Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. Ali Ma’shum (1/5)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

Rais Am Syuriyah PBNU ke-4

KH. ALI MA’SHUM

KH. Ali Ma’shum adalah Rais Am Syuriyah PBNU pertama yang bukan pendiri organisasi ini. Dia juga Rais Am Syuriyah PBNU pertama yang bukan berasal dari Jawa Timur. Meskipun berpendidikan pesantren, Kiai Ali juga dipercaya mengajar di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, kampus perguruan tinggi agama Islam negeri pertama di Indonesia.

ASAL-USUL KELUARGA

Orang lebih mengenal Kiai Ali Ma’shum sebagai kiai asal Krapyak Yogyakarta. Maklum, Kiai Ali-panggilan akrab Kiai Ali Ma’shum-adalah pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta. Padahal, Kiai Ali sebenarnya lahir di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Ali adalah putra menantu KH. Muhammad Munawwir, pendiri Pesantren Krapyak. Karena anak laki-laki Kiai Munawwir masih kecil atau belum dewasa di saat pendiri Pesantren Krapyak ini meninggal, keluarga besar Kiai Munawwir memboyong Kiai Ali dari Lasem ke Krapyak. Karena itulah, Kiai Ali terkenal sebagai kiai asal Krapyak Yogyakarta.

Kiai Ali lahir di Lasem pada tanggal 2 Maret 1915. Dia adalah anak sulung KH. Ma’shum Ahmad dan Nyai Nuriyah. Ayah Kiai Ali adalah seorang kiai kharismatik darı Lasem yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Ma’shum Lasem. Mbah Ma’shum menikah dua kali. Istri pertamanya bernama Nyai Muslichatun, putri KH. Musthafa Sumbergirang Lasem. Nyai Muslichatun meninggal di Mekkah dan belum memberi keturunan kepada Mbah Ma’shum.

Lalu Mbah Ma’shum menikah kedua kalinya dengan Nyai Nuriyah, putri KH. Zein, Lasem. Dari pernikahan keduanya ini, Mbah Ma’shum dikaruniai 13 anak yang 8 meninggal ketika masih kecil. Lima orang lainnya adalah Ali yang kemudian dikenal sebagai KH. Ali Ma’shum Krapyak (Yogyakarta), Fatimah yang kemudian menjadi istri KH. Maftuchin Lasem, KH. Ahmad Syakir yang kelak meneruskan Mbah Ma’shum mengasuh pesantren Al-Hidayah Lasem, Azizah yang kemudian menjadi istri KH. Ali Nukman Lasem, dan Hamnah yang kemudian menjadi istri Sa’dullah Lasem.

Mbah Ma’shum pernah belajar kepada Syaikhana KH. Muhammad Khalil Bangkalan. Teman-temannya ketika itu adalah KH. Muhammad Munawwir Krapyak yang kelak menjadi besannya, Hadratuys Syaikh KH. M. Hasyim Asy’arı Tebuireng Jombang, KH. Muhammad Siddiq Jember (ayah KH. Achmad Siddiq Jember, Rais Am Syuriyah PBNU ke-6), KH. Abdul Karim Lirboyo Kediri, KH. A. Wahab Hasbullah Tambakberas Jombang, KH. Abdullah Mubarak Suryalaya Tasikmalaya, dan lain- lain. Mereka adalah para kiai yang berhasil mendirikan pesantren-pesantren ternama di Jawa.

Mbah Ma’shum sendiri mendirikan pesantren di Lasem yang diberinama Al-Hidayah. Pesantren ini diasuhnya hingga beliau wafat pada tanggal 20 Oktober 1972. Kepengasuhan pesantren selanjutnya dilanjutkan oleh anak laki-laki keduanya, Ahmad Syakir. Biasanya tongkat kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh anak laki-laki pertama. Namun anak laki-laki pertama Mbah Ma’shum, Kiai Ali, telah diboyong keluarga besar Pesantren Krapyak Yogyakarta agar menjadi pengasuh pesantren yang didirikan Kiai Munawwir tersebut.

Kembali ke cerita Kiai Ali ketika masih kecil. Mbah Ma’shum menginginkan Kiai Ali agar menjadi ahli fikih sehingga Kiai Ali sering diajarkan kitab-kitab fikih. Namun Kiai Ali sebenarnya lebih menyukai nahwu, sharaf, dan balaghah. Kiai Ali lebih menyukai pelajaran yang berkaitan dengan tata bahasa atau sastra Arab. Hobi Kiai Ali ini kelak mengantarkannya untuk menulis kitab tentang sharaf yang menjadi buku pelajaran di Pesantren Krapyak. Selain itu, Kiai Ali kecil juga menyukai tontonan wayang. Tidak jarang secara sembunyi-sembuyi, Kiai Ali kecil mengajak adiknya, Ahmad Syakir, untuk menonton wayang. Ini dilakukan Kiai Ali jika merasa bosan dengan pelajaran-pelajaran yang diajarkan sang ayah.

MENUNTUT ILMU

Menginjak usia remaja, Kiai Ali dıkirim ayahnya ke pesantren lain. Kiai Ali pernah belajar kepada Kiai Amir di Pekalongan, Jawa Tengah. Tidak banyak informası mengenai kegiatan Kiai Ali selama di Pekalongan. Selanjutnya Kiai Ali belajar ke Pesantren Tremas Pacitan, Jawa Timur yang saat itu diasuh oleh KH. Dimyathi (w. 1934). Kiai Dimyathi adalah adik kandung Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Turmusi (w. 1920), seorang syaikh di Masjidil Haram dan menulis puluhan kitab-kitab besar. Kiai Ali belajar ke Pesantren Tremas ketika berusia 12 tahun atau pada tahun 1927.

Kiai Ali kecil dititipkan kepada tetangganya yang sedang belajar di Pesantren Tremas, yaitu Abdus Salam. Namun oleh Kiai Dimyathi, Kiai Ali malah ditempatkan di ndalem atau kediaman keluarga pengasuh pesantren. Kiai Ali ditempatkan satu kamar dengan Gus Muhammad, anak Syaikh Mahfuzh al-Turmusi yang baru pulang dari Mekkah. Maka, Kiai Ali akhirnya akrab dengan Gus Muhammad. Kelak Gus Muhammad banyak belajar kepada Kiai Ali tentang kitab kuning. Maklum selama di Mekkah, Gus Muhammad lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari al-Qur’an. Maka, untuk memperdalam kitab kuning, Gus Muhammad belajar kepada Kiai Ali.

Di Pesantren Tremas, sebagaimana beberapa pesantren lainnya, para santri biasanya ditempatkan dalam kompleks atau asrama sesuai dengan daerahnya masing- masing. Asrama ini di Pesantren Tremas disebut dengan kombongan, sehingga ada Kombongan Pasuruan, Kombongan Cirebon, Kombongan Tegal, Kombongan Kendal, Kombongan Singapura, juga Kombongan Lasem. Namun Kiai Ali tidak bertempat di Kombongan Lasem, malah di ndalem bersama Gus Muhammad, sebagaimana disebutkan di atas.

Pesantren Tremas termasuk pesantren besar saat itu. Jumlah santrinya mencapai 2000-an orang. Nama besar Syaikh Mahfuzh al-Turmusi sebagai ‘ulama internasional barangkali yang menjadi magnet para pemuda untuk belajar di Tremas, bahkan ada beberapa santri yang berasal dari Malaysia dan Singapura.

Ada sebuah keyakinan umum di kalangan santri pesantren (salaf) bahwa jika ingin sukses dalam belajar di pesantren, seorang santri tidak boleh pulang selama 3 tahun pertama. Keyakinan ini juga ada di Pesantren Tremas. Kiai Ali muda tidak pulang selama 3 tahun pertama mondok di Pesantren Tremas.

Selama belajar di Pesantren Tremas ini pula Kiai Ali muda mulai menambahkan kata ‘Ma’shum’ di belakang namanya, hingga kemudian dikenal sebagai Kiai Ali Ma’shum.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *