(lanjutan)
sebagai KH. Zainal Abidin Munawwir), Ahmad Warson (dikenal sebagai KH. Ahmad Warson Munawwir, penulis kamus Al-Munawwir), Ahmad (dikenal sebagai KH. Ahmad Munawwir), Mufid Mas’ud (dikenal sebagai KH. Mufid Mas’ud), Nawawi Abdul Azız (dikenal sebagai KH. Nawawı Abdul Aziz), Dalhar (dikenal sebagai KH. Dalhar Munawwir), Wardan Joned dari Kauman, Zuhdi Dahlan dan Abdul Hamid.
Para murid Kiai Ali generasi awal di Krapyak ini harus belajar sejak setelah shalat subuh hingga jam 21.00, tanpa berhenti kecuali untuk makan dan shalat. Kegiatan ini berlangsung selama 2 tahun, 1943-1944. Kader-kader Kiai Ali tidak ada yang mengecewakan. Mereka belajar dengan tekun. Hasilnya mereka menjadi kiai-kiai yang diakui kealimannya meskipun hanya belajar di Krapyak kepada Kiai Ali selama 2 tahun non stop. Dan Pesantren Krapyak sejak tahun 1942 dinamakan dengan Pesantren Al-Munawwir untuk mengenang jasa pendirinya, Kiai Muhammad Munawwir.
Di Pesantren Krapyak saat itu dikenal ada 3 serangkai sebagai pengasuhnya, yaitu KH. Ali Ma’shum, KH. Abdul Qadir Munawwir, dan KH. Abdullah Affandi Munawwir. Kiai Abdul Qadir dan Kiai Abdullah Affandi serta para kiai lainnya lebih banyak mengajar al-Qur’an sesuai dengan keahlian yang diwariskan oleh Kiai Munawwir, sedangkan Kiai Ali lebih banyak mengembangkan pengajian kitab kuning.
Tahun 1961 Kiai Abdul Qadir wafat, lalu disusul Kiai Abdullah Affandi 7 tahun berikutnya, 1968. Maka, Kiai Ali menjadi kiai yang paling dituakan di Pesantren Krapyak. Pengajian al-Qur’an selanjutnya ditangani oleh Kiai Zaini Munawwir, Kiai Ahmad Munawwir, Kiai Najib Abdul Qadir, serta putri-putri Kiai Ali.
Dalam perkembangannya, Pesantren Al-Munawwir mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam jumlah santri maupun jenis lembaga pendidikan yang dikelola. Ada taman kanak-kanak, Madrasah Diniyah (Ula, Wustha dan Ulya), Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Takhassus dan Tahfizhul Qur’an.
Kedua menantu Kiai Munawwir mendirikan pesantren sendiri, yakni Kiai Mufid Mas’ud mendirikan Pesantren Sunan Pandanaran di Ngaglik Sleman dan Kiai Nawawi Abdul Aziz mendirikan Pesantren An-Nur di Ngrukem Bantul. Dan ketika Kiai Ali sebagai pengasuhnya, Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), Gus Mus (KH. A. Mustofa Bisri), Masdar Farid Mas’udi, Sa’id Aqiel Sıradj (Ketua Umum Tanfıdziyah PBNU) pernah nyantri di Pesantren Krapyak.
Selain mengajar para santri di Pesantren Krapyak, Kiai Ali juga menjadi staf pengajar di Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kiai Ali dipercaya mengampu mata kuliah Ilmu Tafsir. Beliau mengajar di kampus Islam negeri pertama di Indonesia ini seminggu sekali. Kiai Ali adalah Rais Am Syuriyah PBNU pertama yang juga menjadi dosen.
BERKHIDMAH KEPADA NAHDLATUL ULAMA
Kiai Ali telah mengenal NU sejak kecil. Ayahnya, Mbah Ma’shum, adalah seorang kiai kharismatik yang berperan dalam pendirian NU. Dalam pemilu pertama tahun 1955, Kiai Ali dan Mbah Ma’shum terpilih sebagai anggota konstituante dari Partai NU. Pada akhir tahun 1960-an Kiai Ali terpilih sebagai Rais Syuriyah PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hingga tahun 1981 dipercaya sebagai Rais Am Syuriyah PBNU menggantikan KH M Bisri Syansuri, Denanyar, Jombang. Kiai Ali menjadi Rais Am Syunyah PBNU sejak tahun 1981 hingga 1984.
Pada tanggal 25 April 1980, Kiai Bisri Syansuri meninggal dunia. Posisi Rais Am Syuriyah PBNU sementara dipegang oleh Prof. KH. Anwar Musaddad (w/ 2000) yang saat itu menjadi Wakil Rais Am Syuriyah PBNU. Kiai Anwar Musaddad tidak langsung dikukuhkan sebagai Rais Am Syuriyah PBNU karena beliau bukanlah pengasuh pesantren, belum memiliki pesantren saat itu, meskipun secara keilmuwan tidak perlu diragukan lagi. Karena tradisi di kalangan NU, jabatan Rais Am Syuriyah PBNU selalu diisi oleh pengasuh pesantren. Kiai Anwar Musaddad adalah guru besar di IAIN Sunan Kalijaga dan menjadi rektor pertama IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kemudian Kiai Anwar Musaddad mengelola Perguruan Al-Musaddadiyah di kota kelahirannya, Garut, Jawa Barat.
Kiai Ali adalah Rais Am Syuriyah PBNU pertama yang bukan pendiri organisasi ini. Tiga Rais Am Syuriyah PBNU sebelumnya adalah para pendiri organisasi ini, yaitu Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Α. Wahab Hasbullah dan KH. M. Bisri Syansuri. Ketiganya adalah kıai dengan wibawa yang sangat besar. Adapun Kiai Ali adalah tipe seorang kiai intelek atau ilmuwan Islam. Wawasan ilmunya yang luas dan mendalam membuatnya terpilih sebagai Rais Am Syuriyah PBNU dengan wibawa yang tidak sebesar para pendahulunya.
Kiai Ali terpilih sebagai Rais Am Syuriyah PBNU dalam Musyawarah Nasional (munas) Alim Ulama NU di Kaliurang, Sleman, DIY, pada tanggal 30 Agustus hingga 2 September 1981. Pertimbangan peserta munas memilih Kiai Ali adalah karena memiliki potensi mengendalikan sayap politik NU. Hal itu berdasarkan pemikıran para kiai senior seperti KH R. As’ad Syamsul Arifin, Asembagus Situbondo, KH Mahrus Aly, Lirboyo Kediri, KH Achmad Siddiq Jember, Prof. KH. Saifuddin Zuhri, KH Mujib Ridwan, KH. Masykur, dan lain-lain. Dengan berlinang air mata, Kiai Ali menerima tugas ini.
Prestasi besar Kiai Ali selama menjadi Rais Am Syuriyah PBNU adalah berhasil diselenggarakannya Munas Alim Ulama NU kedua di Pesantren Asembagus Situbondo tahun 1983, beberapa bulan sebelum dilaksanakan Muktamar NU ke-27 di tempat yang sama. Munas ini menghasilkan keputusan penting, yakni penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi serta dirumuskannya kembali otoritas syuriyah atau ulama dalam kepemimpinan NU.
Prestasi lainnya adalah berhasil diselenggarakannya Muktamar NU ke-27 yang menghasilkan kembalinya NU ke khitthah 1926. Muktamar ini juga berhasil menyatukan kedua kubu di tubuh NU yang dikenal saling berhadapan, yakni Kubu Cipete dengan tokohnya Dr. KH. Idham Cholid dan Kubu Situbondo dengan tokohnya KH. R. As’ad Syamsul Arifin.
Ketika itu peserta muktamar membentuk tim yang disebut ahlul halli wal ‘aqdi yang bertugas memilih Rais Am Syuriyah PBNU dan Ketua Umum Tanfidzıyah PBNU. Yang masuk ke dalam tim ini adalah KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, KH. Masykur, KH Syamsuri Badawi, Prof Ali Hasan Ahmad, KH. Romli Ahmad, dan KH Rofi’i Mahfudh. Dan yang terpilih sebagai Rais Am Syuriyah PBNU dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU masa bakti 1984-1989 adalah KH Achmad Siddiq Jember dan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Kiai Ali duduk dalam Mustasyar PBNU bersama KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Dr. KH. Idham Cholid, KH. Masykur, KH. Imron Rosyadi, Prof. KH Saifuddin Zuhri, KH. Mahrus Aly, Prof. KH Anwar Musaddad dan KH. M. Munasir. Dengan kebesaran jiwanya, Kiai Ali menyerahkan posisi Rais Am Syuriyah PBNU kepada kiai yang lebih muda usianya, KH. Achmad Siddiq.
KARYA TULIS
Di antara karya tulis Kiai Ali adalah Hujjah Ahlul-Sunnah wa al-Jama’ah. Karyanya ini ditulis dalam bahasa Arab dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Pegon dan bahasa Indonesia. Edisi bahasa Arabnya diterbitkan oleh sebuah penerbit di Pekalongan Jawa Tengah yang bernama Ibnu Masyhadi.
Dalam kata pengantarnya, Kiai Ali mengatakan bahwa kitab ini ditulis karena kebutuhan para santri di Pesantren Krapyak dan umat Islam pada umumnya. Kitab ini berisi dalil-dalil tentang amalan yang biasanya dilakukan oleh kaum nahdliyyin, seperti menghadiahkan atau ‘transfer’ pahala membaca al-Qur’an atau bersedekah kepada orang mati, shalat sunnah qabliyah Jumat, menalqin mayit setelah dikuburkan, shalat tarawih 20 rakaat, penetapan awal Ramadhan dan Syawwal, ziarah kubur, nikmat dan siksa kubur, berziarah ke makam Nabi, serta tawassul melalui para nabi, para wali dan orang saleh.
Yang menarik, tidak jarang Kiai Ali menyebut pendapat Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang pendapatnya banyak diikuti oleh kaum pembaharu Islam’. Padahal, hal-hal yang ditulis Kiai Ali ini adalah tradisi umat Islam yang biasanya dikritik sebagai bid’ah oleh kaum pembaharu Islam’. Misalnya, ketika membahas tentang ‘transfer’ pahala membaca al-Qur’an atau bersedekah kepada orang mati, Kiai Ali menyebut pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa mayit merasakan manfaat bacaan al-Qur’an sebagaimana sedekah. Dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, murid Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa yang paling utama dihadiahkan kepada mayit adalah (pahala) sedekah, membaca istighfar, mendoakan, dan menghajikannya-jika mayitnya belum haji. Ini menunjukkan luasnya wawasan Kiai Ali, tidak hanya menguasai kitab-kitab yang menjadi
(bersambung)