Kiai Ali yang menjadi putra Mbah Ma’shum disuruh belajar di Pesantren Tremas yang diasuh oleh Kiai Dimyathi. Sebaliknya, Kiai Dimyathi punya anak yang bernama Hamid dan Habib yang disuruh belajar di Pesantren Al-Hidayah Lasem yang diasuh Mbah Ma’shum. Saling ‘tukar-menukar’ anak untuk belajar di pesantren lain adalah sesuatu yang biasa. Terkadang karena sesama sahabat akrab, seorang santri dan santri lainya ‘menukar’ anak untuk belajar atau diambil menantu. Barangkali karena saling “tukar-menukar’ anak inilah, Kiai Ali mendapat perlakuan istimewa selama belajar di Pesantren Tremas, yakni tinggal di ndalem, bukan di kombongan sebagaimana santri lainnya. Nama Kiai Ali sangat terkenal di kalangan santri Pesantren Tremas. Dia terkenal tidak hanya karena sebagai putra Mbah Ma’shum dan tinggal bersama Gus Muhammad di ndalem, namun juga karena kealimannya. Kiai Ali pernah dijuluki sebagai ‘Munjid Berjalan karena kemampuannya yang mendalam tentang bahasa Arab. Munjid adalah nama sebuah kamus Arab-Arab yang ditulis Louis Ma’luf, seorang penulis asal Lebanon.
Putra Mbah Ma’shum ini juga menguasai dengan baik Alfiyyah Ibnu Malik yang mengupas seluk beluk tata bahasa Arab (nahwu dan sharaf), Al-Jauhar al-Maknun yang membahasa sastra Arab (bayan, ma’ani, badi), dan lain-lain. Dua kitab yang disebutkan ini berbentuk syair yang membahas tata bahasa Arab dan sastra Arab. Selain syair yang membahas pelajaran, Kiai Ali juga suka menghafal syair-syair yang berupa kata mutiara atau kalam hikmah.
Kiai Ali terkenal sebagai santri yang kutu buku atau kutu kitab. Kiai asal Lasem ini sering menghabiskan waktunya dengan membaca berbagai kitab. Kamarnya sedikit berantakan karena kitab-kitabnya yang dibiarkan terbuka di sana-sini. Tidak jarang sampai larut malam Kiai Ali membuka kitab-kitab koleksinya tersebut.
Yang menarik, Kiai Ali tidak membatasi diri hanya membaca kitab-kitab yang dikarang ulama klasik atau kitab-kitab yang mu’tabar. Dia juga baca karya-karya dari para pembaharu atau kitab-kitab yang menurut para kiai dinilai kurang mu’tabar, misalnya Al-Fatawa karya Ibnu Tamiyah, Tafsir al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menjadi penerus dari Muhammad Abduh, Tafsir al-Maraghi, dan lain-lain. Padahal, kitab- kitab tersebut secara umum tidak ada di pesantren atau ‘tidak boleh dibaca para santri. Yang jelas, Kiai Dimyathi mengetahui kalau Kiai Ali membaca kitab-kitab ‘terlarang ini, namun membiarkannya karena yakin akan kemampuan Kiai Ali untuk menyaring isi kitab tersebut, mana yang benar dan mana yang salah. Kitab-kitab ini sebagai perbandingan dari kitab-kitab yang selama ini dipelajari di pesantren. Lalu bagaimana Kiai Ali mendapatkan kitab-kitab tersebut?
Ada kitab yang didapat dari keluarga Pesantren Tremas yang pulang dari Mekkah, dan ada kitab yang diperoleh dari teman-temannya atau murid-murid ayahnya yang melaksanakan ibadah haji. Kiai Ali memesan kepada kenalannya yang melaksanakan rukun Islam kelima ini. Luas dan beragamnya bacaan Kiai Ali menjadikannya lebih moderat kelak ketika menjadi kiai besar, pengasuh pesantren, atau Rais Am Syuriyah PBNU, dibanding para kiai pada umumnya.
Kemampuan dan wawasan Kiai Ali yang di atas santri pada umumnya menarik perhatian Kiai Dimyathi untuk menjadikannya sebagai tenaga pengajar atau ustadz. Ketika menjadi ustadz, Kiai Ali mempunyai murid yang bernama Boejono. Kemudian Boejono ini berganti nama menjadi Abdul Mukti Ali yang kelak dikenal sebagai Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, M.A. Dia adalah rektor sekaligus guru besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN Sunan Kalijaga dan pernah menjadi Menteri Agama RI pada masa awal Orde Baru.
Jasa besar Kii Ali terhadap Pesantren Tremas adalah gagasannya untuk mendirikan madrasah. Sebenarnya pada tahun 1928 pernah didirikan madrasah di Pesantren Tremas oleh santri senior bernama Sayyid Hasan, namun hanya bertahan setahun. Ternyata Sayyid Hasan ini ingin mengubah sistem pesantren yang dinilainya sudah tidak sesuai dengan jaman. Hal inilah yang membuat keluarga besar Pesantren Tremas merasa tersinggung sehingga membubarkan madrasah tersebut dengan muridnya yang baru berjumlah 60 orang.
Maka, ide Kiai Ali agar Pesantren Tremas memiliki madrasah tidak segera disetujui Kiai Dimyathi. Tampaknya pengasuh Pesantren Tremas ini masih trauma dengan ulah Sayyid Hasan. Untungnya, usulan Kiai Ali ini didukung oleh Kiai Habib Dimyathi, putra Kiai Dimyathi, sehingga usulan tersebut disetujui oleh Kiai Dimyathi.
Akhirnya madrasah baru ini resmi didirikan tahun 1932. Ketika boyong ke Lasem, Kiai Ali menyerahkan kepengurusan madrasah ini kepada Kiai Habib Dimyathi sebagai pimpinan madrasah (srudir atau direktur) dan Abdul Mukti Ali sebagai wakilnya. Ketika Kiai Ali masih di Pesantren Tremas, ada istilah “4 Serangkai” yang terkenal di kalangan santri. Yang dimaksud 4 Serangkai ini adalah Gus Hamid, Gus Rahmat, Gus Muhammad, dan Wak Ali. Gus Hamid dan Gus Rahmat adalah putra Kiai Dimyathi, Gus Muhammad adalah putra Syaikh Mahfuzh al-Turmusi, dan Wak Ali tidak lain adalah Kiai Ali Ma’shum. Sebutan gus’ adalah untuk panggilan anak kiai di Jawa pada umumnya. Yang menarik, Kiai Ali meskipun anak seorang kiai tidak dipanggil dengan ‘gus’ tapi dengan ‘wak’. Panggilan ‘wak’ berasal dari kata ‘uwak’ (atau uwa’-ed.) untuk menyebut orang yang dituakan. Maka, ketika Kiai Ali berpamitan untuk pulang ke Lasem, para santri Pesantren Tremas merasa sangat kehilangan. Untuk menghormati Kiai Ali, pengurus Pesantren Tremas mengantarkan Kiai Ali sampai ke Lasem, Rembang.
Gus Hamid atau Kiai Hamid Dimyathi kemudian meneruskan Kiai Dimyathi sebagai pengasuh Pesantren Tremas. Kiai Hamid Dimyathi meninggal tahun 1948 oleh kebiadaban PKI yang menyergapnya di Tirtomoyo, Surakarta, dalam perjalanan ke Yogyakarta. Kiai Hamid Dimyathi beserta 13 orang lainnya dibunuh PKI, kemudian jenazah mereka dimasukkan dalam sebuah sumur atau lobang. Beberapa bulan kemudian lobang tersebut dibongkar untuk diambil jenazahnya yang sudah tidak dikenali lagi, lalu dimakamkan di Makam Pahlawan Jurug Surakarta. Kiai Habib Dimyathi, penerus Kiai Ali untuk mengelola madrasah di Pesantren Tremas, juga pernah belajar kepada Kiai Ali ketika yang disebut terakhir ini menjadi pengasuh Pesantren Krapyak. Anak-anak Kiai Habib Dimyathi juga dipondokkan di Pesantren Krapyak agar dapat menyerap ilmu dari sahabat akrab sekaligus gurunya, Kiai Ali.
(bersambung)