Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. M. Bisri Syansuri (2/3)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

MENDIRIKAN PESANTREN DENANYAR

Di Pesantren Tambakberas, Kiai Bisri membantu mertuanya, Kiai Hasbullah, mengajar para santri Kiai Bisri juga bertani untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Kiai Hasbullah juga memperhatikan menantunya ini dalam soal pendidikan dan pertanian. Menurut pengamatannya, menantunya ini telah pantas mendirikan pesantren sendiri dan sudah mampu membuka lahan sendiri untuk bercocok tanam. Maka, Kiai Hasbullah memberi tanah kepada menantunya ini di wilayah Denanyar, tidak jauh dari Tambakberas. Kiai Bisri dan istrinya hanya 2 tahun tinggal di Tambakberas.

Di wilayah Denanyar yang ada di pinggiran kota Jombang, Kiai Bisri mendirikan pesantren baru yang dinamakannya Manbaul Ma’arif yang artinya adalah ‘sumber pengetahuan’. Pesantren ini resmi berdiri tahun 1917 Kiai Bisri mendapat restu dari mertuanya, Kiai Hasbullah, dan guru yang paling dihormatinya, Kiai Hasyim Tebuireng.

Seperti pesantren pada umumnya, Pesantren Denanyar hanya menerima santri putra. Para santri dipersiapkan sebagai kader yang akan meneruskan perjuangan para ulama menegakkan agama Islam di negeri ini. Awalnya Kiai Bisri hanya mempunyai 4 murid. Mereka berasal dari kampung sekitar Denanyar. Tempat tinggal santri Kiai Bisri adalah di mushalla yang disekat menjadi bilik atau kamar. Cara mengajarnya pun hanya menggunakan sistem sorogan, yakni setiap santri maju satu per satu membaca kitab di depan Kiai Bisri yang menyimak dan membetulkan jika ada kesalahan.

Namun dalam perkembangannya, pada tahun 1919 Kiai Bisri juga mendirikan pesantren putri. Ini adalah langkah Kiai Bisri yang sangat berani mengingat saat itu belum ada pesantren putri dan Kiai Bisri sendiri dikenal sebagai orang yang sangat hati-hati dalam melangkah., Yang menarik, Kiai Bisri langsung saja mendirikan pesantren putri tanpa meminta restu terlebih dahulu kepada Kiai Hasyim, guru yang paling dia hormati. Tidak adanya larangan secara langsung dari Kiai Hasyim membuat Kiai Bisri berani melangkah tanpa izin terlebih dahulu.

Suatu ketika Kiai Hasyim berkunjung ke Denanyar dan melihat-lihat kegiatan para santri. Kiai Hasyim tidak melarang adanya kaum Hawa yang belajar di pesantren. Maka Kiai Bisri semakin mantap untuk mengembangkan pesantren putri yang didirikannya ini. Tahun 1923 Kiai Bisri membangun madrasah yang diperuntukkan untuk santri putra. Madrasah ini diberi nama Madrasah Mabadi’ul Huda. Jenjang pendidikannya ditempuh selama 6 tahun. Adapun para santri putri tetap mengaji seperti semula. Baru tahun 1930 Kiai Bisri membangun madrasah khusus untuk santri putri. Lama pendidikannya lebih pendek, yakni 4 tahun. Kiai Bisri tak mempedulikan cemoohan orang-orang tentang keberadaan pesantren dan madrasah untuk kaum Hawa ini.

Pesantren Denanyar terus mengalami perkembangan, baik jumlah santrinya maupun kualitas lembaga pendidikannya. Di saat Jepang menginjakkan kakinya di negeri ini, kegiatan di pesantren ini sempat berhenti selama setengah tahun akibat kondisi keamanan yang kurang terjamin. Pesantren ini kembali ditutup selama setahun ketika Belanda melangsungkan agresi militernya yang kedua. Kegiatan di pesantren ini berhenti karena keluarga maupun santri Pesantren Denanyar bahu-membahu berjuang mempertahankan negeri ini dari rongrongan penjajah. Setelah keadaan aman, kegiatan belajar-mengajar kembali dilaksanakan.

Dalam pengelolaan pesantren, Kiai Bisri dibantu oleh Kiai Ahmad Bisri. Dalam masa kemerdekaan, beberapa pesantren yang tadinya salaf murni, hanya mengajarkan kitab kuning, mulai memperkenalkan pendidikan modern, tidak hanya mengajarkan kitab kuning. Tak terkecuali ini juga berlaku di Pesantren Denanyar. Di pesantren ini mulai didirikan lembaga pendidikan formal. Tahun 1956 dibuka Madrasah Tsanawiyah (MTS) yang pelajarannya setingkat dengan SMP. Dua tahun kemudian, 1959, dibuka MTs khusus untuk santri putri. Lalu tahun 1962 dibuka Madrasah Aliyah (MA) baik untuk putra maupun putri yang pelajarannya setingkat dengan SMA. Tahun 1969, kedua madrasah ini, MTs dan MA, berubah statusnya dari swasta menjadi negeri. Hubungan Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama) dan Pesantren Denanyar semakin erat.

Pada tahun 1960-an mulai berdiri perguruan tinggi di lingkungan pesantren. Ketika itu Pesantren Tebuireng membuka Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) yang sekarang menjadi Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (Ikaha). Nah, tahun 1973 di Pesantren Denanyar dibuka Fakultas Ushuluddin Unhasy. Namun sejak tahun 1979, Fakultas Ushuluddin diganti dengan Fakultas Tarbiyah.

MENDIRIKAN DAN BERKHIDMAH KEPADA NAHDLATUL ULAMA

Peran serta Kiai Bisri terhadap NU, organisasi para kiai ini, tidak perlu diragukan lagi. Kiai Bisri adalah Rais Am Syuriyah PBNU yang paling banyak mengikuti muktamar, yakni darı muktamar pertama hingga muktamar ke-26 tahun 1979, setahun sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Kiai Bisri juga hadir dalam rapat pendirian organisasi ini di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Kemantapan Kiai Bisri bergabung dengan NU adalah karena ada dua tokoh dalam organisasi ini, Kiai Hasyim dan Kiai Wahab. Kiai Hasyim adalah guru yang sangat dihormatinya, dan Kiai Wahab adalah kakak ipar sekaligus sahabat akrabnya yang telah dikenal sejak belajar di Bangkalan, lalu bersama-sama belajar di Tebuireng dan di Mekkah. Kiai Bisri tahu benar siapakah Kiai Wahab, termasuk bagaimana kakak iparnya ini mendirikan SI cabang Mekkah meskipun Kiai Bısri tidak bergabung.

Kiai Bisri diajak Kiai Wahab untuk berkeliling di Jawa dan Madura untuk menemui sejumlah kiai agar menghadiri atau menyetujui didirikannya NU pada tanggal 31 Januari 1926. Pada awal berdirinya organisasi ini, Kiai Bisri menjabat sebagai anggota rais syuriyah yang dipimpin Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar (sebelum namanya diganti dengan Rais Am). Kiai Bisri terus aktif dalam organisasi ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Bisri penah menjadi kepala staf Markas Ulama Jawa Timur (Markas Oelama Djawa Timoer/MODT) yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya. Namun lembaga ini akhirnya dibubarkan setelah TNI dijadikan satu-satuunya angkatan bersenjata yang bertanggung jawab atas keamanan negara. Pada tahun 1947-1949 Kiai Bisri dipercaya sebagai ketua markas pertempuran barisan Hizbullah Sabilillah. Ada peristiwa menarik pada tahun 1967 ketika diselenggarakan muktamar NU di Bandung, Jawa Barat.

Seperti diketahui, sejak wafatnya Kiai Hasyim tahun 1947, Kiai Wahab diangkat sebagai Rais Am Syuriyah PBNU. Namun karena Kiai Wahab sudah sangat tua dan penglihatannya mulai berkurang (lamur dalam bahasa Jawa), para peserta muktamar sepakat menetapkan Kiai Bisri sebagai Rais Am Syuriyah PBNU menggantikan Kiai Wahab. Akan tetapi, Kiai Bisri segera ke podium dan mengumumkan tidak bersedia menjadi Rais Am Syuriyah PBNU selagi kakak iparnya ini masih hidup. Kiai Bisri hanya bersedia menjadi Wakil Rais Am Syuriyah PBNU. Maka, Kiai Wahab akhirnya tetap sebagai Rais Am Syuriyah PBNU dan Kiai Bisri sebagai wakilnya.

Kiai Wahab sebenarnya lebih muda 2 tahun darı Kiai Bisri, namun kesehatannya memburuk karena dimakan usia. Kiai Wahab meninggal tahun 1971, lalu jabatannya di NU diteruskan oleh adik iparnya, Kiai Bisri. Pada tahun 1971, Kiai Bisri juga dipercaya sebagai Rais Am Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat itu PPP merupakan satu-satunya partai Islam sebagai hasil fusi dari NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Lambangnya adalah gambar Ka’bah, lalu tahun 1985 (setelah Kiai Bisri wafat) lambangnya diganti dengan gambar bintang, dan sejak Era Reformasi tahun 1998 kembali digunakan gambar Ka’bah sebagai lambang. Lambang Ka’bah awalnya adalah hasil istikharah para ulama, termasuk Kiai Bisri.

PERBEDAAN KIAI BISRI DAN KIAI WAHAB

Seperti disebutkan sebelumnya, Kiai Bisri dan Kiai Wahab adalah sahabat akrab sejak belajar di Bangkalan, lalu di Tebuireng dan di Mekkah. Hubungan mereka semakin erat karena Kiai Wahab menjodohkan adiknya dengan Kiai Bisri. Namun sebenarnya ada perbedaan larakter antara Kiai Bisri dan Kiai Wahab. Perbedaan ini terus mereka bawa hingga keduanya sama-sama menjadi kiai besar.

Kiai Bisri adalah orang yang sangat hati-hati dalam melangkah atau mengambil keputusan. Dia dikenal sangat berpegang erat kepada kitab kuning atau fikih dalam tindakannya. Itu pula alasannya mengapa Kiai Bisri tidak bergabung ke dalam SI cabang Mekkah ketika Kiai Wahab beserta para kiai lainnya sedang bencar-gencarnya mendirikan cabang SI di tanah suci. Ada kesan Kiai Bisri sangat tekstual dalam memahami kitab kuning. Bahkan, Gus Dur pernah menulis biografinya dengan judul “KH. Bisri Syansuri: Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat”.

Adapun Kiai Wahab terkenal sebagai kiai yang enerjik, penuh gagasan-gagasan besar, atau dapat disebut sebagai aktifis di kalangan mahasiswa sekarang. Kiai Wahab memiliki pergaulan yang luas, berkenalan dengan orang-orang pergerakan dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada banyak aneknot tentang perbedaan kedua tokoh NU ini yang biasanya diceritakan para muballigh di kampung-kampung. Yang paling sering diceritakan adalah cerita tentang kurban sapi.

Konon suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Kiai Bisri. Laki-laki ini menceritakan keinginannya kurban ..

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *