jika informasi ini benar, itu menunjukkan kealiman Kiai Hasyim yang sudah diakui oleh para pelajar di Masjidil Haram. Padahal, orang-orang yang belajar di sana bukanlah orang yang awam akan ilmu agama, namun orang-orang yang memang ingin memperdalam ilmu agama. Dengan kata lain, orang-orang yang belajar di Masjidil Haram adalah orang-orang dalam kelompok menengah ke atas dalam pengetahuan agama.

Ada yang berpendapat bahwa Kiai Hasyim pernah belajar kepada Kiai Saleh Darat Semarang. Kiai Saleh adalah salah seorang kiai di tanah Jawa yang sangat produktif menulis pada akhir abad ke-19. Karya-karyanya lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, sesuai dengan para pengikut Kiai Saleh yang mayoritas adalah orang- orang Jawa. Ketika belajar kepada Kiai Saleh, Kiai Hasyim bersahabat akrab dengan Kiai Ahmad Dahlan, kiai asal Yogyakarta yang kelak mendirikan Muhammadiyah.

Selanjutnya keduanya juga pernah bersama-sama di tanah suci, tepatnya ketika belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama Mekkah asal Minangkabau Sumatra Barat. Syaikh Khatib Minangkabau ini mengharamkan tarekat karena menurutnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pendapat Syaikh Khatib Minangkabau ini tampaknya terus dilestarikan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah-nya. Seperti disebutkan sebelumnya, Kiai Hasyim lebih bersikap moderat. Kiai Hasyim tidak mengharamkan tarekat, namun melarang santri-santrinya mengamalkan tarekat karena dikuatirkan akan mengganggu dalam proses belajar. Kemoderetan Kiai Hasyim barangkali karena beliau juga belajar kepada Syaikh Mahfuzh al-Turmusi yang mengajarinya Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Syaikh Khatib Minangkabau, selain dikenal ahli fikih, juga dikenal ahli ilmu astronomi (ilmu falak), matematika dan aljabar. Tentunya Kiai Hasyim juga mempelajari ilmu-ilmu tersebut kepada ulama asal Sumatra Barat ini. Syaikh Khatib Minangkabau juga yang memperkenalkan Kiai Hasyim dengan Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh. Syaikh Khatib Minangkabau dalam beberapa hal, misalnya larangan tarekat, sependapat dengan Abduh yang dikenal sebagai seorang pembaharu. Namun Syaikh Khatib Minangkabau tidak sependapat dengan ulama asal Mesir ini dalam hal larangan bermadzhab. Meskipun begitu, Syaikh Syaikh Khatib Minangkabau memperbolehkan para muridnya jika ingin melanjutkan studinya ke Mesir.

Adapun di antara guru-guru Kiai Hasyim yang non Jawi (bukan dari Nusantara) antara lain adalah Syaikh Ahmad Amin al-Aththar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad Zawawi, Syaikh Ibrahim Arab, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Aththas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Husain al-Habsyi, Sayyid Abu Bakr Shata’ al- Dimyathi, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid ‘Abbas al-Maliki, Sayyid Abdullah al- Zawawi, Syaikh Shalih Bafadlal, dan Syaikh Sultan Hashim Dagistani.

Meskipun Kiai Hasyim adalah pimpinan NU, organisasi yang digolongkan oleh para peneliti sebagai ‘organisasi Muslim tradisional’, namun wawasannya tidak bisa dianggap sempit. Kiai Hasyim memiliki koleksi bacaan yang beraneka ragam. Menurut Martin van Bruinessen, seorang peneliti asal Belanda, Kiai Hasyim juga mengoleksi karya-karya Muhammad Abduh. Padahal, biasanya karya Abduh adalah salah satu di antara kitab-kitab yang tidak boleh dibaca karena ‘membahayakan’. Di tak jarang dunia pemikiran Islam, Abduh dikenal sebagai tokoh modernis yang pemikiran-pemikirannya tak berseberangan dengan ajaran NU, misalnya anjuran untuk meninggalkan taqlid atau bermadzhab. Di sisi lain, Abduh juga dikenal sebagai tokoh pembaharu yang menganjurkan umat Islam untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berkembang di Barat. Karena, bagaimanapun juga, saat ini Barat adalah yang memegang kendali peradaban dunia sehingga memiliki banyak memiliki ilmu pengetahuan yang sangat penting. Larangan membaca karya Abduh mungkin hanya berlaku untuk para santri junior, bukan untuk para santri senior. Kiai Hasyim kembali ke tanah air tahun 1899 atau 1900 M.

MEMBANGUN RUMAH TANGGA

Konon selama hidupnya, Kiai Hasyim menikah sebanyak 7 kali. Semua istri Kiai Hasyim adalah putri kiai. Hal itu menunjukkan kedekatan Kiai Hasyim dengan para kiai serta pengakuan atas kealiman beliau di mata para kiai. Istri pertamanya adalah Nyai Khadijah, sebagaimana disebutkan sebelumnya, yaitu putri Kiai Ya’kub dari Pesantren Panji Siwalan Sidoarjo. Berikutnya adalah Nyai Nafisah (ada yang menyebut Khadijah), putri Kiai Romli dari Kemuring (ada yang menyebut Karangkates) Kediri. Istri ketiganya adalah Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas dari Pesantren Sewulan Madiun. Selanjutnya adalah Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan dari Pesantren Kapurejo Pagu Kediri. Saat ini jalan di Pesantren Kapurejo menggunakan nama Jalan KH. Hasyim Asy’ari. Penamaan jalan ini barangkali karena adanya hubungan emosional masyarakat setempat dengan Kiai Hasyim, yakni istri Kiai Hasyim berasal dari kampung tersebut. Istri lainnya bernama Nyai Amini dan seorang lagi yang penulis tidak memperoleh informasi namanya.

Dari 7 kali menikah, hanya 3 istri yang memberikan keturunan kepada Kiai Hasyim, yaitu Nyai Nafisah binti Kiai Ya’kub, Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas dan Nyai Masruroh binti Kiai Hasan. Dari pernikahannya dengan Nyai Nafisah, Kiai Hasyim dikaruniai seorang anak bernama Abdullah. Yang paling banyak memberi keturunan adalah Nyai Nafiqoh, yaitu 10 orang. Mereka adalah Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid (ayah Gus Dur atau KH. A. Wahid Hasyim), Abdul Hafizh (dikenal dengan nama KH. Abdul Choliq Hasyim), Abdul Karim (dikenal dengan nama Akarhanaf atau KH. Abdul Karim Hasyim), Ubaidillah, Masruroh, dan M. Yusuf (dikenal dengan sebutan Pak Ud atau KH. Yusuf Hasyim). Dan pernikahan Kiai Hasyim dengan Nyai Masruroh membuahkan 4 orang anak, yaitu Abdul Qodir, Chodidjah (ibu Gus Ishom atau KH. Ishom Hadzik) dan Moh. Ya’qub.

Jadi, anak kandung Kiai Hasyim ada 15 orang. Selain itu, Kiai Hasyim juga mempunyai 5 orang anak tiri. Empat di antara mereka adalah Syarofah, Ali, Nafisah, dan Ulyatun. Mereka adalah anak istri Kiai Hasyim yang bernama Nyai Amini. Sebelum menikah dengan Kiai Hasyim, Nyai Amini telah menikah dengan adik keenam Kiai Hasyim yang bernama Ma’shum. Nah, Ma’shum ini wafat dengan meninggalkan 4 orang anak. Lalu karena merasa kasihan dengan anak-anak tersebut yang masih kecil, Kiai Hasyim menikahi janda adiknya, Nyai Amini. Dan seorang anak tiri Kiai Hasyim berasal dari istrinya yang bernama Nyai Masruroh dari Pesantren Kapurejo Kediri. Sebelum menikah dengan Kiai Hasyim, Nyai Masruroh telah menikah dua kali yang berakhir dengan perceraian. Suami pertamanya adalah seorang sayyid dari Bani Dahlan dan suami keduanya adalah Syaikh Ihsan al-Jamfası dari Pesantren Jampes Kediri, penulis kitab Siraj al-Thalibin. Dari pernikahan dengan Syaikh Ihsan, Nyai Masruroh tidak dikaruniai anak.

MENDIRIKAN PESANTREN TEBUIRENG

Tahun 1899 atau 1900 M Kiai Hasyim pulang ke tanah air setelah 7 tahun belajar di tanah suci. Kiai Hasyim mengawali karier mengajarnya dengan menjadi guru di pesantren kakek maupun pesantren ayahnya, yaitu Pesantren Gedang dan Pesantren Keras. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim pindah ke daerah Plemahan Kediri, tempat mertuanya. Kiai Hasyim mencoba mendirikan pesantren di tempat tersebut, namun tampaknya kurang berhasil. Akan tetapi, beliau tidak menyerah dengan kegagalannya tersebut. Kali ini Kiai Hasyim berniat mendirikan pesantren di Desa Tebuireng, kira-kira 2 km arah selatan dari pesantren ayahnya. Pesantren Tebuireng terletak di sebelah tenggara kota Jombang sekitar 8 km. Hanya beberapa puluh meter sebelah selatan kawasan pesantren terdapat Pabrik Gula Tjoekir (Cukir). Pabrik ini di bangun oleh pemerintah Belanda tahun 1853. Ketika itu pabrik gula adalah simbol kemajuan teknologi Barat. Tentunya pabrik ini menyerap tenaga kerja dari penduduk pribumi. Para buruh tersebut, karena tidak terbiasa menerima gaji tetap, mengalami keterkejutan budaya (cultural shock). Sehingga, mereka menghabiskan gajinya untuk hura-hura atau berfoya-foya, seperti berjudi atau minum-minuman keras. Dengan kata lain, kehadiran pabrik gula di samping meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, juga merosak moral mereka. Hal yang demikian inilah tampaknya yang menjadi alasan Kiai Hasyim memilih kawasan Tebuireng untuk pesantren yang didirikannya. Kiai Hasyim ingin memperbaiki moral dan perilaku masyarakat setempat.

Awalnya Kiai Hasyim ‘meminjam’ 8 santri dari ayahnya. Mereka bertugas membantu Kiai Hasyim untuk mendirikan pesantren. Hal seperti ini adalah sesuatu yang biasa terjadi di lingkungan pesantren. Restu dari sang ayah untuk meminjamkan santri juga menunjukkan bahwa Kiai Asy’ari, ayah Kiai Hasyim, telah mengakui kealiman anaknya sehingga sangat didukung untuk mendirikan pesantren tersendiri. Dan ternyata masyarakat cukup antusias dengan kehadiran pesantren yang berdekatan dengan pabrik gula tersebut. Dalam tempo tiga bulan, Kiai Hasyim memiliki 80 santri, jumlah yang tidak bisa dianggap kecil. Dan yang pasti, saat itu belum ada brosur, pamflet atau sarana iklan lainnya untuk mempromosikan sebuah lembaga pendidikan. Jadi, para santri yang belajar kepada Kiai Hasyim adalah murni karena keinginan sendiri atau mendengar mengenai kealiman Kiai Hasyim, bukan karena janji-janji yang tempampang di brosur, pamflet atau sarana iklan lainnya.

Ketika itu bentuk bangunan pesantren sangat sederhana. Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari dalang (pemimpin dalam kesenian wayang) setempat. Lalu didirikanlah bangunan sederhana yang terbuat dari bambu. Bangunan pesantren ini berukuran sekitar 10 meter. Bangunan ini dibagi menjadi dua: sebagian untuk tempat tinggal Kiai Hasyim beserta keluarga, dan sebagian lagi untuk tempat tinggal para santri. Mereka tidur, belajar dan melaksanakan shalat di tempat yang sederhana ini. Sedikit demi sedikit akhirnya pesantren tersebut semakin besar dengan jumlah santri yang semakin bertambah. Kiai Hasyim rupanya mempunyai kecintaan yang besar terhadap pesantren yang didirikannya. Menjelang wafat tahun 1947, Kiai Hasyim mewakafkan 2 hektar tanah dan 7 hektar area persawahan untuk pesantrennya. Sehingga, Pesantren Tebuireng memiliki lahan yang cukup luas.

Pesantren Tebuireng terdaftar di pemerintahan Belanda tanggal 6 Februari 1906. Ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim adalah orang yang juga mengetahui administrasi. Beliau tidak ingin pesantrennya masuk kategori ‘pesantren liar’ karena tak terdaftar di pemerintahan.

Saat itu Tebuireng adalah pesantren paling terkenal pada awal abad ke-20. Kepopulerannya tidak dapat dilepaskan dari kepribadian sang pengasuh sekaligus pendirinya, Kiai Hasyim. Pemerintah Jepang tahun 1942, sebagaimana dituturkan KH. Salahuddin Wahid dalam salah satu tulisannya, pernah mendata para kiai (tokoh Islam) di Jawa. Hasilnya, ada sekitar 25.000 kiai yang rata- rata pernah mondok di Pesantren Tebuireng! Ini menunjukkan betapa besar pengaruh Pesantren Tebuireng. Maka, tidaklah mengherankan jika para kiai menyebut Kiai Hasyim dengan sebutan “Hadratusy Syaikh” yang artinya “Tuang Guru Besar”.

Pada masa pendudukan Jepang, sebagaimana dituturkan KH. A. Muchit Muzadi dalam wawancara yang

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *