Hati Senang

Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. M.A. Sahal Mahfudh (4/4)

7 Rais Am PBNU oleh: M. Solahudin Penerbit: Nous Pustaka Utama Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

…artikel dan tanya jawab hukum Islam dalam berbagai media massa.

Bersama KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), Kiai Sahal pernah menerjemahkan Mausu’ab al-Ijma’karya Sa’di Abu Habieb yang diberi judul Ensiklopedi ljmak (diterbitkan Pustaka Firdaus Jakarta, 1997, dan telah mengalami cetak ulang).

KEALIMAN KIAI SAHAL MAHFUDH

Kitab kuning atau buku-buku berbahasa Arab yang sebagian besar ditulis pada Abad Pertengahan adalah literatur yang terus dipelajarı oleh kalangan pesantren atau NU. Itu adalah warisan pemikiran Islam yang terus dilestarikan meskipun dengan upaya kontekstualisasi sesuai dengan kondisi kekinian. Penguasaan kitab kuning secara mendalam merupakan keharusan bagi siapapun yang menduduki posisi Rais Am Syuriah PBNU. Lebih khusus lagı literatur kitab kuning yang berkaitan dengan fikih karena fikih berkaitan erat dengan ibadah dan muamalah sehari-hari. Maka tidak mengherankan jika penekanan pengajaran di pesantren lebih kepada penguasaan fikih, meski tetap diajarkan tasawuf, akidah, bahasa Arab (nahwu-sharaf-balaghah), tafsir, hadis, ilmu falak, ilmu qira’ah, ilmu tajwid, dan lain-lain.

Oleh karena itu, jika dikatakan NU adalah pesantren besar atau pesantren adalah NU kecil, maka Rais Am Syuriyah PBNU sebagai ‘kiainya kiai’ sudah selayaknya adalah seorang yang benar-benar menguasai kitab kuning, khususnya yang berkaitan dengan fikih.

Kealiman Kiai Sahal dalam bidang fikih sudah tidak perlu diragukan lagi. Belum genap usia 40 tahun, Kiai Sahal telah berkecimpung dalam kegiatan bahtsul masa’il, kegiatan intelektual kaum nahdliyyin untuk menentukan hukum suatu permasalahan berdasarkan referensı kitab kuning.

Ada karya Kiai Sahal yang cukup tebal berjudul Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul. Kitab ini mengupas secara tuntas ushul fikih, aturan dasar yang perlu dipahami dalam menentukan suatu hukum. Kitab tersebut merupakan hasyiyah atas Ghayah al-Wushul, dan Ghayah al-Wushul adalah syarh dari Lubb al-Ushul. Kedua kitab yang disebut terakhir ini ditulis oleh Abu Yahya Zakariya al-Anshari, seorang ulama yang hidup pada abad ke-15 M/9 H. Padahal, Lubb al-Ushul maupun Ghayah al- Wushul adalah kitab ushul fikih yang cukup tipis namun memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Maka kitab ini diajarkan untuk santri kelas menengah ke atas. Dan Kiai Sahal berhasil menguraikan kesulitan-kesulitan tersebut dalam bahasa Arab.

NU sebenarnya mengakui 4 madzhab dalam bidang fikih, yaknı Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Hanya saja dalam penerapannya, NU lebih banyak menggunakan madzhab Syafi’i. Madzhab lain jarang digunakan kecuali dalam kondisi tertentu yang mengharuskan demikian. Dan memang ada larangan talfiq, yakni mencampur- adukkan beberapa madzhab dalam satu qadliyah. Maka, demi kehati-hatian dan sesuai dengan masyarakat Indonesia, madzhab Syafi’i yang selalu dijadikan pegangan dalam pengambilan hukum dalam kegiatan bahtsul masa’il.

Oleh karena itu, jika kita masuk ke perpustakaan- perpustakaan pesantren maupun kediaman para kiai, kita akan menemukan lebih banyak kıtab yang menjelaskan madzhab Syafi’i. Tidak banyak koleksi kitab dari madzhab lain yang ada di perpustakaan pesantren atau perpustakaan pribadi kiai. Namun ini tidak berlaku bagi koleksi pribadi kitab milik Kiai Sahal. Menurut Ahmad Zahro, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, di kalangan NU, literatur dari madzhab lain dan kitab kitab ashriyah, lebih banyak dimiliki para intelektual muda NU, dengan dua pengecualian dari kalangan tua, yaitu KH. M.A. Sahal Mahfudh dan KH. A. Aziz Masyhuri dari Pesantren Denanyar Jombang.

Gelar doktor honoris causa yang didapat dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga menunjukkan kealiman Kiai Sahal dalam bidang fikih. Judul pidatonya adalah “Fiqh Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji”. Yang mengusulkan penganugerahan gelar ini adalah Prof. Dr. H. Sayyid Agıl Husin al-Munawar, Μ.Α., Prof Dr. H. A. Qodri Abdillah Azizy, M.A., Prof. Dr. H. Faisal Isma’il, M.A., Prof. Dr. H. Atho’ Mudhar, MSSPD, Prof. Dr. H. Abdul Jamil, M.A., dan Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF, M.A. Dan yang menjadi promotornya adalah Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahito, M.A dan Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A. Pidato penerimaan gelar doktor honoris causa ini dapat kita baca pada bagian Pendahuluan’ buku Nuansa Fiqih Sosial cetakan ke-4.

Gus Dur dalam salah satu tulisannya pernah menceritakan bagaimana kealiman Kiai Sahal. Ketika itu diadakan bahtsul masa’il di Pemalang, Jawa Tengah. Banyak kiai yang hadir dalam kegiatan ini. Persoalan pelik yang didiskusikan adalah bagaimana hukumnya kawin lari dan bagaimana kedudukan wali atau ayah wanita yang menurut madzhab Syafi’i memiliki wewenang untuk menikahkan anak gadisnya, dan lain-lain. Para kiai mengungkapkan pendapatnya masing-masing berdasarkan referensi yang mereka baca. Beberapa pendapat tersebut diserahkan kepada tim perumus untuk menentukan keputusan terakhir persoalan ini.

Sambil menunggu tim perumus bersidang, Kiai Sahal diminta berbicara kepada mereka yang tidak ikut bersidang dengan tim perumus. Tanpa persiapan Kiai Sahal pun berbicara. Para audiens dibuat cengang dengan kealiman Kiai Sahal. Kiai asal Kajen Pati ini membicarakan persoalan kawin lari dari berbagai segi, tidak hanya berdasarkan teks kitab kuning. Dan berkali- kali Kiai Sahal mengutup kitab Syarqawi yang cukup panjang, tanpa melihat kitab itu sekali pun. Ini menunjukkan bagaimana Kiai Sahal telah ‘begitu akrab’ dengan kitab kuning dan memiliki wawasan yang luas.

Dalam menentukan suatu hukum, menurut Kiai Sahal, kita harus melihatnya dari berbagai sudut pandang, secara komprehensif dalam istilah sekarang, tidak hanya berdasarkan kitab kuning saja.

Dalam salah satu artikelnya, Kiai Sahal menguraikan cara mengatasi kemiskinan di kalangan umat Islam. Menurutnya, ada 2 cara yang dapat digunakan, yaitu memberi motovasi kepada mereka agar meningkatkan solidaritas sosial dan aksi nyata dalam bentuk program-program yang langsung menyentuh kebutuhan mendasar kaum dhuafa. Cara pertama lebih dikenal dengan dakwah bil lisan dan yang kedua dikenal dengan dakwah bil hal. Keduanya harus dilakukan bersama-sama. Dakwah bil lisan telah sering dilakukan dengan memberikan ceramah yang isinya anjuran agar kaum kaya menyisihkan sebagian hartanya untuk mereka yang kurang mampu.

Adapun cara yang kedua, dakwah bil hal, belum banyak disentuh. Jika pun ada yang melakukan, itu hanya bersifat sporadis tidak dilembagakan sehingga kurang menimbulkan dampak yang besar. Jurang antara si kaya dan si miskin masih begitu lebar. Kiai Sahal mengusulkan pengelolaan zakat secara lebih optimal. Menurutnya, selama ini kita memberi ikan kepada orang miskin, bukan kailnya. Akibatnya orang-orang miskin menjadi thama’, mengharap bantuan atau tergantung dari si- kaya. Jika ini dibiarkan, maka jumlah orang miskin tidak, atau sulit untuk berkurang.

Selama ini kita membagi zakat belum sesuai’ dengan kebutuhan mendasar kaum miskin. Tukang becak sebenarnya butuh becak, penjahit miskin butuh mesin jahit, dan seterusnya. Jika kita memberikan harta zakat sesuai yang harta yang dizakati, itu akan kurang optimal fungsinya. Kiai Sahal telah mencoba gagasannya di 3 desa. Di desa tersebut zakat dilembagakan dalam bentuk koperasi. Panitia, bukan amil zakat, sekedar mengumpulkan zakat dan membagikannya. Hasilnya tidak langsung diberikan dalam bentuk uang, tetapi diatur sedemikian rupa supaya tidak bertentangan dengan aturan agama. Para penerima zakat (mustahıqq) diberi zakat dalam bentuk uang, namun kemudian ditarik kembali sebagai tabungan untuk pengumpulan modal. Maka, secara tidak langsung, penerima zakat mengumpulkan modal dari zakat.

Kiai Sahal telah mempraktekkan langsung gagasan- gagasannya. Ketika bulan Syawal dikumpulkan zakat fitrah, zakat mal, dan infak. Ternyata hasilnya cukup untuk membeli sebuah becak. Maka, Kiai Sahal memberikan zakat kepada tetangganya yang tukang becak dalam bentuk sebuah becak. Dulunya tukang becak tersebut harus kejar setoran kepada pemilik becak yang non pribumi. Akhirnya dengan becak barunya itu, tukang becak ini sudah dapat pulang pukul 3 sore. Dia punya banyak waktu di malam harinya untuk mengikuti pengajian-pengajian, tidak habis tenaganya untuk bekerja seharian mengejar setoran.

Masih banyak pemikiran atau gagasan Kiai Sahal yang bertebaran dalam tulisan-tulisannya. Beberapa tulisannya telah dikumpulkan menjadi beberapa buku, seperti Nuansa Fiqih Sosial dan Pesantren Mencari Makna.[]

Laman Terkait

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.