(lanjutan)
dengan rendah hati, bahwa dirinya hanya bertugas menuliskannya saja. Kiai Achmad memuji-muji Gus Miek dan Kiai Hamid Pasuruan yang banyak memberinya ijazah doa sehingga akhirnya menjadi Dzikr al-Ghafilin. Kitab ini diperbanyak oleh Pengurus Forum Komunikası Keluarga Alumni (Forsika) Pondok Pesantren Ash- Shiddiqi Putra dan oleh jamaah Dzikrul Ghafilın Surabaya.
Dı Kediri, wirid Dzikr al-Ghafilin biasanya dibaca pada tiap malam Jum’at Kliwon di Pesarean Auliya Tambak Mojo dan tiap malam Jum’at Legi di Makam Auliya Setono Gedong Kediri. Kiai Achmad dan Gus Miek termasuk yang dimakamkan di Pesarean Auliya Tambak Mojo, sementara Makam Auliya Setono Gedong menjadi makam Syaikh Sulaiman Wasil, seorang tokoh Islam yang dihormati di Kediri. Makam Auliya Setono Gedong ini beralamatkan di Jalan Dhoho yang menjadi jantung kota Kediri.
Keenam, Al-Aurad fi al-Ma’had al-Islami al-Shiddiqi. Sebagaimana judulnya, ini adalah kitab yang berisi doa- doa atau wiridan yang biasa dibaca di Pesantren Ash- Shiddiqiyyah.
MENGHADAP SANG KHALIQ
Kiai Achmad sebenarnya telah ‘berlangganan’ masuk rumah sakit sejak tahun 1982, dua tahun sebelum terpilih sebagai Rais Am Syuriyah PBNU. Kecintaannya kepada NU dan dukungan dari kaum nahdliyyın membuatnya bersedia menduduki jabatan tertinggi di organisasi ini.
Muktamar NU ke-28 yang diselenggarakan di Pesantren Krapyak Yogyakarta kembali memilih Kiai Achmad sebagai Rais Am Syuriyah PBNU untuk kedua kalinya. Kondisi fisiknya saat itu sebenarnya telah melemah karena dimakan usia serta penyakit diabetes yang telah dideritanya bertahun-tahun. Bahkan Kiai Achmad pernah pingsan ketika menghadiri acara Munas MUI di Jakarta tahun 1990, sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Awal tahun 1991, tepatnya 6 Januari, Kiai Achmad harus dilarikan ke Rumah Sakit Umum (RSU) Dr. Subandi Jember. Kiai Achmad menjalani rawat inap selama 3 hari. Keterbatasan peralatan medis di rumah sakit ini mengharuskan Kiai Achmad dipindahkan ke RSU Dr. Soetomo Surabaya. Kiai Achmad dibawa ke rumah sakit yang biasa disebut Rumah Sakit Karang- menjangan ini tanggal 9 Januari. Menurut pemeriksaan beberapa dokter ahli, Kiai Achmad menderita komplikasi jantung, ginjal, hati, saraf, pengeroposan tulang (osteoporosis), selain diabetes yang telah lama diderita. Usianya yang semakin senja menambah derita kiai asal Jember ini.
Banyak tokoh penting di negeri ini yang menjenguknya. Ada para pengurus PBNU, Menteri Agama RI (H. Munawır Sadzali), Menteri Keuangan RI (JB. Sumarlin), Gubernur Jawa Timur (H. Soelarso), dan lain-lain. Semuanya mendoakan agar Kiai Achmad segera diberi kesembuhan. Para dokter juga berusaha sekuat tenaga membantu kesembuhan Rais Am Syuriyah PBNU ke-5 ini.
Namun Allah berkehendak lain. Pukul 13.55 WIB tanggal 23 Januari 1991 bertepatan dengan 7 Rajab 1411, Kiai Ahmad dipanggil Sang Maha Pencipta. Berita duka baru diterima keluarga di Jember pukul 14.30 WIB. Maklum saat itu belum populer telepon seluler atau HP seperti sekarang. Yang pertama kali menerima kabar duka ini adalah KH. Drs. Nadhir Muhammad, M.A., keponakan Kiai Achmad. Para santri di Pesantren Ash- Shiddiqiyyah Putra (Ashtra) langsung melakukan persiapan penyambutan jenazah. Iringan doa dan bacaan al Qur’an tak henti-hentinya mendoakan kepergian pengasuh pesantren ini. Pukul 16.30 kabar duka wafatnya Kiai Achmad diberitakan di TVRI Stasiun Surabaya. Kaum nahdliyyin menjadi tahu bahwa tokoh yang paling mereka hormati telah tiada. Berduyun-duyun orang membanjiri kediaman Kiai Achmad yang ada di komplek Pesantren Ash- Shiddiqiyyah Putra. Keluarga, sahabat, pejabat, hingga warga NU dari kampung-kampung berta’ziyah ke Jember. Namun jenazahnya masih di Surabaya.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya, jenazah Kia Achmad segera dimandikan, dikafani dan dishalati. Shalat jenazah dilaksanakan di Masjid An-Nur yang ada di kompleks rumah sakit tersebut. Berindak sebagai imam adalah KH. Imron Hamzah yang saat itu sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur. Yang melaksanakan shalat janazah adalah para keluarga Kiai Achmad dan para pengurus PWNU Jawa Timur.
Setelah selesai dishalati di rumah sakit, jenazah Kiai Achmad dibawa ke kediamannya di Jember. Di Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Putra, kembali dilaksanakan shalat jenazah. Acara pelepasan dipimpin oleh KH. Idrus Shamad yang menjadi pengasuh Pesantren Darus Salam Jember. Kata sambutan juga disampaikan oleh Bupati Jember (Priyanto Wibowo) dan H. Moh. Said yang memakili DPA karena Kiai Achmad memang anggota DPA RI.
Kemudian jenazah Kiai Achmad dibawa ke Kediri, tepatnya di Pesarean Auliya di Dusun Tambak, Desa Ngadi, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Ini memang wasiat dari Kiai Achmad yang ingin dimakamkan dı tempat tersebut. Komplek makam ini dibangun oleh KH. Hamim Thohari Djazuli atau Gus Miek, sahabat akrab Kiai Achmad. Puluhan ribu orang memberi penghor matan terakhir kepada Kiai Achmad menjelang jenazahnya diberangkatkan ke Kediri.
Jenazah Kiai Achmad sampai di Kediri pukul 15.30 WIB. Sebelum menuju Pesarean Auliya, jenazah Kiai Achmad dibawa ke Pesantren Ploso, Mojo, Kediri, kurang lebih 6 km sebelum Pesarean Auliya jika kita datang dari arah utara. Ini adalah pesantren tempat Gus Miek, sahabat Kiai Achmad, dilahırkan. Para santri dan Pesantren Ploso juga menshalatı jenazah Kıai Achmad.
Puluhan karangan bunga memberikan ucapan duka cita atas meninggalnya tokoh NU ini, seperti dari Ibu Tien Soeharto (istri Presiden Soeharto), Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menten Pendidikan dan Kebudayaan, Gubernur Jawa Timur, Kapolda, Pangdam, Bupati Kediri, Bupati Tulungagung, dan lain-lain. Sambutan atas nama PBNU disampaikan oleh Prof. KH. Ali Yafie dan sambutan atas nama pemerintah disampaikan oleh Menteri Agama RI.
Sekitar pukul 16.10 WIB jenazah diberangkatkan ke arah selatan menuju Pesarean Auliya. Upacara pemakaman selesai pukul 16.50 WIB. Kiai Achmad lahir 7 hari menjelang lahirnya NU dan wafat 8 hari menjelang harı lahir (harlah) NU yang ke-65. Kiai Achmad lahir 24 Januari 1926 sedangkan NU lahir 31 Januari 1926, dan Kiai Achmad wafat 23 Januari 1991 sedangkan NU pada tanggal 31 Januarı 1991 memasukı usianya yang ke-65.[]