(lanjutan)
Robit Hasyimi, M. Sakib Sidqi yang menjadi dosen di Universitas Sumatra Utara (USU) di Payakumbuh, M. Hisyam Rifiki yang menjadi menantu KH. Hamim Thohari Djazuli alias Gus Miek, Ken Ismi Asiatik Afrik Rohana yang menjadi Ketua Ma’arif KH. Siddiq, Nida Dusturia yang juga menjadi menantu Gus Miek, dan M. Balya Firjaun Barlaman yang menjadi menantu adik Gus Miek, Nyai Hj. Badrıyah.
Dua anak Kiai Achmad menjadi menantu Gus Miek dan seorang menjadi menantu adik Gus Miek. Barangkali ini disebabkan kedekatan Kiai Achmad dengan kıai kharismatik asal Kediri ini. Kiai Achmad, Gus Miek dan KH. Abdul Hamid Pasuruan sama-sama memperjuangkan Jamaah Dzikrul Ghafilin. Maka, adalah sesuatu yang wajar jika antara Kiai Achmad dan Gus Miek mempererat hubungannya melalui besanan. Bahkan, Kiai Achmad juga dimakamkan di Kediri, berdekatan dengan sahabatnya ini (dijelaskan di bawah).
HOBI KIAI AHMAD
Di kediamannya, Kiai Achmad mempunyai sepeda argo. Kiai Achmad menggunakannya untuk olah raga di sela-sela kesibukannya mengajar sebelum kesehatannya menurun.
Kiai Achmad juga memiliki hobi musik yang tergolong nyeleneh untuk kalangan kiai atau pesantren. Idolanya adalah Ummi Kultsum, seorang penyanyi Timur Tengah yang dikenal di seluruh dunia. Itu masih wajar karena Ummi Kultsum menyanyikan lagu Arab yang masih ‘dekat dengan Islam yang lahir di Arab. Namun, Kiai Achmad ternyata juga mengidolakan Michael Jackson, raja pop legendaris yang penuh sensasi dan kontroversial. Rais Am Syuriyah PBNU ke-5 ini juga mengoleksi lagu-lagu rock, seperti karya group Smoke dan Magnetic Field IV dari Jean Michael Jarre. Musik yang mengiringi lagu Euis Darliah juga tak luput dari perhatian Kiai Achmad.
Barangkali, kesamaan hobi antara Kiai Achmad dan Gus Dur, yakni sama-sama menyukai musik Barat, termasuk hal yang membuat keduanya kompak ketika menahkodai kapal besar yang bernama Nahdlatul Ulama, dengan Kiai Achmad sebagai Rais Am Syuriyah PBNU dan Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidzıyah PBNU.
BERKHIDMAH KEPADA NAHDLATUL ULAMA
Kiai Achmad telah mengenal NU sejak kecil. Ayahnya adalah seorang kiai besar yang memiliki kedekatan dengan sejumlah ulama, dan NU memang organisasi para ulama atau kiai. Sejak usia 9 tahun, Kiai Ahmad telah ditinggal wafat ayahnya, lalu diasuh kakaknya, KH. Mahfuzh Siddiq, yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU.
Berikutnya, Kiai Achmad belajar di Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Hadratusy Syaikh KH. M Hasyim Asy’ari yang tidak lain adalah pendiri sekaligus Rais Akbar NU. Kiai Achmad juga dekat dengan KΗ. Α. Wahid Hasyim yang juga pernah menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Orang-orang itulah yang banyak mempengaruhi Kiai Achmad untuk terjun ke dalam organisasi para ulama ini.
Khidmah Kiai Achmad terhadap NU dimulai darı kepengurusan NU cabang Jember hingga tingkat wilayah Jawa Timur. Bahkan Kiai Achmad terpilih sebagai Ketua PWNU Jawa Timur, jabatan yang pernah juga disandang oleh kakaknya, KH. Abdullah Siddiq. Dalam pemilu pertama di negeri ini tahun 1955, Kiai Achmad terpilih sebagai anggota DPR, namun tidak lama kemudian dia mengundurkan diri. Kiai Achmad merasa ada beberapa perbedaan prinsip antara dirinya dengan tokoh-tokoh NU lainnya, terutama persoalan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme). Nasakom adalah ide Soekarno untuk menyatukan tiga kekuatan politik besar saat itu.
Kursi DPR kembali diduduki Kiai Achmad dalam pemilu tahun 1971. Tahun 1971-1977 Kiai Achmad menjadi anggota DPR RI mewakili Partai NU. Namun sejak tahun 1977, Kiai Achmad tidak lagi terjun di dunia politik. Dia memilih menjadi pengasuh pesantren di Jember.
Barangkali ide bahwa NU harus kembali ke khittah 1926 yang dicetuskan Kiai Achmad serta para tokoh NU lainnya dipengaruhi oleh pengalaman mereka ketika terjun ke politik. Kiai Achnad tahu betul bagaimana posisi NU dalam percaturan politik dan apakah NU akan lebih bermanfaat jika menjadi partai politik atau tidak. Maka, dalam muktamarnya ke-27 di Pesantren Asembagus Situbondo Jawa Timur, NU menyatakan diri keluar dari partai politik atau kembali ke khittah 1926. Kiai Achmad termasuk di antara mereka yang getol memperjuangkan-nya, bahkan Kiai Achmad terpilih sebagai Rais Am Syuriyah PBNU saat itu mendampingi Gus Dur yang terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidzıyah PBNU.
Meski NU secara formal telah menyatakan keluar darı partai politik, ada saja tokoh NU yang menginginkan agar NU tetap menjadi organisasi politik, terutama usulan ini datang dari orang-orang yang dirugikan dengan keputusan NU kembali ke khittah 1926. Duet Kiai Achmad dan Gus Dur berusaha mempertahankan keputusan muktamar NU ke-27 tersebut.
Tidak hanya itu, NU juga sempat mengalamı ‘kegoncangan’ dengan keputusan KH. As’ad Syamsul Arifin, pengasuh Pesantren Asembagus Situbondo, untuk mufaraqah dari kepemimpinan Gus Dur. Kedekatan Gus Dur dengan sejumlah orang non Muslim maupun pernyataannya yang seringkali kontroversial membuat Kiai As’ad memilih mufaraqah. Dengan kata lain, Kiai As’ad tidak mau NU dipimpin oleh Gus Dur, meskipun yang mengangkat Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU tidak lain adalah Kiai As’ad. Sedikit ‘kegoncangan’ ini akhirnya mereda dengan usaha yang dilakukan Kiai Achmad dengan mendekati sejumlah tokoh NU. NU (akhirnya-ed.) tetap utuh.
Muktamar ke-28 yang diselenggarakan di Pesantren Krapyak Yogyakarta tahun 1989 kembali memilih duet Kiai Achmad dan Gus Dur sebagai Rais Am Syuriyah PBNU dan Ketua Umum Tanfidzıyah PBNU. Ketika itu, kondisi fisik Kiai Achmad sudah kurang mendukung. Kiai asal Jember ini sering sakit-sakitan dan pendengarannya mulai berkurang. Kiai Achmad pernah pingsan karena memaksakan diri menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) MUI di Jakarta tahun 1990. Januari tahun 1991, Kiai Achmad masuk Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Dalam kondisi dirawat, Kiai Achmad pernah berkata, “Tugas saya di NU telah selesai.” Pernyataan ini keluar dari bibirnya ketika ada rombongan PBNU yang
(bersambung)