(lanjutan)
seekor sapi untuk 8 orang, yaitu dia, istrinya dan 6 anaknya. Katanya, sapinya sangat gemuk sehingga kuat andaikan dinaiki 8 orang. Orang ini beralasan demikian karena binatang kurban diyakini akan memperingan siksa di akhirat dan kelak akan menjadi kendaraan menuju surga. Nah, ‘kendaraan’ ini dipahami sebagai sesuatu yang dapat dinaiki. Lalu apa jawab Kiai Bisri?
“Tidak boleh. Sampeyan ini buat hukum sendiri. Sapi itu untuk kurban 7 orang! Kalau untuk 8 orang, harus ditambah seekor kambing,” kata Kiai Bisri. Lalu, laki-laki tersebut segera ke Tambakberas untuk menemui Kiai Wahab. Dia ceritakan keinginannya kurban seekor sapi untuk 8 orang. Kiai Wahab diam tidak langsung melarang.
“Anak Sampeyan yang paling kecil berumur berapa?” tanya Kiai Wahab.
“Masih kecil, Kiai. Masih balita,” jawab laki-lakı tersebut.
“Nah, itu masalahnya. Dia kan masih kecil, tidak bisa naik sendiri. Sampeyan tambahkan seekor kambing sebagai tangga anak yang masih balıta,” kata Kiai Wahab.
“Baik, Kiai,” kata tamu tersebut.
Akhirnya laki-laki tersebut kurban seekor sapi dan seekor kambing untuk 8 orang. Sebenarnya sama jawaban atau perintah Kiai Bisri dan Kiai Wahab, hanya penyampaiannya yang berbeda. Kiai Bisri menyuruh menambahkan seekor kambing dengan alasan sapi hanya untuk kurban 7 orang. Sedangkan Kiai Wahab ‘membolehkan’ kurban seekor sapi untuk 8 orang, sesuai keinginan pemilik sapi, tapi harus ditambah dengan seekor sapi sebagai ‘tangga’ anak balita laki-laki tersebut.
Di sini terlihat bagaimana perbedaan Kiai Bisri dan Kiai Wahab dalam memecahkan persoalan. Kiai Bisri bersandar kuat pada aturan kitab kuning atau fikih, sedangkan Kiai Wahab lebih lunak’ tanpa melanggar kitab kuning. Jika keduanya sedang dalam perjalanan, Kiai Bisri tidak mau makan di warung pinggir jalan. Ketika ditanya Kiai Wahab, Kiai Bisri menjawab,” Itu merusak muru’ah (harga diri). Makan kok di pinggir jalan.”
Namun Kiai Wahab merasa tidak ada masalah makan di warung pinggir jalan. Kiai Wahab akan makan di warung pinggir jalan jika sedang lapar, namun dia tak lupa membelikan bungkusan nasi untuk adik iparnya, Kiai Bisri. Kiai Bisri pun menerimanya, lalu makan dalam mobil yang sedang berjalan. Lalu Kiai Wahab berkomentar, “Itu merusak muru’ah. Makan kok sambil jalan.”
Kiai Bisri hanya diam mendengar sindiran kakak ipar sekaligus sahabat karibnya ini.
Kedua kiai besar ini hampir selalu berbeda pendapat dalam menentukan suatu hukum. Ini terlihat dalam kegiatan bahtsul masa’il yang menghadirkan keduanya. Jika keduanya sedang berdebat, para peserta lain hanya diam, menonton ‘dua macan yang sedang berkelahi’. Tak jarang keduanya harus menggebrak meja untuk meyakinkan pendapatnya benar dan pendapat lawan bicaranya tidak benar.
Pernah kegiatan bahtsul masa’il ini dihentikan sebentar karena tiba waktu shalat zhuhur. Lalu kedua kiai ini menuju masjid untuk melaksanakan shalat. Sebagai orang yang paling dihormati di NU, mereka dipersilakan mengimami shalat. Anehnya, meskipun beberapa saat sebelumnya keduanya terlibat diskusi yang panas dan saling menyalahkan, masing-masing tidak mau menjadi imam alias ingin menjadi makmum. Maka, Kiai Wahab akhirnya yang maju ke depan karena dia adalah Rais ‘Am Syuriah PBNU dan merupakan kakak ipar Kiai Bisri.
Di sini sebenarnya terlihat bagaimana keduanya saling menghormati dan sebenarnya mengakui pihak lain adalah orang yang alim. Kiai Bisri mengakui Kiai Wahab adalah orang alim, dan Kiai Wahab juga mengakui Kiai Bisri adalah orang alim. Hanya perbedaan cara pandang menyikapi persoalan yang terkadang membuat keduanya berbeda pendapat. Perbedaan keduanya yang paling menyolok adalah saat Presiden Soekarno menawari NU masuk parlemen. Ketika itu presiden pertama RI ini mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya adalah pembubaran parlemen hasil pemilu 1955. Lalu Soekarno membentuk parlemen sesuai dengan keinginannya. Nah, NU sebagai salah satu partai besar mendapat tawaran ini dari sang proklamator. Ada perbedaan pendapat antara Kiai Bisri dan Kiai Wahab dalam menanggapi tawaran Soekarno ini.
Dengan tegas, Kiai Bisri menolak tawaran tersebut. Jika NU tetap masuk parlemen, menurut Kiai Bisri, itu namanya ghasab, mengambil haknya orang lain. Anggota parlemen harus sesuai perolehan suara dalam pemilu, bukan sesuai keinginan presiden. Jawaban menunjukkan kehati-hatian dan bagaimana kuatnya Kiai ini Bisri bersandar kepada kitab kuning. Lalu bagaimana dengan Kiai Wahab? Pengasuh Pesantren Tambak beras ini setuju jika NU, masuk ke dalam parlemen. Dengan kata lain, NU menerima tawaran Soekarno. Alasannya, NU adalah satu- satunya partai Islam yang diperhitungkan. Masyumi sudah dibubarkan, sedangkan partai lainnya adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kita harus memanfaatkan peluang yang ada meskipun tidak terlalu besar atau tidak maksimal. Begitu alasan Kiai Wahab. Pendapat Kiai Wahab ini berdasarkan salah satu kaidah fikih yang berbunyi: maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu yang artinya ‘sesuatu yang tidak dapat diperoleh seluruhannya tidak harus ditinggalkan seluruhnya’. Dan pendapat Kiai Wahab inilah akhirnya yang diambil oleh NU.
Itulah beberapa perbedaan antara kedua tokoh NU, dua orang yang pernah menjadi Rais Am Syuriyah PBNU, dua orang yang meneruskan perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari, dan dua orang yang termasuk pendiri NU.
MENGHADAP SANG KHALIQ
Kiai Bisri bercita-cita ingin menghadap Sang Pencipta di tanah suci Mekkah atau Madinah pada hari Jumat. Pendiri Pesantren Denanyar ini sering menunaikan ibadah haji karena berharap dapat meninggal di sana. Namun keinginan itu ternyata tidak dikabulkan oleh Allah. Pada bulan Februari tahun 1980 Kiai Bisri masuk Rumah Sakit Islam Surabaya karena ginjalnya tidak berfungsi sebab usianya yang südah lanjut. Salah satu pendiri NU ini menderita penyempitan pembuluh darah akibat perkapuran. Ketika hari ke-19 di rumah sakit, pada malam Jumat, Kiai Bisri ngotot ingin pulang ke Denanyar.
Kiai Bisri berharap besoknya, hari Jumat, dapat meninggal di rumah. Namun ternyata Kiai Bisri belum dipanggil Sang Pencipta. Setelah di rumah, Kiai Bisri tidak lagi ingin dirawat dı rumah sakit. Pernah Presiden Soeharto, melalui adik tirinya, H. Probosutedjo, menawari Kiai Bisri agar dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta atau di Singapura yang peralatannya lebih canggih. Tawaran tersebut ditolak Kıai Bisri. Rais Am Syuriyah PBNU ını mendapat perawatan 2 kali seminggu dari seorang dokter dari Surabaya bernama dr. Hasan dan dr. Soemarsono, kepala Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Surabaya.
Pada tanggal 23 April 1980 Kiaı Bisri tak sadarkan diri setelah melaksanakan shalat maghrib. Usaha yang dilakukan para dokter dari RSUD Jombang yang dipimpin dr. Soemarsono tidak banyak membuahkan hasil. Dua hari kemudian, hari Jumat 25 April 1980 bertepatan dengan 19 Jumadil Akhir 1400, Kiai Bisri dipanggil Sang Pencipta. Keinginan Kiai Bisri agar wafat pada hari Jumat ternyata dikabulkan oleh Allah.
TVRI dan RRI segera memberitakan wafatnya orang nomor satu di NU ini. Berduyun-duyun ribuan orang membanjiri Pesantren Denanyar. Malam itu juga jenazah Kiai Bisri dimandikan. Upacara pemandian dilakukan oleh KH. Manshur Anwar (pengasuh Pesantren Paculgowang Jombang), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur, yang merupakan cucu Kiai Bisri), dan H. A. Hafizh Achmad. Dan yang menyiramkan air adalah KH. Adlan Ali, H.M. Iskandar (ayah Muhaimin Iskandar), Ustadz Jamaluddin, KH. Aziz Masyhuri, Nyai Sholihah (putri Kiai Bisri atau ibunda Gus Dur), Nyai Musyarófah (putri Kiai Bisri), KH. M. Yusuf Hasyim (putra Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng), KH. M. Wahib Wahab (putra Kiai Wahab yang pernah menjadi Menteri Agama era Orde Lama), dan lain-lain.
Pada hari Sabtu Pesantren Denanyar menjadi lautan manusia. Umat Islam, khususnya warga nahdliyyin, ingin memberi penghormatan terakhir kepada Kiai Bisri. Sudah 32 kali shalat jenazah dilakukan di kediaman Kiai Bisri. Karena rumah Kiai Bisri tidak begitu luas padahal masih banyak yang ingin menyolati Kiai Bisri, maka pelaksanaan shalat jenazah dipindahkan ke masjid. Shalat jenazah terakhir diimami oleh KH. Imam Zarkasyi, pengasuh Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Sekedar diketahui, Kiai Zarkasyi sangat menghormati Kiai Bisri, bahkan selalu mampir sowan ke Denanyar setiap kali pergi ke Surabaya.
Yang memberi sambutan dalam upaca pemakaman Kiai Bisri adalah KH. Abdurrahwan Wahid mewakili keluarga, Prof. KH. Anwar Musaddad atas nama PBNU, Prof. Dr. Hamka mewakili MUI, H. Nuddin Lubis atas nama PPP, KH. Masykur mewakili DPR RI, H. Alamsyah Ratu Prawiranegara Menteri Agama RI atas nama Presiden Soeharto, KH. Mahrus Aly Lirboyo Kediri mewakili PWNU Jawa Timur, dan Dr. KH. Idham Cholid (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU) yang datang terlambat. Kemudian dilakukan sekali lagi shalat jenazah di dekat makam oleh pentaʼziyah yang terlambat, seperti KH. Idham Cholid, Prof. KH. Saifuddin Zuhri, dan lain-lain. Selain tokoh-tokoh tersebut, upacara pemakaman ini juga dihadiri Prof. KH. Ali Yafie, Prof. Dr. KH. Tholhah Mansoer SH, KH. Abdullah Shiddiq, Dr. M.J. Naro (tokoh PPP), dan lain-lain. Turut hadir juga Prof. Dr. Mitsuo Nakamura, seorang peneliti NU asal Jepang.
Jenazah Kiai Bisri dimakamkan di Denanyar, Jombang. Beliau meninggal dalam usia 94 tahun. Ditinggal Kiai Bisri, posisi sebagai Rais Am Syuriyah PBNU sementara ditempati Prof. KH. Anwar Musaddad yang sebelumnya menjadi Wakil Rais Am Syuriyah PBNU.