Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. Ali Ma’shum (3/5)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

MENJADI KIAI KRAPYAK

Setelah pulang ke Lasem, Kiai Ali segera membantu ayahnya mengajar para santri di Pesantren Al-Hidayah Lasem yang didirikan oleh Mbah Ma’shum. Usia Kiai Ali yang mulai dewasa mendorong Mbah Ma’shum untuk segera mencarikan gadis sebagai pendamping hidup anaknya. Gadis itu adalah Rr. Hasyimah, putri KH. Muhammad Munawwir.

Kiai Munawwir adalah teman Mbah Ma’shum ketika keduanya belajar kepada Kiai Khalil Bangkalan. Dan memang sesuatu yang biasa terjadi jika antara dua sahabat, sesama santri atau kiai, akhirnya menjadi besan. Kiai Ali dan Rr. Hasyımah tidak menolak tawaran kedua orangnya masing-masing. Resepsi pernikahan dilaksanakan pada tahun 1938. Saat itu usia Kiai Ali adalah 23 tahun.

Beberapa hari setelah pernikahan, KiaI Ali mendapat tawaran gratis ibadah haji darı seorang warga Kauman Yogyakarta yang bernama H. Djunaid. Tawaran ini disampaikan oleh Mbah Ma’shum. Kiai Ali cukup kebingungan untuk memutuskan menerima atau tidak tawaran tersebut. Untuk menunaikan haji saat itu dibutuhkan uang sebanyak 250 gulden, jumlah yang cukup besar dan tidak mudah diperoleh keluarga Mbah Ma’shum. Padahal, perjalanan pulang-pergi melaksanakan ibadah haji membutuhkan waktu hampir setahun karena masih menggunakan kendaraan kapal laut, belum pesawat terbang seperti sekarang. Sementara Kiai Ali masih berstatus sebagai pengantin baru yang tentunya berat jika harus meninggalkan istrinya. Namun setelah dipikir-pikir dengan berbagai pertimbangan serta menjalankan shalat istikharah, Kiai Ali memilih menerima tawaran tersebut. Maka sebulan setelah resepsi pernikahan, Kiai Ali segera berangkat ke tanah suci melalui pelabuhan di Semarang.

Di Mekkah, Kiai Ali tinggal di pondokan milik Syaikh al-Masyayikh Hamid Mannan yang ada di kawasan Samiyah, kurang lebih 1 km dari Masjidil Haram. Kiai Ali melakukan segala keperluannya sendiri, seperti mencuci dan memasak. Kiai Ali menghabiskan lebih banyak waktunya untuk belajar kepada para ulama di tanah suci. Kiai Ali mempelajari kitab Luma’ kepada Sayyid Alwi yang merupakan ayah Kiai Basyir Kauman Yogyakarta, dan mempelajarı kitab Shahih al-Bukhari kepada Syaikh Umar Hamdan. Dua tahun lamanya Kiai Ali tinggal di Mekkah.

Tak jarang Kiai Ali menitipkan beberapa kitab kepada kenalannya yang kebetulan pulang ke tanah air agar dibawa ke Lasem. Dia juga mengoleksi banyak kitab yang dibawanya sendiri ketika pulang. Pulang ke Lasem, Kiai Ali disambut dengan hangat oleh keluarganya, baik dari Lasem sendiri maupun dari Krapyak. Beberapa waktu kemudian Kiai Ali ingat pesantren yang mendidiknya, Pesantren Tremas. Kiai Ali beserta istrinya ingin mengunjungi Pesantren Tremas yang saat itu diasuh oleh Kiai Hamid Dimyathi, putra Kiai Dimyathi.

Kiai Ali disambut dengan sangat meriah oleh keluarga besar Pesantren Tremas. Sepanjang 3 km para santri berderet memberi penghormatan kepada Kiai Ali. Sesampai di pesantren yang pernah ditempati selama 8 tahun ini, Kiai Ali didaulat keluarga Pesantren Tremas untuk memberi motivasi kepada para santri agar lebih rajin belajar, dan untuk menceritakan berbagai pengalamannya. Tampak keluarga besar Pesantren Tremas merasa bangga memiliki alumnus yang bernama Ali Ma’shum.

Tahun 1942 Jepang masuk ke Indonesia menggantikan Belanda yang telah ratusan tahun menjajah negeri ini. Meski kurang darı 4 tahun, penjajahan Jepang tidak lebih lunak dari Belanda. Banyak pesantren yang ‘gulung tikar’ ditinggalkan santrinya akibat kondisi yang tidak aman serta ekonomi yang tidak menentu. Tidak ketinggalan Pesantren Al-Hidayah Lasem yang dıdırikan Mbah Ma’shum, ayah Kiai Ali. Melihat kondisi ini, Kiai Ali terpanggil untuk membesarkan kembali pesantren yang telah dibangun ayahnya ini. Dengan selalu bermusyawarah dengan ayahnya, Kiai Ali berhasil membangun kembali Pesantren Al-Hidayah Lasem. Ada sekitar 200 santri yang belajar di pesantren ini. Kiai Ali juga bertekad untuk membesarkan pesantren yang dibangun ayahnya ini.

Ternyata kondisi Pesantren Krapyak lebih parah daripada Pesantren Lasem. Dua tahun lamanya para santri meninggalkan pesantren yang didirikan oleh Kiai Munawwir ini. Pendiri pesantren ini yang tidak lain adalah mertua Kiai Ali telah meninggal tahun 1941. Keluarga Pesantren Krapyak merasa prihatin dengan kondisi ini dan belum ditemukan figur yang pantas meneruskan perjuangan Kiai Munawwir.

Anak-anak Kiai Munawwir seperti KH Abdul Qadir Munawwir dan KH Abdullah Affandi serta para ibu nyai melakukan musyawarah dan memutuskan untuk mengajak Kiai Ali agar tinggal di Krapyak untuk memulihkan kondisi Pesantren Krapyak. Maka, diutuslah seorang pengurus pesantren bernama Dasuki untuk menemui Kiai Ali dan membujuknya agar tinggal di Krapyak. Dengan tegas, Kiai Ali menolak karena juga sedang sibuk mengelola Pesantren Al-Hidayah Lasem.

Beberapa waktu kemudian datang lagi utusan darı Krapyak. Kali ini yang datang tidak main-main, yakni Nyai Sukis yang tidak lain adalah ibu mertua Kiai Ali atau istri ke-2 Kiai Munawwir dan Kiai Abdullah Affandi yang merupakan anak Kiai Munawwar dan istrinya yang bernama Nyai Mursyidah. Mereka juga munta bantuan istri Kiai Ali, Hasyimah, agar membujuk suaminya tinggal di Krapyak. Kiai Ali akhirnya tidak bisa menolak setelah yang menyuruhnya adalah istri dan ibu mertua. Maka berangkatlah Kiai Ali beserta sang istri ke Krapyak. Sejak saat itu Kiai Ali tinggal di Krapyak dan kelak dikenal sebagai Kiai Ali Ma’shum Krapyak.

Langkah pertama yang dilakukan oleh Kiai Ali adalah kaderisasi. Kiai Ali mengajar secara intensif beberapa orang yang terdiri dan anak-anak Kiai Munawwir, menantu Kiai Munawwir dan beberapa tetangga. Mereka adalah Abdul Qadir (dikenal sebagai KH. Abdul Qadir Munawwir), Zainal Abidin (dikenal

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *