Berziarah ke Makkah dll. – Sejarah Hidup Muhammad – Haekal

حَيَاةُ مُحَمَّدٍ (ص)
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD
Oleh: Muhammad Husain Haekal

 
Diterjemahkan dari bahasa ‘Arab oleh: Ali Audah
Penerbit: PUSTAKA JAYA

Rangkaian Pos: Bagian Kedua - Makkah - Ka'bah & Quraisy

Berziarah ke Makkah

Orang-orang ‘Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang telah dicetuskan oleh Mudzādz bin ‘Amr beberapa abad yang lalu. Menjadi harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap ada. Dan sesuai dengan kedudukannya ‘Abd-ul-Muththalib pun tentu lebih banyak lagi memikirkan dam mengharapkan hal itu. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya seolah ada suara ghaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismā‘īl neneknya dulu itu. Demikian mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam tersebut, sampai akhirnya diketemukannya juga, yaitu terletak antara dua patung: Isaf dan Nā’ilah.

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Ḥārith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzādz mulai tampak. Sementara itu orang-orang lalu mau mencampuri ‘Abd-ul-Muththalib dalam urusan sumur itu serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi ‘Abd-ul-Muththalib berkata:

“Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan qidh (anak panah). Dua anak panah buat Ka‘bah, dua buat aku dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa.”

Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada juru qidh yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah Ka‘bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat ‘Abd-ul-Muththalib dan dua buah pangkal pelana emas buat Ka‘bah. Pedang-pedang itu oleh ‘Abd-ul-Muththalib dipasang di pintu Ka‘bah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. ‘Abd-ul-Muththalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar.

Karena tidak banyak anak, ‘Abd-ul-Muththalib di tengah-tengah masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan dapat membantunya. Ia bernadzar; kalau sampai beroleh sepuluh anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan disembelih di Ka‘bah sebagai kurban untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki akhirnya mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan pula sesudah itu tidak beroleh anak lagi.

Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat memenuhi nadzarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas qidh (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh ‘Abd-ul-Muththalib dan dibawanya kepada juru qidh di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Ka‘bah.

‘Abdullāh bin ‘Abd-ul-Muththalib

Apabila sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa, orang-orang ‘Arab masa itu lalu minta pertolongan juru qidh supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui qidh. ‘Abdullāh bin ‘Abd-ul-Muththalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.

Setelah juru qidh mengocok anak panah yang sudah dicantumi nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar adalah nama ‘Abdullāh. Dituntunnya anak muda itu oleh ‘Abd-ul-Muththalib dan dibawanya untuk disembelih ditempat yang biasa orang-orang ‘Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Nā’ilah.

Kisah Penebusannya

Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat melarangnya supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu mendesak, namun ‘Abd-ul-Muththalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughīrah bin ‘Abdullāh dari suku Makhzūm berkata: “Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah.”

Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan pergi menemui seorang dukun di Yathrib yang sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.

“Berapa tebusan yang ada pada kalian?” tanya sang dukun.

“Sepuluh ekor unta.”

“Kembalilah ke negeri kamu sekalian,” kata dukun itu. “Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan.”

Merekapun menyetujui.

Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu keluar atas nama ‘Abdullāh juga. Ditambahnya jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada ‘Abd-ul-Muththalib – yang sedang berdoa kepada tuhannya: “Tuhan sudah berkenan.”

“Tidak,” kata ‘Abd-ul-Muththalib. “Harus kulakukan sampai tiga kali.” Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah ‘Abd-ul-Muththalib merasa puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau binatang.

Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan. Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang ‘Arab, kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya kedudukan Makkah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah tanah ‘Arab. Ath-Thabarī menceritakan – sehubungan dengan kisah penebusan ini – bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadzar bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia akan menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya terkabul. Ia pergi kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar. Orang ini tidak memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada ‘Abdullāh bin ‘Abbās yang ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih seratus ekor unta, seperti halnya dengan penebusan ‘Abdullāh anak ‘Abd-ul-Muththalib. Tetapi Marwān – penguasa Madīnah ketika itu – merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. “Nadzar tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa,” katanya.

Kedudukan Makkah dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian orang dari Makkah dan Rumah Sucinya. Di Ḥirā’ pihak Ghassān mendirikan rumah suci, Abrahah al-Asyram membangun rumah suci di Yaman. Tetapi bagi orang ‘Arab itu tak dapat menggantikan Rumah Suci yang di Makkah, juga tak dapat memalingkan mereka dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikian rupa Abrahah menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membawa perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik orang-orang ‘Arab – bahkan orang-orang Makkah sendiri – ke tempat itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *