(lanjutan)
Dan yang terpilih sebagai delegasi ke Mesır adalah KH. Fachruddin dari Muhammadiyah, Kiai Wahab yang mewakili organisasi Islam di Surabaya (NU belum lahir), Surjopranoto dan HOS. Tjokroaminoto dari SI, serta Syaikh Ahmad Soorkatti dari Al-Irsyad. Akan tetapi, kondisi politik Mesir yang kacau menjadikan Kongres Islam Sedunia ini tidak jadi dilaksanakan.
Pada tahun-tahun itu beredar berita mengenai pemerintahan Ibnu Saud yang melarang tradisı umat Islam yang selama ını berlaku di tanah suci, seperti menjalankan Islam dengan bermadzhab, bershalawat sambil mengangkat tangan, dan lain-lain. Pemerintah juga merusak banyak kubah dan makam di Ma’la, Jabal Qabais, dan lain-lain. Situasi ini menjadi perhatian besar Kiai Wahab karena apa yang dilarang oleh pemerintahan Ibnu Saud adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh kaum Muslim tradisionalis yang tidak lain adalah kelompoknya Kiai Wahab.
Pada tanggal 21-27 Agustus 1925 dilaksanakan Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta. Kiai Wahab yang hadir di kongres ini segera menyampaikan rencana diadakan Kongres Islam Sedunia di Mekkah, meskipun belurn jelas kapan waktunya. Kiai Wahab juga menyampaikan keinginannya bahwa harus ada delegasi CCC yang hadir di kongres di Mekkah ini untuk mendesak pemerintahan Ibnu Saud agar membebaskan umat Islam di sana untuk menjalankan ajaran Islam dengan bermadzhab. Tak lama kemudian memang datang undangan dari Ibnu Saud bahwa Kongres Islam Sedunia akan dilaksanakan di Mekkah bulan Juni 1926.
CCC segera bersiap-siap mengadakan Kongres Al- Islam kelima di Bandung bulan Februari 1926. Jauh harı sebelum dilaksanakan kongres di Bandung inı, Kiai Wahab telah meyampaikan pesan kepada tokoh-tokoh CCC, seperti W. Wondoamiseno, Kiai Mas Mansur, dan HOS. Tjokroaminoto, yang isinya agar pemerintahan Ibnu Saud memberikan kebebasan bermadzhab kepada umat Islam di tanah suci, dan lain-lain. Namun usulan inı tidak begitu dihiraukan karena memang tokoh-tokoh CCC ini cenderung mendukung gerakan Ibnu Saud ini. Kiai Wahab tidak hadir di Kongres Al-Islam kelima di Bandung inı karena ayahnya, Kiai Hasbullah, meninggal dunia. Meskipun begitu, beliau masih menitipkan pesan kepada para delegasi yang ditugaskan menghadiri Kongres Islam Sedunia di Mekkah. Isi pesannya seperti disebutkan sebelumnya. Pesan Kiai Wahab kembali tidak dihiraukan.
Delegasi CCC yang berangkat ke Mekkah adalah HOS. Tjokroaminoto dan Kiai Mas Mansur. Turut serta dalam rombongan adalah H.M. Soedja’ dari Muhammadiyah, H. Abdullah Ahmad pendiri Sekolah Adabiyah dari Sumatra Barat, dan H. Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) sebagai Utusan dari Perguruan Guru Agama Islam. Mereka berangkat bulan Maret 1926.
Pada bulan September 1926 diselenggarakan Kongres Al-Islam keenam di Surabaya. Agendanya adalah penyampaian isi kongres di Mekkah, dan mengubah CCC menjadi Muktamar Alam Islami Far’ul Hindis Syarqiyah, semacam cabang dari Kongres Islam Sedunia di Mekkah.
Hubungan Kiai Wahab dengan CCC terputus sejak Kiai Wahab tidak hadir di kongresnya di Bandung. Beberapa keputusan Kongres Al-Islam, sebelum kongresnya kelima di Bandung bulan Februari 1926 yang tidak dihadiri Kiai Wahab, telah membuat kaum Muslim tradisionalis di bawah pimpinan Kiai Wahab merasa perlu punya organisasi sendiri agar dapat menyalurkan aspirasinya ke dunia Islam Mereka perlu punya ‘kendaraan’ sendiri. Maka, Kiai Wahab segera pergi ke Pesantren Tebuireng untuk sowan, menjelaskan persoalan dan meminta restu kepada Kiai Hasyim untuk membentuk organisasi tersendiri. Dan Kiai Hasyim merestui rencana Kiai Wahab ini.
Lalu Kiai Wahab menemui Kiai Bisri, sahabat akrab sekaligus adik iparnya, untuk diajak keliling pulau Jawa guna meminta dukungan dari para kiai. Kedua kiai ini keliling dari Banyuwangi di sebelah timur hingga Menes di sebelah barat serta ke Madura. Dengan membawa nama besat Kiai Hasyim, Kiai Wahab dan Kiai Bisri menemui sejumlah kiai. Para kiai yang mereka temui sebenarnya adalah teman-teman mereka ketika sama-sama belajar di Pesantren Tebuireng maupun Mekkah. Para kiai tersebut termasuk orang-orang yang pernah bergabung ke dalam Taswirul Afkar, Madrasah Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan.
Pada tanggal 31 Januari 1926 yang bertepatan dengan 16 Rajab 1344, para tokoh kaum Muslim tradisionalis atau para pengasuh pesantren ini berkumpul di rumah Kiai Wahab di Kertopaten, Surabaya. Ada Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, KH. M. Bisri Syansuri Denanyar Jombang, KH R. Asnawi Kudus, KH. Mas Nawawi Pasuruan, KH. Ridlwan Muhajid Semarang, KH. Ma’shum Lasem (ayah KH. Ali Ma’shum Krapyak Yogyakarta), KH. Nahrawi Thahir Malang, KH. Doro Munthaha Bangkalan Madura (menantu KH. Muhammad Khalil), KH. Abdul Hamid Faqih Sedayu Gresik, KH. Abdul Halim Leuminunding Cirebon, KH. Ridlwan Abdullah Bubutan Surabaya, KH. Mas Alwi Abdul Aziz Surabaya, KH. Abdullah Ubaid Surabaya, Syaikh Ahmad Ghana’im al-Mishri asal Mesir, dan lain-lain.
Ada 2 keputusan penting yang diambil dalam pertemuan ini, yaitu membentuk Komite Hijaz dan Nahdlatul Ulama (NU). Komite Hijaz dibentuk untuk menghadiri Kongres Islam Sedunia di Mekkah guna menyampaikan pesan agar pemerintahan Ibnu Saud membiarkan umat Islam di tanah suci menjalankan ajaran agama sesuai dengan madzhabnya masing-masing. Yang terpilih sebagai delegasi saat itu adalah Kiai Asnawi Kudus.
SUSUNAN KEPENGURUSAN KOMITE HIJAZ
Penasehat : KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri (Lasem), KH. Khalil (Lasem)
Ketua : H. Hasan Gipo
Wakil Ketua : H. Shaleh Syamil
Sekretaris : Muhammad Shadiq
Pembantu : KH. Abdul Halim
Akan tetapi, setelah terpilih Kiai Asnawi sebagai delegasi, tumbul pertanyaan siapakah yang berhak mengutus Kiai Asnawi menghadırı Kongres Islam Sedunia ini Maka dibentuklah organisasi baru bernama Nahdlatul Ulama (NU). NU merupakan wadah persatuan para ulama yang berjuang menegakkan faham Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Nama “nahdlatul ulama” diusulkan oleh KH. Mas Alwi Abdul Aziz sedangkan lambang NU dibuat oleh KH. Ridhwan Abdullah. Kedua kiai ini berasal dari Surabaya. Lambang NU itu mempunyai arti: bola dunia, mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah, ikatan tali menunjukkan bahwa kita harus memperkuat tali persaudaraan atau ukhuwwah islamiyyah, 99 untaian tali menunjukkan asma’ul husna, bintang besar menandakan Nabi Muhammad, 2 bintang di kiri dan kanan menandakan 4 sabahat yang menjadi al Khulafa’ al-Rasyidun yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, lalu 4 bintang di bawah menandakan 4 madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali; dan 9 bintang ini dapat juga menandakan Wali Songo, yakni 9 wali yang menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Adapun bentuk tulisan Arab “nahdlatul ulama” murni atas kreasi Kiai Ridlwan. Ada 5 pesan yang akan disampaikan Kiai Asnawi, yaitu:
(1) meminta kepada Raja Ibnu Saud agar tetap memberlakukan kebebasan bermadzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali;
(2) meminta tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah karena itu telah diwakafkan, seperti tempat kelahiran Siti Fathimah (putri Nabi Muhammad), dan lain-lain;
(3) meminta diumumkan ke seluruh dunia Islam sebelum datangnya musim haji mengenai hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti biaya
hajı, dan lain-lain;
(4) meminta hukum yang berlaku di Hijaz ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran karena belum ditulis;
(5) meminta kepada Raja Ibnu Saud memberi jawaban tertulis yang menunjukkan bahwa delegasi NU telah menyampaikan usul-usul NU tersebut.
Menurut Moch. Ibnu Rubianto (w. 2002), cucu Kiai Ridlwan Abdullah yang pernah menjadi Bupati Malang, dalam salah satu tulisannya, bahwa rapat untuk mendirikan NU berlangsung di rumah Kiai Ridlwan, di Kampung Bubutan, Surabaya. Saat itu Kiai Wahab dan beberapa sahabatnya merasa kebingungan menentukan tempat rapat. Bisa jadi rencana ini digagalkan oleh aparat kolonial Belanda jika mencurigakan mereka.
Lalu, Kiai Ridlwan mengusulkan diri menjadi tuan rumah dengan acaranya adalah haul Kiai Khalil Bangkalan yang wafat tahun 1925. Aparat kolonial tidak melarang acara haul. Maka, para kiai berkumpul di rumah Kiai Ridlwan yang akhirnya melahirkan organisasi bernama Nahdlatul Ulama.
(bersambung)