(lanjutan)
jika shalatnya baik, maka amal perbuatan lainnya akan juga bernilai baik, sebaliknya, jika shalatnya buruk, maka amal perbuatan lainnya juga akan bernilai buruk. Maka, Kiai Muhammad Siddiq telah mendisiplinkan anaknya untuk mengerjakan shalat sejak masih anak-anak.
Yang juga sangat mewarnai perkembangan pendidikan Kiai Achmad kecil adalah sang kakak, Kiai Mahfuzh Siddiq. Seperti disebutkan di atas, sejak Kiai Achmad ditinggal wafat sang ayah ketika masih berusia 9 tahun, orang yang menjadi ‘orangtua’nya adalah Kiai Mahfuzh. Di tengah kesibukannya sebagai pemimpin NU, Kiai Mahfuzh masih menyempatkan waktu untuk mendidik adiknya, Kiai Achmad. Kiai Mahfuzh mengajari Kiai Achmad tentang cara membaca kitab kuning.
Selesai menamatkan Sekolah Dasar (SD), Kiai Achmad dikirim oleh Kiai Mahfuzh ke Pesantren Tebuireng Jombang yang saat itu diasuh oleh sang pendiri, Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Kiai Achmad masuk ke Pesantren Tebuireng tahun 1930-an. Ketika itu, KH. A. Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di Pesantren Tebuireng. Di antara yang dilakukannya adalah mendirikan Madrasah Nizhamiyah, nama yang sama dengan madrasah yang dibangun oleh Perdana Menteri Nizhamul Muluk di era Abbasiyah dengan Imam al- Ghazali sebagai pimpinannya.
Di madrasah ini, Kiai Achmad langsung masuk ke kelas 4. Modal pelajaran dari sang kakak yang menjadikannya langsung ‘loncat’ di kelas 4. Namun, madrasah ini akhirnya ditutup dan digabungkan dengan Madrasah Salafiyah karena Kiai Hasyim yang kurang berkenan dengan kehadiran madrasah tersebut.
Kiai Achmad yang cerdas dan berasal dari keluarga kiai menjadi perhatian tersendiri bagi Kiai Wahid. Oleh Kiai Wahid, Kiai Achmad ditempatkan dalam kamar tersendiri. Kiai Wahid juga mengajarkan bagaimana membuat konsep dan bagaimana mengetik. Kelak Kiai Achmad diangkat sebagai sekretaris pribadi Kiai Wahid ketika ayah Gus Dur ini menjadi Menteri Agama RI. Jabatan sebagai sekretaris pribadi inilah yang kelak mengubah sedikit demi sedikit kondisi ekonomi keluarga Kiai Achmad yang sebelumnya morat-marit.
Di Pesantren Tebuireng ini, Kiaı Achmad bersahabat dengan KH. Abdul Muchit Muzadi, kakak kandung Dr. KH. A. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU) dan KH. Shodiq Mahmud, keponakan Kiai Achmad yang pernah menjadi Rais Syuriyah PCNU Jember dan ketua MUI Jember. Ketika itu mereka masih remaja dalam proses belajar.
Kelak Kiai Achmad bersahabat akrab dengan Kiai Muchit hingga sama-sama tua. Keduanya sering berdiskusi tentang banyak hal, khususnya berkaitan dengan NU, lebih khusus lagi persoalan khitttah NU. Kiai Ahmad yang dikenal sebagai kutu buku, banyak membaca berbagai literatur, membuat teman-temannya merasa senang berdiskusi dengannya, terutama sahabat karibnya, Kai Muchit yang sekarang tinggal di Jember.
Kiai Achmad juga menjadi anggota Jamiyyah Sudut yang kegiatannya adalah mendiskusikan pelajaran. Namun Kiai Achmad tidak selalu hadir dalam kegiatannya. Kiai Achmad biasanya hadir ketika yang didiskusikan adalah pelajaran-pelajaran sulit, seperti nahwu, sharaf, faraidh, ilmu falak, dan lain-lain. Kecerdasan Kiai Achmad dan kedekatannya dengan Kiai Wahid membuat para guru memperlakukan Kiai Achmad secara berbeda dan dihormati teman-temannya.
MEMBANGUN RUMAH TANGGA
Meskipun berasal dari keluarga kiai besar, Kiai Achmad bukanlah tergolong orang kaya. Pernah suatu ketika Kiai Achmad menjual beberapa bajunya ke pasar untuk keperluan membeli rokok. Walau dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, pada tanggal 23 Juni 1947 Kiai Achmad berani melamar gadis asal Mangunsarı Tulungagung, yaitu Sholihah binti KH. Abdul Mujib. Dalam resepsi pernikahan, Kiai Achmad tidak memakai jas karena memang tidak mampu membeli jas. Untuk perjalanan ke Tulungagung, kiai asal Jember ini meminjam uang sebesar 200 rupiah, jumlah yang cukup besar saat itu.
Di tahun-tahun awal pernikahannya, kesulitan ekonomi juga masih menyertai pasangan pengantin baru ini. Tidak jarang Kiai Achmad makan nasi dengan lauk berupa pepaya mentah yang digoreng. Kehidupan Kiai Achmad mulai sedikit demi sedikit membaik setelah dipercaya menjadi sekretaris pribadi KH. A. Wahid Hasyim yang saat itu menjadi Menteri Agama RI. Kiai Wahid adalah guru Kiai Achmad ketika masih belajar di Pesantren Tebuireng.
Kedekatan Kiai Achmad dengan Kiai Wachid inilah barangkali menjadi salah satu sebab kecocokan dan keserasian duet Kiai Achmad-Gus Dur ketika memimpin NU. Kiai Achmad sebagai Rais Am Syuriyah PBNU dan Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Gus Dur, atau KH. Abdurrahman Wahid tidak lain adalah putra sulung Kiai Wahid.
Pernikahan Kiai Achmad dengan Nyai Hj. Sholihah membuahkan 5 orang anak, yaitu H. Farid Wajdi yang kemudian menggantikan sang ayah mengasuh Pesantren Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Putra, H. Rofiq Azmi yang pernah menjadi camat di salah satu kecamatan dı Jember, lalu Hj. Fatati Nurjanah, lalu M. Farikh Fauzi yang diambil menantu oleh KH. Thoha Mu’id pengasuh Pesantren al-Ishlah Bandar Kidul Kediri, dan Muhammad Anis Fuadi yang meninggal ketika masih kecil.
Tahun 1955 Nyai Hj. Sholihah dipanggil Sang Maha Kuasa. Padahal saat itu keempat anaknya (anak ke-5 meninggal ketika masih kecil) masih kecil-kecil. Anak- anak ini dekat dengan Nyai Hj. Nihayah, adik ketiga dari Nyai Sholihah. Akhirnya mereka diasuh oleh Nihayah. Karena kedekatan anak-anak Kıai Achmad dengan bibi mereka, Kiai Achmad dianjurkan saudara-saudaranya untuk menikahi Nihayah. Kiai Achmad menyetujui anjuran dari saudaranya ini, dan Kiai Abdul Mujib, mertua Kiai Achmad, juga tidak menolaknya. Akhirnya dilaksanakan pernikahan antara Kiai Achmad dengan Nyai Hj. Nihayah pada tanggal 22 September 1955.
Meskipun telah berumah tangga, Kiai Achmad tidak menghalangi keinginan istrinya untuk terus belajar. Istri kedua Kiai Achmad ini melanjutkan studinya dengan kuliah di IAIN Jember. Gelar doktoranda (Dra.) akhirnya diperoleh tahun 1988. Dari pernikahannya yang kedua, Kiai Achmad dikaruniai 7 orang anak. Mereka adalah Asni Furaidah,
(bersambung)