Rais Am Syuriyah PBNU ke-3
KH. M. BISRI SYANSURI
KH. M. Bisri Syansuri adalah Rais Am Syuriyah PBNU terakhir yang merupakan pendiri NU. Dia adalah orang paling sering mengikuti muktamar NU, yaitu 26 kali Kiai Bisri dikenal sebagai kiai yang sangat berpegang kuat pada aturan-aturan kitab kuning atau fikih, hingga Gus Dur pernah menulis biografinya dengan judul “KH. Bisri Syansuri: Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat”.
ASAL-USUL KELUARGA
Kiai Bisri lebih dikenal orang sebagai kiai asal Jombang, Jawa Timur, karena dia adalah pendiri dan pengasuh Pesantren Denanyar Jombang. Padahal, Kisi Bisri sebenarnya berasal dari Jawa Tengah, tepatnya Kabupaten Pati, Kecamatan Tayu. Kiai Bisri lahir di Tayu pada tanggal 18 September 1986 yang bertepatan dengan 28 Dzulhijjah 1304. Kiai Bisri adalah anak ke-3 darı 5 bersaudara. Ayahnya bernama Syansuri bin Abdush Shamad dan ibunya bernama Mariah. Kedua kakaknya bernama Mas’ud dan Sumiati, dan kedua adiknya bernama Muhdi dan Syafi’antin.
Ibu Kiai Bisri, Mariah, berasal dari Lasem, Rembang. Keluarga besar Mariah ini yang menurunkan para kiai besar di Lasem, seperti KH. Khalil Lasem (w. 1946), KH. Baidhawi Lasem (w. 1970), dan lain-lain. Kin Bisri masih saudara sepupu dengan KH. Mahfudh Salam (ayah Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudh) dan KH. Abdullah Salam (paman Kai Sahal) dari Kajen, Pati.
MENUNTUT ILMU
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang dikenal saat itu. Maka, Kiai Bisri menghabiskan masa remajanya untuk belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Menginjak umur 7 tahun, Kiai Bisri belajar kepada KH. Sholeh Tayu. Yang dipelajari Kiai Bisri adalah cara membaca al-Qur’an. Memang anak seusia itu biasanya belajar membaca al-Qur’an sebagaimana kita saksikan sekarang di TPQ atau TPA yang menjamur di sekitar kita. Dua tahun lamanya Kini Bisri belajar kepada Kiai Sholeh. Selanjutnya ketika berumur 9 tahun, Kiai Bisri belajar kepada KH. Abdus Salam (kakek Kiai Sahal) di Kajen Pati. Kiat Abdus Salam selain dikenal hafal al-Qur’an, juga menguasai kitab kuning secara mendalam.
Kepada Kiai Abdus Salam, Kiai Bisri mempelajari nahwu, sharaf, tashawuf, hadis, tafsir, dan lain-lain. Kemampuan Kiai Abdus Salam dalam penguasaan kitab kuning, terutama bidang fikih, kelak berpengaruh besar kepada kepribadian Kiai Bisri yang dikenal sangat berpegang kuat dengan fikih atau teks-teks kitab kuning. Kiai Bisri belajar di Kajen selama 6 tahun. Setelah merasa cukup belajar di wilayah Pati, Kiai Bisri ingin belajar di pesantren luar kota. Dengan izin dari kedua orangtuanya, Kiai Bisri belajar kepada KH. Khalil Kasingan Rembang (w. 1939) dan KH. Syu’aib Sarang, Rembang. Tidak lama Kiai Bisri berguru kepada kedua ulama asal pantai utara tersebut. Lalu Kiai Bisri melangkahkah kakinya ke arah timur menuju pulau garam Madura. Kini Bisri belajar kepada Syaikhona KH. M. Khalil Bangkalan, kiai yang paling terkenal dan kharismatik pada abad ke-19. Kini Khalil Bangkalan menjadi guru dari hampir seluruh pendiri pesantren besar di Jawa. Di tempat ini, Kiai Bisri berkenalan dengan Abdul Wahab (kelak dikenal sebagai KH. A. Wahab Chasbullah), sahabat akrab yang kelak menjadi kakak iparnya.
Tahun 1906 Kiai Bisri menuju ke Jombang untuk belajar kepada Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren Tebuireng. Kiai Bisri belajar ke Pesantren Tebuireng atas ajakan Kiai Wahab, sahabat akrabnya. Dan memang saat itu, Kiai Hasyım adalah kiai paling terkenal di Jawa setelah Kiai Khalil Bangkalan. Enam tahun lamanya Kiai Bisri belajar kepada Kiai Hasyim. Di sinilah Kiai Bisri berkenalan dengan banyak teman yang kelak menjadi pendiri atau pengasuh pesantren besar di Jawa. Ada Abdul Manaf yang kelak dikenal sebagai KH. Abdul Karim pendiri Pesantren Lirboyo Kediri, ada As’ad yang kelak dikenal sebagai KH R. As’ad Syamsul Arifin pengasuh Pesantren Asembagus Situbondo, ada Achmad Baidhowi dari Banyumas yang kelak menjadi menantu Kiai Hasyim, ada Nachrowi dan Malang yang kelak dikenal sebagai KH. Nachrowi, ada Ma’shum dari Maskumambang Gresik yang kelak dikenal sebagai Syaikh Ma’shum Ali penulis kitab ilmu sharaf paling terkenal Al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, dan lain-lain. Mereka adalah kader-kader Kiai Hasyim yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan faham Ahlus Sunnah wal Jamaah di negeri ini.
Pada tahun 1911 Kiai Bisri melanjutkan studinya ke Mekkah. Ini dilakukan Kiai Bisri juga atas ajakan sahabat akrabnya, Kiai Wahab. Dan memang tradisi yang berkembang saat itu adalah, jika seseorang telah cukup belajar di sejumlah pesantren, dia akan melanjutkan studinya ke Mekkah yang menjadi pusat Islam. Yang perlu diketahui, saat itu tanah suci masih dikuasai oleh pemerintah yang beraliran Sunni, sebagaimana NU, bukan Wahabi seperti sekarang. Karena itulah, banyak tokoh NU generasi awal atau para pendiri pesantren yang belajar di tanah suci. Di samping itu, ada banyak orang orang Indonesia yang sukses menjadi pengajar di tanah suci, bahkan ada dipercaya mengajar di Masjidil Haram, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1897), Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1915), Syaikh Mahfuzh al-Turmusi (w. 1919), dan lain-lain. Sehingga, ada kebanggaan tersendiri jika dapat belajar kepada ‘tetangga’ mereka yang menjadi syaikh di tanah suci. Saat itu ada semacam perasaan belum cukup ilmunya jika belum belajar di Mekkah, meskipun tidak ada keharusan untuk belajar ke sana.
Tiga tahun lamanya (1911-1914) Kiat Bisri bermukim di Mekkah. Kiai Bisri belajar kepada sejumlah ulama terkenal di sana, seperti Syaikh Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani, Syaikh Umar Bajened, Syaikh Muhammad Shalih Bafadlal, Syaikh Jamal al-Maliki, Syaikh Abdullah, Syaikh Ibrahim al-Madani, Syaikh Syu’aib Daghustani, dan lain-lain. Termasuk guru Kiai Bisri adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minankabawi dan Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Turmusi, dua diantara beberapa ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram.
Selama di Mekkah, Kiai Bisri tidak bergabung dalam organisasi apapun. Namun dia melihat sahabat akrabnya, Kiai Wahab, yang sibuk mendirikan Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah. Selain Kiai Wahab, dalam SI cabang Mekkah ada KH. Abbas dari Jember, KH. Asnawi darı Kudus, dan KH. Dahlan dari Kertosono. Orang- orang ini juga merupakan teman-temari Kiau Bisri ketika belajar kepada Kiai Hasyim di Pesantren Tebuireng. Konon Kiai Bisri tidak mau bergabung dalam organisasi apapun sebelum ada perkenan dari Kiai Hasyim, guru yang sangat dihormatinya. Memang Kiai Bisri dikenal sebagai orang yang sangat hati-hati, terutama jika berkaitan dengan hukum Islam atau fikih.
MEMBANGUN RUMAH TANGGA
Jodoh adalah di antara hal yang sulit dimengerti oleh manusia. Itu adalah rahasia Tuhan. Itu juga berlaku bagı Kiai Bisri. Ketika berangkat ke Mekkah, Kiai Bisri hanya berniat mencari ilmu. Namun ketika kembali ke tanah air, Kiai Bisri tidak hanya memperoleh ilmu, tapi juga pendamping hidup. Pada tahun 1914, adik Kiai Wahab yang bernama Nor Khodijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya. Kini Wahab tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kiai Wahab ingin menjodohkan adiknya dengan sahabat akrabnya, Kiai Bisri. Kiai Wahab telah mengenal Kiat Bisri sejak bersama-sama belajar kepada Kiai Khalil Bangkalan, lalu belajar kepada Kiai Hasyim Tebuireng, dan bersama-sama menuntut ilmu di tanah suci. Meskipun ada perbedaan karakter dengan sahabatnya, Kiai Wahab mengakui bahwa Kiai Bisri adalah orang yang benar-benar alim dan akan menjaga adiknya dengan baik.
Maka, segera saja Kiai Wahab menyampaikan keinginannya tersebut kepada Kiai Bisri. Dan Kiai Bisri pun tidak menolak tawaran sahabat karibnya. Pernikahan antara Kiai Bisri dan Nor Khodijah dilaksanakan di tanah suci. Beberapa bulan setelah menikah, Kiai Bisri memutuskan untuk pulang ke tanah air bersama istrinya. Tahun 1914 Kiai Bisri kembali ke Indonesia. Kiai Bisri dan istrinya tidak kembali ke Tayu, Pati, daerah asal Kiai Bisri, namun ke Tambakberas, Jombang, daerah asal istrinya. Ada alasannya mengapa Kiai Bisri menetap di Jombang yang merupakan daerah pedalaman, bukan Pati yang merupakan daerah pesisir. Pesisir utara atau pantai utara (pantura) pulau Jawa adalah daerah yang pertama kali dimasuki Islam. Maka wilayah pantura relatif lebih santri daripada wilayah pedalaman yang masih abangan. Kita dapat saksikan sekarang hampir seluruh makam Walisongo, para penyebar Islam di Jawa, berada di daerah pesisir utara, seperti Surabaya, Gresik, Tuban, Lamongan, Demak, Kudus, dan Cirebon. Maka, secara umum, wilayah pedalaman lebih membutuhkan figur seorang kiai seperti Kiai Bisri.
Pernikahan Kiai Bisri dengan Nor Khodijah membuahkan 10 orang anak, namun tidak semuanya hidup hingga dewasa. Di antara mereka adalah Ahmad Athoillah yang kelak dikenal dengan KH. Ahmad Bisri, Muashshomah: yang diperistri oleh Kiai Hasbullah dari Sedan Rembang, Muslihatun, Sholihah (ibunda Gus Dur): yang diperistri oleh KH. A. Wahid Hasyim dari Tebuireng Jombang, Musyarofah yang diperistri KH. Fattah Hasyim yang menjadi pengasuh Pesantren Al-Lathifiyah Bahrul Ulum Tambakberas, Sholihun, Ali Abdul Aziz yang dikenal dengan KH. Abdul Aziz Bisri, dan Shohib yang dikenal dengan KH. Shohib Bisri.
Nyai Hj. Nor Khadijah wafat tahun 1955. Lalu, Kiai Bisri menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Mariyam Mahmud dari Jember Jawa Timur. Ini dilakukan Kiai Bisri mengingat beliau juga mengasuh pesantren putri yang lebih banyak membutuhkan sentuhan tangan perempuan.
(bersambung)