(lanjutan)
Tanfidziyah
Ketua : H. Hasan Gipo Ampel Surabaya
Wakil Ketua : H. Ahzab Paneleh Surabaya
Sekretaris : Muhammad Shadiq Kawatan Surabaya
Wakil : Muhammad Hadi Shadiq Tembok Surabaya
Wakil : Badrun Surabaya
Bendahara : H. Ihsan Ampel Surabaya
Wakil : H. Abdul Fatah Bubutan Surabaya
Pembantu : H. Saleh Syamil Ampel Surabaya
H. Nawawi Jagalan Surabaya
H. Burhan Pasarbesar Surabaya
H. Siraj Gemblongan Surabaya
H. Dahlan Bubutan Surabaya
H. Abdul Manan Bubutan Surabaya
H. Ja’far Pasarbesar Surabaya
H. Abdullah Hakim Petukangan Surabaya
H. Ihsan Kepuhsari Surabaya
H. Dahlan Lawangseketeng Surabaya
H. Yasin Kawatan Surabaya
H. Shaleh Sukodono Surabaya
H. Nahrawi Bubutan Surabaya
H. Abdus Syukur Petukangan Surabaya
Pada awal masa pendudukan Jepang, KH. M. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar NU dan KH. Mahfuzh Siddiq selaku Ketua NU serta para kiai lainnya ditahan oleh Jepang. Alasannya adalah mereka tidak mau melakukan saikeirei, yakni menundukkan badan menyerupai rukuk shalat menghadap ke timur ke arah Kaisar Jepang. Kiai Wahab bersama Kiai Wahid Hasyim yang masih muda berusaha membebaskan para tokoh NU ini. Keduanya berulangkali menemui Saikoo Siki Kan (panglima tertinggi bala tentara Jepang), Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) di Jakarta dan Shuutyokan (residen Jepang di Surabaya) untuk segera membebaskan tokoh-tokoh NU, terutama Kiai Hasyim. Lima bulan lamanya Kiai Wahab dan Kiai Wahid berjuang dan akhirnya membuahkan hasil.
Setelah tugas ini selesai, Kiai Wahab bersama R. H. Muchtar, konsul NU Jawa Tengah, berjuang membebaskan tokoh-tokoh NU Jawa Tengah, seperti KH. Chasbullah dan KH. Masykuri, yang ditahan Jepang di Wonosobo. Butuh waktu 4 bulan Kiai Wahab bolak-balik ke Wonosobo dan akhirnya berhasil membebaskan mereka.
Jepang sangat berambisi memenangkan Perang Asia Timur melawan Sekutu. Untuk mendukung keberhasilan ambisinya ini, Jepang menambah jumlah pasukan militer. Jepang membentuk Pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Para ulama yang saat itu sudah dekat dengan Jepang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Maka akhirnya terbentuk Laskar Hizbullah di bawah pimpinan KH. Zainul Arifin, Lasykar Sabilillah di bawah pimpinan KH. Masykur, dan Barisan Kiai di bawah komando Kiai Wahab. Kiai Wahab menduduki posisi sebagai Rais Am PBNU setelah Kiai Hasyim Asy’ari wafat tanggal 25 Juli 1947. Posisi Kiai Hasyim disebut Rais Akbar, namun Kiai Wahab hanya mau disebut sebagai Rais Am.
Peran besar yang dilakukan Kiai Wahab ketika menjadi Rais Am PBNU adalah keluarnya NU yang saat itu menjadi partai dari Masyumi tahun 1952. Pada tahun 1949 dilaksanakan Kongres Masyumi di Yogyakarta yang berhasil mengantarkan Mohammad Natsir sebagai ketua. Natsir membatasi peran dari Majelis Syuro yang dipimpin oleh Kiai Wahab. Dari sinilah mulai ada ketidakpuasan para tokoh NU di Masyumi. Lalu, pada tahun 1950 dilaksanakan Muktamar NU di Jakarta.
Komisi Organisasi dengan dukungan Kiai Wahab mengusulkan agar NU segera keluar dari Masyumi. Seperti tahun 1920-an, Kiai Wahab juga meminta dukungan dari para kiai atas usulannya tersebut. Namun dukungan yang diharapkan ternyata belum didapatkan. Banyak tokoh NU yang ragu atas kebesaran NU jika keluar dari Masyumi. Negosiasi dengan Masyumi juga dilakukan tapi belum membawa hasil.
Dua tahun selanjutnya, Februarı 1952, Masyumi menghapus calon Menteri Agama dari NU, padahal jabatan Menteri Agama adalah ‘kursi langganan’ NU. Kiai Wahab semakin marah. Rais Am PBNU ini 2 kali mengirim surat kepada Masyumi agar mengubah keputusannya menghapus calon menteri dari NU, dan sekali surat kepada Soekarno agar terlibat dalam penentuan menteri. Kiai Wahab memberi batas waktu 2 hari kepada Masyumi agar mengubah keputusannya. Akan tetapi tanggal 26 Maret 1952 justru Masyumi menetapkan KH. Fakih Utsman dari Muhammadiyah sebagai calon Menteri Agama.
Kesabaran tokoh NU, khususnya Kiai Wahab, telah habis. Muktamar NU di Palembang, Sumatra Selatan, bulan April 1952 secara resmi memutuskan NU keluar dari Masyumi. NU menjadi partai tersendiri. Banyak yang mencibir NU keluar dari Masyumı karena tidak banyak memiliki kader yang berpendidikan sekuler. NU tudak banyak memiliki pengacara, ınsıyur, atau dokter.
Menghadapi cibıran ini, Kiai menjawab, “Kalau saya beli mobil baru, penjualnya tidak akan tanya saya bisa menyetır atau tidak. Jika tidak dapat menyetır, saya tinggal pasang iklan ‘dicari sopir’, besok pagi akan banyak yang melamar menjadi sopir.”
Hanya persiapan 3 tahun NU lalu mengikuti pemilu pertama di negeri ini tahun 1955. Hasilnya NU masuk 3 besar setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi, lalu posisi keempat ditempati Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak yang kagum atas perolehan suara NU. Dan yang paling berjasa melepaskan NU dari ‘jeratan’ Masyumi adalah Kıai Wahab.
MENGHADAP SANG KHALIQ
Tahun 1967 ketika diselenggarakan muktamar NU di Bandung, Jawa Barat, para peserta muktamar tidak lagı memilih Kiai Wahab sebagai Rais Am Syuriyah PBNU. Kiai Wahab tidak lagi dipilih karena kondisi fisiknya yang lemah sebab usia serta penglihatannya yang mulai berkurang. Lima tahun lamanya Kiai Wahab tidak dapat melihat dengan jelas. Awalnya kepala Kiai Wahab terkena benturan tas salah seorang penumpang di kereta. Kiai Wahab tidak begitu mempedulikannya. Beberapa saat kemudian benturan ini menyebabkan kemampuan penghilatannya mulai berkurang. Kiai Wahab juga berobat ke beberapa dokter, namun tidak juga kunjung sembuh. Teman-temannya menyarankan agar berobat ke luar negeri, namun Kiai Wahab tidak mau.
Nah, sebagai pengganti Kiai Wahab sebagai Rais Am Syuriyah PBNU, peserta muktamar lebih memilih adik ipar Kiai Wahab, Kiai Bisri Syansuri. Namun, Kiai Bisri tidak mau menjadi Rais Am selagi masih ada Kiai Wahab. Kiau Bisri lebih memilih hanya menjadi Wakil Rais Am saja. Maka jabatan Rais Am Syuriyah PBNU akhirnya tetap diduduki Kiai Wahab.
Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya tetap menetapkan Kiai Wahab sebagai Rais Am PBNU. Itu adalah muktamar ke-25 atau yang terakhir bagi Kiai Wahab. Meskı dalam kondisi sakit, Kiai Wahab hadir dalam muktamar tersebut. Kiai Wahab juga sempat mengikuti pemilu tahun 1971 untuk memberikan suaranya kepada Partai NU yang didirikannya.
Empat hari setelah menghadiri muktamar, Kiai Wahab dipanggil Sang Maha Kuasa di kediamannya, kompleks Pesantren Tambakberas Jombang. Orang yang berjasa dan berjuang keras dalam berdirinya NU ini wafat pada hari Rabu, 29 Desember 1971. Kiai Wahab wafat pukul 10.00 dan dimakamkan pukul 17.00 hari itu juga Pesantren Tambakberas yang luasnya sekitar 7 hektar saat itu tidak mampu menampung jumlah orang- orang yang ingin berta’ziyah dan memberi penghormatan terakhir kepada Kiai Wahab. Semua orang ingin mendekati jenazah Kiai Wahab. Ada KH. Masykur Singosari Malang, KH. Mahrus Aly Lirboyo Kediri, dan KH. R. As’ad Syamsul Arifin Asembagus Situbondo yang berusaha mendekat dengan mobilnya masing-masing. KH. Muhammad Dahlan dan H. Imron Rosyadi, SH, KH. Achmad Syaikhu (anak tiri Kiai Wahab) dan Drs. Zamroni dari PBNU segera terbang dari Jakarta. Kiai Bisri Syansuri, KH. Adlan Ali, Habib Umar dari Surabaya dengan suara terputus-putus membaca talqin, doa, dan pidato atas nama keluarga dan Partai NU. Banyak kiriman ucapan duka cita termasuk dari Presiden Soeharto.
Dengan wafatnya Kiai Wahab, Kiai Bisri Syansuri, sahabat sekaligus sang adik ipar, menggantikan posisi sebagai Rais Am Syuriyah PBNU.[]