Benar – Kitab-ush-Shidq

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

BAGIAN TIGA

BENAR

 

Benar mempunyai banyak pengertian. Pengertian pertama diberikan kepada seorang hamba yang kembali pada jalan Allah s.w.t dengan cara bertaubat yang sejati. Hal ini sebagaimana yang disinyalir oleh beberapa firman Allah s.w.t. berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًا

Wahai, orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kalian kepada Allah s.w.t. dengan taubat yang sebenarnya.” (at-Taḥrīm: 8)

وَ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kalian kepada Allah s.w.t. agar menjadi orang-orang yang beruntung.” (an-Nūr: 31)

لَقَدْ تَّابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ وَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَ الْأَنْصَارِ

Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menerima taubat-Nya Muḥammad s.a.w. orang-orang Muhājirīn dan orang-orang Anshār.” (at-Taubah: 117).

Langkah Pertama Bertaubat

Langkah pertama bertaubat adalah kamu menyesal karena telah melalaikan perintah Allah s.w.t. dan juga karena mengabaikan larangan-Nya, seraya memperteguh hati untuk tidak akan kembali mengulangi perbuatan-perbuatan yang dibenci-Nya. Hal ini dibarengi dengan laku terus-menerus memohon ampunan-Nya, mengembalikan semua harta milik orang lain, mengaku bersalah kepada-Nya dan kepada si pemilik harta tersebut, senantiasa merasa takut, bersedih, merasa khawatir tidak benar dalam bertaubat, merasa takut kalau taubatnya tidak diterima, (51) dan tidak pernah merasa aman karena Allah s.w.t. telah menyaksikanmu berbuat yang dimurkai-Nya, lalu Dia akan mengutukmu.

Dalam suatu riwayat, al-Ḥasan al-Bashrī r.a. pernah berkata: “Aku tidak pernah merasa nyaman, manakala Allah s.w.t. menyaksikanku melakukan suatu perbuatan yang dibenci-Nya, lalu Dia berfirman: “Berbuatlah sesukamu, karena Aku tidak akan mengampunimu.” Dalam riwayat lain, beliau berkata: “Aku takut jika Allah s.w.t. melemparkanku ke dalam neraka, sedangkan Dia tidak peduli kepadaku.”

Selain itu, ada juga sebuah keterangan yang menyatakan bahwa ada seorang ‘ulamā’ yang pernah bertemu dengan beberapa orang yang sudah meninggal. Kala itu, ia berkata: “Apakah kamu sudah bertaubat?” Ia menjawab: “Sudah” “Apakah taubatmu diterima?” tanyanya lagi, bertaubat lagi, sampai kamu tahu bahwa taubatmu diterima,” katanya. Setelah itu, ia lantas bersyair:

Kesedihan orang yang kehilangan ayah pasti berakhir
Namun kesedihan orang yang bertaubat sejati tidak ada akhirnya.

Ciri-ciri Benar dalam Taubat

Di antara ciri benar dalam taubat adalah menjauhi kawan yang menjadi sebab dirinya melalaikan perintah Allah s.w.t. Ia harus menjauhi mereka dan menganggapnya sebagai musuh, sampai mereka mengubah sikap dan kembali ke jalan Allah s.w.t. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah s.w.t.:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِيْنَ

Teman-teman akrab pada hari itu saling bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertaqwā.” (62) (az-Zukhrūf: 67).

Ciri lainnya adalah menghilangkan keinginan hati untuk kembali mengulangi perbuatan dosa, dan selalu menjaga diri agar tidak kembali mengangan-angankan suatu perbuatan dosa yang sudah ditaubatinya. Hal ini sebagaimana firman Allah s.w.t.:

وَ ذَرُوْا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَ بَاطِنَهُ

Dan hindarilah perbuatan dosa yang lahir (terang) mau pun yang batin (tersembunyi).” (al-An‘ām: 120)

Oleh karena itu, jika ada seorang Mu’min yang sudah memperbaiki diri dan hatinya serta memperdalam pengetahuannya akan Allah s.w.t., niscaya taubatnya akan menjadi lebih terjaga dan mantap. Hal ini sebagaimana yang disinyalir oleh sabda Nabi Muḥammad s.a.w. berikut ini:

إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِيْ فَاسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ

Sesungguhnya syaithān juga menggoda hatiku, maka aku memohon ampunan kepada Allah s.w.t. dan bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak seratus kali.

Barang siapa yang menyucikan hatinya dari segala dosa dan kotoran, hingga cahaya Tuhan meresap ke dalam hatinya, maka ia tidak akan merasa kesulitan untuk menolak setiap bencana yang akan datang, melembutkan kekerasan hati yang akan menimpa, ataupun membantah keinginan untuk berbuat salah, dan lantas bersegera bertaubat kepada Allah s.w.t.

Catatan:

  1. 5). Maksudnya, supaya berusaha untuk semaksimal mungkin memunculkan semangat yang kuat dalam laku beragama dan menghidupkan syiar ruhani yang menyadarkan diri manusia dari kelalaian. Hal ini ditujukan kepada orang-orang yang masih merasa ragu-ragu dalam bertaubat, apakah taubatnya diterima atau tidak. Namun demikian, yang wajib menurut Syara‘ adalah keyakinan bahwa Allah s.w.t. akan menerima taubatnya, dengan syarat ia bertaubat sejati, sebab maksud taubat yang sebenarnya adalah memohon ampunan-Nya. Selain itu, ada pula sebuah hadits yang menyatakan: “Berdoalah kamu kepada Allah s.w.t. dengan penuh keyakinan akan dikabulkan,” dan juga keterangan dari hadits qudsi yang menyatakan: “Aku bersama hamba-Ku yang berprasangka baik terhadap-Ku.” Dengan demikian, seorang Mu’min tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah s.w.t., sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’ān dan hadits Nabi yang menunjukkan bahwa Allah sangat senang menerima taubat seorang hamba, meskipun ia membawa dosa seluruh penghuni bumi. Singkatnya, taubat itu suatu karunia dari kasih sayang Allah s.w.t. yang akan menyadarkan hati seorang hamba untuk meminta ampunan kepada-Nya. Sebab pada dasarnya, maksiat itu akan menimbulkan penyakit keras hati dan orang yang ditimpa penyakit ini tidak akan pernah mengenal manisnya ketaatan. Sehingga, ia akan terus-menerus berada dalam kondisi demikian hingga ajal menjelang dengan terus berada dalam perangkap Syaithān yang terus menghasutnya untuk melakukan maksiat dan terus bertaubat. Begitulah cara Syaithān menipu orang-orang yang shāliḥ dengan menggambarkan bahwa bertaubat sesudah maksiat adalah sangat indah, sehingga mereka lalai bahwa hati itu harus senantiasa waspada sebelum melakukan maksiat, dan akan menjadi lalai sesudah melaksanakan maksiat. Oleh karena itu, yang sebaiknya kamu lakukan adalah selalu mengingat bayang-bayang maksiat, dan bahwasanya maksiat itu akan menjerumuskan ke dalam jurang Neraka, manakala Allah s.w.t. tidak memberikan kasih-Nya dengan cara mengingatkan dan mendorongmu untuk segera bertaubat. Selain itu, seyogianya kamu mengingat bahwa hal itu tidak akan terjadi sesudah kamu berbuat maksiat. Oleh karena itu, kamu harus senantiasa waspada dan berlindung diri dari tipu daya Syaithān, karena sesungguhnya Syaithān itu adalah musuh yang nyata lagi menyesatkan.
  2. 6). Di antaranya adalah firman Allah s.w.t.: “Pada hari itu, orang-orang yang zhālim menggigit kedua tangannya, seraya berkata: “Aduhai! Alangkah baiknya, sekiranya aku dahulu mengambil jalan (yang benar) bersama Rasūl. Aduhai malang nasibku! Alangkah baiknya, sekiranya aku tidak berteman dengan si Fulān (yang telah menjerumuskanku). Sesungguhnya dia telah menyesatkanku dari ajaran al-Qur’ān, yang telah disampaikan kepadaku. Ah! Sungguh Setan itu tidak mau menolong orang-orang (yang disesatkannya),” (al-Furqān: 27-29) dan juga:Dan janganlah kamu berpihak kepada orang-orang yang bersalah, supaya kamu tidak disentuh api Neraka.” (Hūd: 113).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *