Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. Ali Ma’shum (5/5)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

pedoman kaum nahdliyyin, namun juga pendapat dari ulama yang dijadikan panutan oleh ‘kaum pembaharu Islam’.

Kiai Ali juga menjadi anggota penerjemah atau penafsir al-Qur’an yang ditunjuk oleh Menteri Agama dengan Surat Keputusan no. 26 tahun 1967. Delapan tahun lamanya tim ini menyelesakan tugasnya. Ada 10 orang anggota yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, SH. Selain Kiai Ali, para anggota lainnya adalah Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Prof. H. Bustami A. Gani, Prof. H. Muchtar Jahja, Prof. H. M. Toha Jahja Omar, Prof. Dr. H. A. Mukti Ali (murid Kiai Ali di Pesantren Tremas), Drs. Kamal Muchtar, H. Gazali Thaib, Prof. KH. Anwar Musaddad, dan Drs. Busjairi Madjidi.

Penunjukkan Kiai Ali sebagai anggota tim ini dengan anggota-anggota lainnya yang sebagian besar bergelar profesor menunjukkan pengakuan masyarakat akan kealiman Kiai Ali. Seperti disebutkan sebelumnya, Kiai Ali juga pernah menulis kitab tentang sharaf yang digunakan untuk mengajar para santri di Pesantren Krapyak. Awalnya kitab ini beredar di kalangan santri hanya dalam bentuk fotokopi, namun akhirnya dicetak. Kitab ini diberi judul Al-Tashrifiyyah.

Tulısan Kiai Ali lainnya adalah Ajakan Suci dan ada kumpulan tulisan dan pidato Kiai Ali yang diterbitkan oleh Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU DIY.

Ketika masih belajar di Pesantren Tremas, seperti disebutkan di atas, Kiai Ali dijuluki sebagai ‘Munjid berjalan’. Julukan ini muncul karena kemampuan Kiai Ali yang mendalam tentang bahasa Arab sehingga seakan- akan dia adalah ‘kamus berjalan karena Munjid adalah nama kamus Arab-Arab yang ditulis oleh Louis Ma’luf.

Yang menarik, banyak lahir kamus-kamus bahasa Arab yang ditulis oleh keluarga Pesantren Krapyak. Kiai Ali memang tidak sempat menulis kamus, maka orang- orang di sekitarnya yang melakukan hal tersebut. Ada Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia dan Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab yang ditulis oleh KH. Ahmad Warson Munawwir yang masih ipar Kiai Ali. Pentashihnya adalah Kiai Ali dan KH. Zainal Abidin Munawwir. Kamus ini diterbitkan oleh Pustaka Progressif Surabaya dan menjadi pegangan para santri untuk mencari arti suatu kata yang belum dipahami.

Kemudian ada Kamus Kontemporer Arab-Indonesia atau Kamus Krapyak Al-‘Ashri Arabi-Indunisi yang ditulis oleh KH. Atabik Ali dan KH. A. Zuhdi Muhdlor. Kiai Atabik tidak lain adalah putra Kiai Ali. Kamus ini diterbitkan oleh Multi Karya Grafika Yogyakarta.

Dibandingkan dengan kamus sebelumnya, kamus ini lebih banyak menyebut entri atau kata-kata bahasa Arab modern atau kontemporer sehingga sangat tepat digunakan untuk memahami kata-kata dalam koran atau majalah berbahasa Arab. Adapun karya Kiai Warson sangat tepat untuk memahami kata-kata dalam kitab kuning. Kamus karya Kiai Warson lebih banyak menyebutkan kata dasarnya atau fi’il madi dan fi’il mudlari’. Dan yang membuatnya lebih praktis, kamus tulisan Kiai Warson hanya memberi tanda fathah, kasrah atau dlammah ketika menyebut bentuk fi’il mudlari, yakni fathah untuk menunjukan ain fi’il yang terbaca fathah (misalnya fataha-yaftabu), kasrah untuk menunjukkan ain fi’il yang terbaca kasrah (misalnya dlaraba-yadlribu), dan dlammah untuk menunjukkan ain fi’il yang terbaca dlammah (misalnya nashara-yanshuru). Sedangkan dalam kamus karya Kiai Atabik dan Kiai Zuhdi Muhdlor dituliskan kata-kata apa adanya, tidak selalu menyebut kata dasarnya atau fi’il madli dan fi’il mudlari’. Itulah beberapa perbedaan kamus yang ditulis orang-orang di sekitar ‘Munjid berjalan’.

MENGHADAP SANG KHALIQ

Ada peristiwa yang tak akan terlupakan bagi keluarga besar Pesantren Krapyak Yogyakarta pada akhir Desember 1986. Saat itu Kiai Ali mengisi ceramah dalam rangka haul KH. Bisri Mustofa Rembang (ayahanda Gus Mus). Di tengah-tengah Kiai Ali berceramah, tiba-tiba ada seorang pemuda memegang linggis dan memukulkannya ke kepala pengasuh Pesantren Krapyak ini. Tiga kali Kiai Ali menerima pukulan ini sehingga roboh namun tetap sadar, tidak pingsan.

Pemerintah Daerah (pemda) Kabupaten Rembang merasa kecolongan dengan peristiwa ini. Pemda Rembang menunjuk Kodim Rembang untuk mengusut masalah ini. Pangdam IV Diponegoro, Mayjen Setiayana, turut mendesak Kodim Rembang segera menyelesaikan masalah ini. Diduga ada unsur politik di balik peristiwa ini, mengingat akan dilaksanakan pemilu tahun 1987 dan Kiai Ali adalah termasuk orang berpengaruh di negeri ini. Dan, seperti diketahui, keputusan NU untuk kembali ke khittah 1926 dalam muktamarnya ke-27 di Situbondo 1984, sangat merugikan PPP.

Pemuda yang memukul Kiai Ali berhasil ditangkap. Dia bernama Ahmad Dirman, berusia 24 tahun, berasal dari Lasem, dan pernah kuliah di UGM. Dua tahun sebelum peristiwa ini, ayahnya meninggal sehingga Dirman tidak dapat melanjutkan kuliah. Ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga harus berdagang ke Pasar Lasem untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lalu Dirman dipondokkan di Pesantren Krapyak. Nah, di Pesantren ini, Dirman jatuh hati kepada putri bungsu Kiai Ali, Ida Rufaida. Namun cinta Dırman ternyata bertepuk sebelah tangan. Maka, Dirman merasa dendam kepada Kiai Ali.

Dirman dısidangkan di Pengadilam Negeri Rembang atas pengawasan langsung Pangdam IV Diponegoro. Tidak ditemukan bukti bahwa dia disewa pihak tertentu. Akhirnya Dirman divonis 2,5 tahun penjara meski Kiai Ali telah memaafkannya. Kiai Ali dirawat di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta selama sebulan. Banyak orang penting menjenguknya, seperti Pangdam IV Diponegoro, Munawir Sjadzali (Menteri Agama RI), Gus Dur (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU saat itu), Harmoko (Menteri Penerangan RI), Hasyrul Harahap (Menteri Kehutanan RI), dan lain-lain.

Nah, sejak peristiwa ini dan juga usia yang semakin senja, Kiai Ali sering masuk rumah sakit. Kiai Ali terserang penyakit jantung, komplikasi, dan bernafas menggunakan tabung oksigen. Padahal, muktamar NU ke-28 akan diselenggarakan di Pesantren Krapyak Yogyakarta yang diasuh Kiai Ali. Meskipun tuan rumah sedang sakit, muktamar tetap diselenggarakan di pesantren ini sesuai rencana sebelumnya. Presiden Soeharto yang akan membuka muktamar tersebut menjenguk Kiai Ali di kamarnya. Acara muktamar pun berjalan lancar sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Pada masa-masa sakit ini, Kiai Ali sering ditemani dr. Fahmi Saifuddin, tokoh NU yang pernah menjadi santrinya.

Seminggu setelah perhelatan akbar tersebut, tepatnya tanggal 7 Desember 1989, ‘kaum nahdlıyyin’ dikejutkan oleh berita duka wafatnya pengasuh Pesantren Krapyak ini. Kiai Ali menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta. Kiai Ali Ma’shum, Rais Am PBNU menggantikan KH. M. Bisri Syansuri, mengadap Sang Khaliq dalam usia 74 tahun.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *