Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. Achmad Siddiq (4/5)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

menjenguknya beberapa hari menjelang dia dipanggil Sang Maha Kuasa.

Selain di NU, Kiai Achmad juga aktif di beberapa organisasi lainnya. Kiai Achmad pernah aktif di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Dia pernah duduk dalam kepengurusan tingkat Jember hingga Jawa Timur. Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, Kiai Ahmad pernah terpilih sebagai Badan Eksekutif Pemerintah Jember bersama A. Latif Pane (PNI), P. Siahaan (PBI) dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Ketika Belanda datang lagi ke Indonesia yang melakukan agresi militer pertama, Kiai Achmad bergabung ke dalam pasukan Mujahidin. Kiai Achmad juga para kiai lainnya memiliki andil dan peran yang besar dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari rongrongan penjajah maupun pemberontak.

Kiai Achmad juga berkarir di lingkungan Departemen Agama (sekarang disebut Kementrian Agama). Kiai Achmad pernah diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Situbondo dan Bondowoso. Lalu Kiai Achmad juga dipercaya sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur hingga tahun 1971. Ketika KH. A. Wahid Hasyım terpilih sebagai Menteri Agama pada era Orde Lama, Kiai Achmad dipercaya gurunya ini menjadi sekretaris pribadinya.

Jabatan terakhir yang diemban Kiai Achmad ketika wafat, selain sebagai Rais Am Syuriyah PBNU, adalah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989-1991).

KARYA TULIS

Di antara pemikiran Kiai Achmad yang sangat penting adalah ‘mendamaikan antara Pancasila dan Islam. Seperti diketahui dalam sejarah, terjadi pro dan kontra ketika Orde Baru mewajibkan semua organisasi harus berasaskan Pancasila. Dan NU dalam muktamarnya ke-27 di Situbondo tahun 1984 memutuskan untuk kembalı ke khitthah 1926, tidak lagi menjadi partai politik dan menerima Pancasila sebagai asasnya. Langkah yang ditempuh NU inı kemudian dikuti oleh organisasi- organisasi lainnya. Dapat dibayangkan, andaikan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia (bahkan di dunia) menolak aturan pemerintah ini, barangkali akan terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. Keputusan NU tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Kiai Achmad.

Sebelum dilaksanakan muktamar tersebut, Kai Achmad telah menuliskan gagasan-gagasannya. Seperti ketahui, buku Khitthah Nahdliyyah yang ditulis oleh Kiai Achmad telah terbit tahun 1979, lima tahun sebelum dilaksanakan muktamar ke-27.

Kiai Achmad juga konon yang mempopulerkan istilah ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam)1, ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sesama warga negara), dan ukhuwwah basyarıyyah (persaudaraan sesama manusia). Ini menunjukkan usaha Kiai Achmad untuk mewujudkan persaudaraan yang tidak terbatas oleh sekat-sekat agama atau kewarganegaraan. Pemikiran-pemikiran Kiai Achmad akan kita ketahui dengan lebih lengkap jıka kita membaca karya-karyanya.

Kiai Achmad termasuk tokoh NU yang produktif dalam menulis. Menurut KH. Muchit Muzadi, kakak kandung Dr. KH. A. Hasyim Muzadi, kumpulan tulisan Kiai Achmad banyak yang belum diterbitkan. Jika ditimbang, kumpulan tulisan ini mungkin beratnya sampai puluhan kilo gram. Tulisan-tulisan ini disimpan oleh istri Kiai Achmad. Belum ada yang meneliti atau menyunting tulisan-tulisan tersebut. Istri Kiai Achmad mengharap Kiai Muchit melakukannya. Namun karena kesibukan dan faktor usia, Kiai Muchit tidak mampu melakukannya. Kebanyakan tulisan-tulisan tersebut berbahasa Arab sehingga butuh orang yang benar-benar mengerti bahasa Arab dan, jika ada, orang yang dekat dengan Kiai Achmad. Dan yang memenuhi kriteria ini adalah Kiai Muchit, orang yang pernah menjadi sahabat akrab Kiai Achmad ketika keduanya menjadi santri di Pesantren Tebuireng.

Ada 6 buku yang telah diterbitkan yang merupakan tulisan Kiai Achmad. Pertama, Pedoman Berfikir Nahdlatul Ulama. Buku ini diterbitkan oleh Forum Silaturahmi Sarjana Nahdlatul Ulama (POSSNU) Jawa Timur tahun 1969. Di dalamnya dibahas dasar pemikiran para mujtahid dalam berijtihad, terutama para fuqaha pengikut madzhab Syafi’i.

Kedua, Khittah Nahdliyyah yang pertama kala diterbitkan di Jember tahun 1979. Buku ini terbit 5 tahun sebelum NU menyatakan kembali ke khittah 1926 dalam muktamarnya ke-27 di Pesantren Asembagus Situbondo tahun 1984. Buku ini menunjukkan kealiman dan kejelian Kiai Achmad melihat masa depan NU yang cukup ‘suram’ saat itu. Buku ini kembali diterbitkan oleh Penerbit Khalista Surabaya yang bekerjasama dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur tahun 2005 dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang. Tulisan Kiai Achmad ini membahas tentang kedudukan ulama, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sistem bermadzhab, karakter at-tawassuth wal i’tidal, pola berorganisasi, konsepsi da’wah, ma’arif, mabarrat, ekonomi muamalah, dan lain-lain.

Ketiga, Islam, Pancasila dan Ukhuwwah Islamiyyah yang diterbitkan oleh Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PWNU Jakarta tahun 1985. Buku ini membicarakan garis-garis besar Islam, Islam dan Indonesia, hubungan Pancasila dengan Islam, dan pengembangan ukhuwah Islamiyah dan integrasi nasional.

Keempat, Pemikiran KH. Achmad Siddiq, yang berisi kumpulan makalah. Buku ini diterbitkan olah Aula Surabaya tahun 1992. Di dalamnya Kiai Achmad membahas akidah, tasawuf, khittah NU 1926, hubungan agama dan Pancasila, NKRI sebagai bentuk final, watak sosial Ahlus Sunnah wal Jamaah, serta seni dan agama.

Kelima, Dzikr al-Ghafilin li man Ahabb an Yukhsyar ma’ al-Auliya’ wa al-Shalihin. Buku ini berisi asmaul husna, tawassul al-fatihah, shalawat muqarrabin, dan lain-lain. Dalam kata pengantar kitab ini, Kiai Achmad mengatakan

(bersambung)

Catatan:

  1. Menurut Prof M. Quraish Shihab, arti ukhuwwah islamiyyah adalah persaudaraan yang bersifat Islam atau persaudaraan secara Islam, bukan persaudaraan antar sesama Muslim. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, Cetakan XXVIII, 2004), hlm. 358.