Rais Am Syuriyah PBNU ke-5
KH. ACHMAD SIDDIQ
KH. ACHMAD Siddiq adalah Rais Am Syuriyah PBNU yang mendampingi Gus Dur memperjuangkan kembalinya NU ke khittah 1926. Dialah kiai yang pendapatnya dapat meredakan pro-kontra tentang penerimaan NU atas asas tunggal Pancasila. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan di Jember, Kiai Ahmad dimakamkan di Kediri, berdekatan dengan makam sahabat karibnya, Gus Miek alias KH. Hamim Thohari Djazuli.
ASAL-USUL KELUARGA
Tepat seminggu atau 7 hari sebelum kelahiran NU 31 Januari 1926, telah lahir seorang bayi yang kelak memimpin organisasi para ulama ini. Dia adalah Achmad Siddiq yang lahir di Jember, Jawa Timur, tanggal 24 Januari 1926 yang bertepatan dengan 10 Rajab 1344. Dia adalah putra dari pasangan KH. Muhammad Siddiq dan Nyai Hj Zaiyah. Bayi tersebut kelak dikenal sebagai KH. Achmad Siddiq yang menjadı Rais Am Syunyah PBNU ke-5. Posisi terhormat ini ditempati Kıai Achmad, panggilan akrabnya, sejak tahun 1984 hingga meninggal pada tahun 1991.
Kiai Muhammad Siddiq adalah seorang kiai di Jember yang telah menurunkan banyak tokoh NU. Jika ditelusuri garis silsilahnya ke atas, Kiai Muhammad Siddiq masih keturunan Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya atau Mas Karebet, pendiri Kerajaan Islam Pajang. Kiai Muhammad Siddiq memiliki 4 orang istri, yaitu Nyai Masmunah, Nyai Maryam atau Nyai Zakiyah, Nyai Mardhiyah, dan Nyai Siti Fatimah. Hanya saja, pernikahannya dengan istri ke-4 berakhir dengan perceraian dan tidak memberinya keturunan. Sementara ketiga istrinya memberinya 25 anak, namun hanya 10 orang yang bertahan hidup hingga dewasa. Menurut urutannya, Kiai Achmad adalah anak ke-16 dari 25 bersaudara.
Nyai Masmunah memberi keturunan 7 orang anak namun 3 orang meninggal. Tiga orang yang meninggal adalah Siti Masruah, Asiyah dan Abdul Karim. Adapun yang hidup adalah Masrur yang kelak dikenal sebagai KH. Mansur Tuban, Nyai Siti Roichanah Lasem yang menjadi ibu KH. Abdul Hamid Pasuruan1, KH. Ahmad Qusyairi Pasuruan yang merupakan mertua KH. Abdul Hamid Pasuruan, dan KH. Mahmud yang menjadi ayah dari KH. Hamid Wijaya (pernah menjadı Katib Am Syuriyah PBNU).
Lalu, Nyai Maryam yang kemudian dikenal sebagai Nyai Zakiyah memiliki 9 orang anak namun 4 orang di antaranya meninggal di waktu masih kecil. Yang meninggal bernama Abdullah, Khadijah, Muhammad, dan Ahmad Muhammad. Adapun yang masih hidup hingga dewasa adalah Muhammad Mahfuzh yang lebih dikenal sebagai KH. Mahfuzh Siddiq (pernah menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU pada tahun 1930-an), KH. Abdul Halim yang menjadi pengasuh Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Putra (Ashtra), Zainab, KH. Abdullah Siddiq (pernah menjadi Ketua PWNU Jawa Timur), dan KH. Achmad Siddiq yang dibicarakan dalam buku ini.
Kemudian, pernikahan Kiai Muhammad Siddiq dengan Nyai Mardhiyah membuahkan 9 orang anak, namun 8 orang meninggal ketika masih kecil. Delapan orang yang meninggal adalah Abdurrochim, Ummu Athiyah, Muhammad Sholeh, Sakinah, Maskunah, Muhammad, Asiyah, dan Shafiyah. Yang masih hidup hingga dewasa adalah Nyai Hj. Zulaikho’ yang menjadi istri KH. Dhofir Salam, pengasuh Pesantren Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Putra.
Ketika baru berusia 2 tahun, Kiai Achmad telah ditinggal ibunya untuk selama-lamanya. Saat itu Nyai Zakiyah wafat dalam perjalanan pulang setelah menunaikan ibadah haji. Ibu Kiai Achmad ini wafat di Laut Merah dan jenazahnya dimasukkan peti lalu ditenggelamkan ke laut sesuai tradisi saat itu. Maklum, dulu perjalanan haji membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan kendaraan berupa kapal laut. Jika ada yang meninggal di kapal dan tidak segera dikuburkan, maka jenazahnya akan ditenggelamkan ke laut. Jika jenazahnya disimpan untuk dikuburkan di darat ketika sudah sampai tujuan, kemungkinan besar jenazah tersebut akan membusuk. Oleh karena itu, jika ada penumpang kapal yang meninggal, mayatnya akan dikebumikan ke laut.
Tujuh tahun kemudian, Kiai Muhammad Siddiq menyusul istrinya menghadap Sang Maha Kuasa. Maka, Kiai Achmad menjadi yatim piatu. Di saat Kiai Muhammad Siddiq wafat, masih ada 2 anaknya yang masih tergolong kecil atau belum dewasa. Mereka adalah Abdullah Siddiq dan Achmad Siddiq. Oleh karena itu, dilakukan pembagian tugas di antara kedua kakak laki-lakinya, Kiai Abdul Halim dan Kiai Mahfuzh Siddiq, untuk mengasuh mereka. Kiai Abdul Halim mengasuh Abdullah Siddiq, dan Kiai Mahfuzh Siddiq mengasuh Achmad Siddiq. Yang perlu diketahui, ketika itu Kiai Mahfuzh Siddiq adalah seorang tokoh NU, bahkan pernah menjadi Ketua Umum Tanfidzıyah PBNU. Maka, Kiai Achmad banyak dipengaruhi oleh kepribadian sang kakak, terutama kecintaannya dengan NU.
Jika dilihat keluarga besar Kiai Muhammad Siddiq di atas, Kiai Achmad memang pantas menduduki posisi sebagai Rais Am Syuriyah PBNU. Kiai Achmad memang lahir dan dibesarkan di lingkungan nahdliyyin.
MENUNTUT ILMU
Sebagai anak kiai, Kiai Achmad belajar agama pertama kali kepada sang ayah, Kiai Muhammad Siddiq. Meskipun hanya 9 tahun dapat melihat wajah sang ayah, Kiai Achmad banyak belajar kepadanya, terutama masalah shalat. Kiai Muhammad Siddiq sangat keras dalam mendidik anaknya agar disiplin mengerjakan shalat 5 waktu. Anak-anaknya, termasuk Kiai Achmad kecil, diharuskan mengerjakan shalat 5 waktu secara berjamaah.
Kiai Muhammad Siddiq benar-benar melaksanakan sabda Nabi, yaitu memerintahkan anak agar menjalankan shalat ketika ia telah berusia 7 tahun dan memukulnya karena meninggalkan shalat jika telah berusia 10 tahun. Dalam hadis lain, Nabi bersabda bahwa shalat adalah amal vang pertama kali ditanyakan kelak di Hari Kiamat,
(bersambung)