(lanjutan)
Yang menarik, meskipun Kiai Wahab berperan besar dalam berdirinya NU, dia rela ‘hanya’ menjadi Katib Awal (sekretaris satu) Syuriah. Posisi tertinggi sebagai Rais Akbar (kelak disebut sebagai Rais Am) diserahkan kepada Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Ini sebagai bentuk penghormatan Kiai Wahab kepada gurunya tersebut. Selain itu, dengan Kiai Hasyim menduduki posisi puncak, para kiai lainnya akan dengan mudah bergabung ke dalam NU. Di awal berdirinya, NU sangat memerlukan dukungan dari para kiai sebanyak mungkin dan itu akan lebih mudah diperoleh dengan wibawa besar Kiai Hasyim.
SUSUNAN KEPENGURUSAN NAHDLATUL ULAMA 1926
Syuriyah
Rais Akbar : KH. M. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang
Wakil Rais : KH. A. Dachlan Achyad Surabaya
Katib Awal : KH. A. Wahab Hasbullah Surabaya/Jombang
Katib Tsani : KH. Abdul Halim Leuimunding Cirebon
Anggota : KH. Mas Alwi Abdul Aziz Surabaya;
KH. Ridlwan Abdullah Bubutan Surabaya
KH. Said Surabaya
KH. M. Bisri Syansuri Denanyar Jombang
KH. Abdullah Ubaid Surabaya
KH. Nachrawi Thahir Malang
KH. Amin Abdus Syukur Surabaya
KH. Amin Praban Surabaya
KH. Hasbullah Plampitan Surabaya
KH. Syarif Surabaya
KH. Yasin Surabaya
KH. Nawawi Amin Surabaya
KH. Dahlan Abdul Kahar Mojokerto
KH. Abdul Aziz Surabaya
KH. Abdul Hamid Jombang
KH. Abdul Majid Surabaya
KH. Masyhuri Lasem Rembang
Mustasyar
KH. Moh. Zubair Gresik;
KH. R. Asnawi Kudus
KH. Ridlwan Muhajid Semarang
KH. Mas Nawawi Pasuruan
KH. Doro Munthaha Bangkalan
KH. R. Hambali Kudus
Syaikh Ahmad Ghana’im Surabaya (asal Mesir)
Tanfidziyah
Ketua : H. Hasan Gipo Surabaya
Wakil Ketua : H. Saleh Syamil Surabaya
Sekretaris : Moh. Shadiq Sugeng Surabaya
Wakil : H. Nawawi Surabaya
Bendahara : H. Mohammad Burhan Surabaya
Wakil : H. Ja’far Surabaya
Pembantu : H. Saleh Jamil Surabaya;
H. Ihsan Surabaya
H. Ja’far Alwan Surabaya
H. Utsman Surabaya
Utsman Ampel Surabaya
H. Achzab Surabaya
H. Nawawi Surabaya
H. Dahlan Bubutan Surabaya
H. Muhammad Mangun Surabaya
H. Abdul Hakim Surabaya
K. Zein Surabaya
H. Ghazali Surabaya
H. Sidiq Surabaya
H. Abdul Kahar Surabaya (penasehat tanfidziyah)
H. Ibrahim Surabaya (penasehat tanfidziyah)
Rapat tersebut berlangsung pada bulan Rajab. Biasanya kaum Muslim tradisional mempunyai kebiasaan untuk merayakan bulan Rajab, dan dua bulan setelahnya, Sya’ban dan Ramadhan. Pada bulan Rajab mereka memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad s.a.w., pada bulan Sya’ban mereka merayakan nishfu sya’ban, dan pada bulan Ramadhan mereka berpuasa pada siang harinya dan shalat tarawih 20 rakaat serta tadarus pada malam harinya. Karena itu, selama 3 bulan ini Komite Hijaz tidak melaksanakan kegiatan apapun selain merayakan ketiga bulan tersebut.
Meskipun begitu ada 3 orang yang ditugaskan menggalang dana untuk membiayai keberangkatan Kiai Asnawi ke Mekkah. Mereka adalah Kiai Wahab, H. Hasan Gipo dan H. Burhan. Mereka mencari dana di Surabaya dan sekitarnya dengan menyerbarkan list sehingga terkumpul uang sebesar f. 1500.38/2.
Memasuki bulan Syawal atau pertengahan April 1926, ketiga orang ini menghubungi Kiai Asnawi di Kudus untuk bersiap-siap berangkat ke Mekkah. Namun takdir berkata lain. Ternyata kapal yang berangkat ke Mekkah dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya telah berangkat. Kiai Asnawi ketinggalan kapal. Kiai Asnawi batal menghadisi Kongres Islam Sedunia di Mekkah. Kiai Wahab segera mengirim telegram hingga 2 kali kepada Ibnu Saud yang berisi pesan yang sedianya akan disampaikan Kiai Asnawi andaikan menghadiri Kongres Islam Sedunia. Ibnu Saud tidak membalas telegram dari Kiai Wahab. Maka, NU segera mengambil tindakan untuk menentukan delegasi baru untuk menghadap Ibnu Saud.
Dan yang menjadi delegasi adalah Kiai Wahab dan Syaikh Ahmad Ghanaim al-Mishri.
Kiai Wahab berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak tanggal 29 Maret 1928, lalu menunggu Syaikh Ahmad Ghanaim di Singapura yang menyusul seminggu kemudian. Limabelas hari lamanya Kiai Wahab singgah di Singapura. Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang ini berhasil mengadakan propaganda dengan mengadakan pertemuan dengan para tokoh masyarakat, seperti Syaikh Ahmad Hakim, Fadlullah Suhaimi, Encik Mas’ud, dr. Munsyi, dan lain-lain.
Lalu Kiai Wahab dan Syaikh Ahmad Ghanaim melanjutkan perjalanannya dan sampai di Hijaz 7 Mei 1928. Tiga hari kemudian, 10 Mei 1928, mereka menghadap Ibnu Saud. Mereka disambut baik dengan penguasa Haramain ini. Kiai Wahab dan Syaikh Ahmad Ghanaim menyampaikan pesan yang awalnya akan disampaikan oleh Kiai Asnawi. Dan Ibnu Saud berjanji akan memberlakukan praktek keagamaan di tanah suci sebagaimana yang diminta oleh NU.
Selesai menunaikan tugas penting ini, Kiai Wahab memanfaatkan waktunya untuk menunaikan ibadah haji. Adapun Syaikh Ahmad Ghanaim pulang ke Mesir, tanah kelahirannya. Kiai Wahab pulang ke tanah air dan sampai di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 27 Juni 1928. Pendiri NU ini disambut dua sahabatnya, Kiai Bisri Syansuri Denanyar Jombang dan Kiai Ridlwan Abdullah Bubutan Surabaya. Kemudian Kiai Wahab mengadakan rapat terbuka di Masjid Ampel Surabaya yang dihadiri ribuan warga nahdliyyin dari Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan lain-lain.
Muktamar pertama NU berlangsung tanggal 21-23 September 1926 yang bertepatan dengan 14-16 Rabiul Awal 1345 di Hotel Muslimın Jalan Paneleh Surabaya. Perhelatan besar ini dihadiri 93 kiai dari Jawa dan Madura, serta 3 kiai dari luar Jawa, yaitu Kiaı Abdullah dari Palembang Sumatra Selatan, Kiai Abu Bakar darı Kalimantan, dan Kiai Abdul Kadir dari Martapura. Muktamar pertama ini berhasil memutuskan 21 masalah. Yang terpenting di antaranya adalah masalah madzhab, yakni keharusan bagi umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk mengikuti salah satu dari 4 madzhab.
Muktamar NU kedua yang dilaksanakan pada tanggal 9-11 Oktober 1927 bertepatan dengan 14-16 Rabi’ul Awal 1346 di tempat yang sama tetap mempertahankan susunan kepengurusan lama. Perubahan baru dilakukan pada muktamar NU ketiga di tempat yang sama yang dilaksanakan tanggal 28-30 September 1928 bertepatan dengan 23-25 Rabi’uts Tsani 1347.
Dalam muktamar ketiga ini juga mulai dilaksanakan pemilihan pengurus berdasarkan suara terbanyak. Ada 3 pengurus NU yang ditugaskan mengurus surat permohonan ijin (rechtspersoon) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta, yaitu KH. Said bin Shaleh (wakil rais), H. Hasan Gipo (ketua tanfidziyah), dan Muhammad Shadiq alias Muhammad Sugeng (sekretaris). Surat permohonan ini diajukan tanggal 5 September 1929 dan dikabulkan tanggal 6 Februari 1930. Maka sejak saat itu, NU diakui sebagai organisasi berbadan hukum yang ditulis dalam Besluit Rechtspersoon No. 9, selama 29 tahun.
SUSUNAN KEPENGURUSAN NAHDLATUL ULAMA 1928
Syuriyah
Rais Akbar : KH. M. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang
Wakil Rais : KH. Said bin Shaleh Paneleh Surabaya
Katib Awal : KH. Mas Alwi Kawatan Surabaya
Katib Tsani : KH. Amin Kemayoran Surabaya
Katib Tsalits : KH. Ghufron Surabaya
Anggota : KH. Amin Praban Surabaya;
KH. Ridlwan Surabaya
KH. Abdullah Surabaya
KH. Anwar Rangkah Surabaya
KH. Abdul Majid Surabaya
KH. Bisri Surabaya
KH. Abdul Halim Pacarkeling Surabaya
KH. Ridlwan Semarang
KH. Khalil Lasem Rembang
KH. R. Asnawi Kudus
KH. R. Hambali Kudus
KH. Ma’shum Jombang
KH. M. Bisri Syansuri Denanyar Jombang
KH. Amir Pekalongan
Mustasyar
KH. A. Wahab Hasbullah Surabaya;
KH. Ma’ruf Kediri
KH. Sholeh Juwono
KH. Syamsuddin Banyuwangi
KH. Nahrawi Malang
KH. Yasin Malang
KH. Zuhdi Pekalongan
KH. Abbas Pekalongan
KH. Abdurrahman Banten
Syaikh Ahmad Ghana’im Surabaya (asal Mesir)
Syaikh Abdul ‘Ali Ash-Shiddiqi (asal India)
(bersambung)