Bab 7:
Kitab-kitab Allah s.w.t. sebelum al-Qur’ān telah memberi kabar gembira tentang kenabian Muḥammad s.a.w. sebelum beliau dilahirkan, bahkan kitab-kitab tersebut telah mengabarkan sifat-sifat pribadi Nabi Muḥammad s.a.w., ciri-ciri negeri tempat kemunculannya, keadaan kaumnya, dan kapan (waktu) beliau diutus. Allah s.w.t. berfirman sebagai berikut:
الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَ الْإِنْجِيْلِ….
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasūl, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurāt dan Injīl yang ada di sisi mereka…..”. (QS. al-A‘rāf [7]: 157).
Para Aḥbār (‘ulamā’ Yahudi) dan Qissīs (pendeta Nasrani) terdahulu telah memberikan berita gembira dengan kedatangan Nabi Muḥammad s.a.w. sebelum beliau diutus. Allah s.w.t. berfirman membujuk dan mengingatkan orang-orang ‘Arab musyrik yang telah mendengar berita ini dari ‘ulamā’ Bani Isrā’īl agar mereka beriman, sebagai berikut:
وَ إِنَّهُ لَفِيْ زُبُرِ الْأَوَّلِيْنَ. أَوَ لَمْ يَكُنْ لَّهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ.
“Dan sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar (tersebut) dalam Kitāb-kitāb orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ‘ulamā’ Bani Isrā’īl mengetahuinya?” (QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 196-197).
Ketika Nabi Muḥammad s.a.w. benar-benar diutus oleh Allah s.w.t., sebagian mereka dan ahli kitab pun beriman kepada beliau dan yang lainnya tetap kafir. Dan alasan terbesar keimanan mereka adalah kesesuaian kabar yang mereka dapatkan dalam Taurat dan Injil dengan pribadi Rasul s.a.w.: (11)
الَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُوْنَ
“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka al-Kitāb sebelum al-Qur’ān, mereka beriman (pula) dengan al-Qur’ān itu.” (QS. al-Qashash [28]: 52).
“Ya Allah, kami meminta pertolonganmu kepada kami dengan kebenaran an-Nabi al-Ummiy yang engkau janjikan akan keluar di akhir zaman.”Tawassul doa kaum Yahudi di Khaibar saat melakukan peperangan.
Diriwayatkan oleh al-Ḥāfizh Ibnu Katsīr rhm. dari Ibnu ‘Abbās r.a. berkata sebagai berikut:
“Dahulu kaum Yahudi di Khaibar berperang dengan kaum Ghatafan, setiap kali berperang kaum Yahudi Khaibar selalu kalah.”
Maka kaum Yahudi meminta pertolongan dengan doa berikut: “Ya Allah, kami meminta pertolonganmu kepada kami dengan kebenaran an-Nabi al-Ummiy yang engkau janjikan akan keluar di akhir zaman.”
Ibnu ‘Abbās r.a. berkata: “Jika mereka berperang dan membaca doa ini, mereka selalu mengalahkan kaum Ghatafan, namun ketika Nabi s.a.w. diutus, mereka mengingkarinya dan tidak mau beriman kepadanya.” (22)
Allah s.w.t. berfirman:
وَ لَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِّنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ وَ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَّا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْكَافِرِيْنَ.
“Dan setelah sampai kepada mereka kitab (al-Qur’ān) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar.” (QS. al-Baqarah [2]: 89).
Banyak hati yang tergerak untuk mencari kebenaran. Tak sedikit orang yang mengayunkan langkah, menelusuri jalan panjang demi sebuah hidayah. Namun, kerap kali mereka goyah didera badai ujian, sementara tak jarang jemari melemah melepas hidayah yang sempat digenggam.
Inilah Salmān al-Fārisī r.a., seorang sahabat yang mulia. Kegigihannya dalam mencari kebenaran adalah teladan. Kekokohannya menggenggam hidayah adalah bukti kebenaran iman.
Salmān adalah salah seorang penduduk Persia (dalam bahasa ‘Arab: Fāris), karena itulah beliau disebut dengan “al-Fārisī”. Dari sanalah beliau berasal, tepatnya di sebuah desa bernama Jayy, bagian dari kota Asbahān (kota Isfahān, Iran). Ketika itu beliau dikenal dengan nama aslinya Ruziyah. Setelah memeluk Islam beliau bergelar Abū ‘Abdilllāh, masyhur dengan julukan Salmān al-Khair atau Salmān ibn al-Islām. Ayah beliau adalah seorang pembesar di desanya. Kecintaan yang sangat kepada Salmān membuat sang Ayah menahan putranya di dalam rumah layaknya gadis pingitan. Salmān menjalani hari-harinya sebagai penjaga api, sesembahan pemulak agama Majūsī.
Ayah Salmān memiliki sebuah ladang yang amat luas. Suatu ketika, dia tersibuklah oleh bangunan miliknya dan menyuruh Salmān pergi ke ladang. Di tengah perjalanan. Salmān melewati sebuah gereja Nasrani. Salmān kemudian masuk dan mendapati orang-orang Nasrani yang sedang beribadah.
Rasa kagum meliputi hati Salmān. Dari mereka Salmān mengetahui bahwa agama Nasrani itu berasal dari Syām. Salmān mengisahkan peristiwa itu dan mengungkapkan kekagumannya kepada Ayahnya. Kekhawatiran menghinggapi diri sang Ayah. Karenanya, ayah Salmān kemudian membelenggu kedua kaki Salmān dan menahannya di rumah.
Sesuatu telah berkecamuk di dalam hatinya, saatnya mencari kebenaran yang selama ini terhalang dari dirinya. Meskipun rintangan pertama justru datang dari ayahnya sendiri. Hari-hari telah berlalu, tersiar kabar kedatangan rombongan pedagang dari Syām. Kesempatan yang dinanti-nanti. Ketika urusan mereka telah selesai dan hendak pulang ke Syām, Salmān melepaskan belenggu dari kedua kakinya dan berangkat bersama mereka ke Syām.
Sesampainya di Syām, Salmān segera mencari tahu tentang orang yang paling utama di antara pengikut agama Nasrani. Bertemulah Salmān dengan seorang uskup yang ada di gereja. Salmān tinggal bersama uskup tersebut dan melayaninya di dalam gereja. Ternyata, uskup itu seorang yang buruk perangainya. Dia memerintahkan orang-orang agar bersedekah, namun harta sedekah tersebut disimpannya untuk dirinya sendiri. Tak lama uskup itu pun mati. Salmān memberitahukan perbuatan uskup tersebut kepada orang-orang Nasrani dan menunjukkan kepada mereka simpanannya berupa tujuh tempayan yang penuh dengan emas dan perak. Mereka pun menyalib uskup tersebut dan tidak menguburkannya.
Kemudian mereka menjadikan orang lain sebagai pengganti. Dia adalah seorang yang tekun beribadah dan zuhud terhadap dunia. Salmān sangat mencintainya lebih dari siapapun sebelumnya. Salmān tinggal bersamanya hingga tiba saatnya uskup yang baik tersebut didatangi tanda-tanda kematian.
Salmān mendatanginya dan meminta wasiat untuk dirinya, kepada siapa ia harus pergi. Dia pun berpesan:
“Wahai anakku, Demi Allah, aku tidak mendapati seorang pun yang berada di atas agama yang aku peluk. Orang-orang telah binasa. Mereka telah mengubah agama Nasrani dan meninggalkan kebanyakan agama mereka, kecuali seseorang di Maushūl (kota Mosul, ‘Irāq). Dia adalah Fulan, ia berada di atas agama yang aku peluk, maka temuilah dia!”
Sepeninggalnya, Salmān menemui orang yang disebutkan. Salmān tinggal bersamanya dan mendapatinya sebagai sebaik-baik orang di atas agama temannya. Sampai ketika tanda-tanda kematian mendatanginya, Salmān kembali meminta wasiat untuk dirinya. Senada dengan ucapan temannya yang terdahulu, lelaki baik ini mewasiatkan kepada Salmān untuk menemui seorang lelaki di Nashibin (kota Nusyaibin, Turki).
Singkat cerita, Salmān mengalami kisah sebagaimana masa-masa di Maushūl. Sampai dia mendapatkan petunjuk untuk menemui seorang
Inilah Salmān al-Fārisī r.a., seorang sahabat yang mulia. Kegigihannya dalam mencari kebenaran adalah teladan. Kekokohannya menggenggam hidayah adalah bukti kebenaran iman.
di ‘Ammuriyyah (kota Amorium, Turki) yang berada di atas agama Nasrani. Salmān pun menemui lelaki tersebut dan tinggal bersamanya. Di sana Salmān bekerja sampai mempunyai banyak sapi dan kambing.
Sebagaimana sebelumnya, menjelang kematian lelaki itu pun berpesan:
“Wahai anakku, aku tidak mengetahui ada seorang pun yang berada di atas agama kami yang aku memerintahkanmu untuk mendatanginya. Tetapi, telah dekat masa pengutusan seorang nabi. Dia diutus dengan agama Nabi Ibrāhīm yang muncul dari jazirah ‘Arab, kemudian hijrah ke sebuah negeri di antara dua tanah yang berbatu hitam, di antaranya ada pohon-pohon kurma (kota Madīnah).” Lelaki itu pun lalu melanjutkan: “Pada orang itu ada tanda-tanda yang tidak tersembunyi, dia memakan hadiah dan tidak memakan sedekah. Di antara kedua pundaknya ada tanda kenabian. Jika engkau mampu untuk mendatangi negeri tersebut, maka lakukanlah!” Tak lama, lelaki itu pun meninggal.
Suatu hari di ‘Ammuriyyah, lewat sekumpulan pedagang dari suku Kalb. Salmān meminta mereka untuk membawanya ke jazirah ‘Arab dengan membayarkan sapi-sapi dan kambing-kambing miliknya. Mereka pun setuju. Namun sesampainya di Wadil Qura, mereka justru menjual Salmān kepada seorang Yahudi sebagai budak. Tinggallah Salmān bersama Yahudi tersebut.
Allah Maha Mengetahui kesungguhan hati Salmān. Suatu ketika, anak paman si Yahudi datang dan membeli Salmān darinya. Kemudian dia membawa Salmān ke Madīnah. Salmān bisa mengetahuinya dengan ciri-ciri yang disebutkan sahabatnya. Sejak saat itu, Salmān tinggal di kota Madīnah al-Munawwarah.
Sementara itu, tiba masanya Allah mengutus Rasūl-Nya. Salmān tak mengetahui hal ini sampai ketika Rasūlullāh s.a.w. hijrah ke Madīnah. Pada suatu hari Salmān berada di atas pohon kurma, sementara tuannya sedang duduk. Datanglah anak paman tuannya menceritakan tentang datangnya seorang dari Makkah di Quba. Orang-orang mengira bahwa dia seorang nabi. Mendengar cerita tersebut Salmān gemetar karenanya. Dia berusaha bertanya, namun justru membuat marah tuannya hingga meninjunya dengan keras.
Tak putus harapan, Salmān berusaha mencari tahu tentang jati diri orang yang dikira nabi tersebut. Berbekal ciri-ciri yang dia ketahui dari sahabatnya, Salmān beberapa kali mendatangi Rasūlullāh s.a.w.
Kali pertama, Salmān mendatangi beliau s.a.w. dengan membawa sesuatu sebagai sedekah. Ternyata beliau menyuru para sahabat memakannya, sementara beliau sendiri menahan diri darinya. Satu bukti bagi Salmān.
Kedatangan kedua, Salmān kembali membawa sesuatu. Kali ini dia menghadiahkannya kepada Rasūlullāh s.a.w., beliau s.a.w. lalu memakannya dan memerintahkan para sahabat untuk makan. Inilah bukti yang kedua bagi Salmān.
Ketiga kalinya, Salmān mendatangi Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau sedang mengiringi jenazah seorang sahabat di perkuburan Baqī‘. Beliau s.a.w. mengenakan dua pakaian sejenis jubah. Salmān mengucapkan salam, kemudian berkeliling untuk mencari tanda kenabian di bagian punggung Rasūl. Dan beliau s.a.w. menyadari hal ini, lalu melepaskan selendang dari punggung beliau. Salmān pun bisa melihat tanda kenabian itu.
Seketika itu dia tertelungkup di hadapan Rasūl s.a.w., lalu mencium beliau dan menangis. Salmān akhirnya masuk Islam. Kesungguhannya dalam mencari kebenaran, mengantarkannya kepada hidayah yang selama ini dia cari. (33)
Allah s.w.t. memerintahkan Nabi ‘Īsā a.s. di dalam firman-Nya untuk membenarkan Taurāt dan memberi kabar gembira dengan kedatangan Nabi s.a.w., sebagaimana dalam ayat berikut:
وَ إِذْ قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ إِنِّيْ رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَ مُبَشِّرًا بِرَسُوْلٍ يَأْتِيْ مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوْا هذَا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ
“Dan (ingatlah) ketika ‘Īsā Putra Maryam berkata: “Hai Bani Isrā’īl, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitāb (yang turun) sebelumku, yaitu Taurāt dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasūl yang akan datang sesudahku, yang namanya Aḥmad (Muḥammad)” Maka tatkala rasūl itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”.”. (QS. ash-Shaff [61]: 6).
Banyak dari dalil-dalil dan kisah-kisah yang membuktikan bahwa sifat, pribadi, dan tanda-tanda kenabian lengkap tertulis di dalam kitab-kitab terdahulu, dan sangat jelas bahwa para nabi terdahulu diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada umat-umatnya tentang kedatangan Baginda Nabi Muḥammad s.a.w.