Bait 9 – Nur-uzh-Zhalam – Syarah ‘Aqidat-ul-‘Awam (2/2)

نُوْرُ الظَّلَامِ
Nūr-uzh-Zhalām
Penerang kegelapan
Oleh: Syaikh Nawawī al-Bantānī

 
Syarah sya‘ir ‘Aqīdat-ul-‘Awām
Karya: Syaikh as-Sayyid Aḥmad Marzūqī al-Mālikī.
 
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
Oleh: Team terjemah Pustaka Mampir

Rangkaian Pos: Bait 9 - Nur-uzh-Zhalam - Syarah 'Aqidat-ul-'Awam

وَ الْحَاصِلُ أَنَّ صِفَاتِ الْمَعَانِي السَّبْعَةِ تَنْقَسِمُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ.

Kesimpulannya adalah sesungguhnya sifat-sifat ma‘aniy yang tujuh itu terbagi menjadi atas empat bagian.

قِسْمٌ لَا يَتَعَلَّقُ بِشَيْءٍ وَ هُوَ الْحَيَاةُ.

(1). Bagian yang tidak berhubungan dengan sesuatu ya‘ni sifat ḥayāt (hidup).

وَ قِسْمٌ يَتَعَلَّقُ بِالْمُمْكِنَاتِ وَ هِيَ الْقُدْرَةُ وَ الْإِرَادَةُ.

(2). Bagian yang berkaitan (ber-ta‘alluq) dengan hal-hal yang mungkin, yaitu sifat qudrah (Berkuasa) dan sifat irādah (Berkehendak).

وَ قِسْمٌ يَتَعَلَّقُ بِالْمَوْجُوْدَاتِ وَ هِيَ السَّمْعُ وَ الْبَصَرُ.

(3). Bagian yang berhubungan dengan perkara-perkara yang wujud, yaitu sama‘ (mendengar) dan bashar (melihat).

وَ قِسْمٌ يَتَعَلَّقُ بِالْوَاجِبَاتِ وَ الْجَائِزَاتِ وَ الْمُسْتَحِيْلَاتِ وَ هُوَ الْعِلْمُ وَ الْكَلَامُ.

(4). Bagian yang berhubungan dengan perkara-perkara yang wājib (pasti adanya), jā’iz (boleh ada boleh tidak) dan mustaḥīl (yang tidak mungkin) yakni ‘ilmu dan kalām.

وَ التَّعَلُّقُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ تَعَلُّقِ تَأْثِيْرٍ وَ تَعَلُّقِ انْكِشَافٍ وَ تَعَلُّقِ دِلَالَةٍ فَتَعَلُّقُ التَّأْثِيْرِ تَعَلَّقُ الْقُدْرَةِ وَ الْإِرَادَةِ

Dan hubungan itu ada tiga bagian hubungan yang membawa pengaruh atau kesan (ta‘tsīr), hubungan yang menjadi terbuka (inkisyāf) dan hubungan penunjuk (dilālah). Hubungan ta’tsīr (membawa pengaruh) adalah hubungan qudrah dan irādah.

فَتَعَلَّقُ الْقُدْرَة بِالْمَعْدُوْمِ فَتُوْجِدُهُ وَ بِالْمَوْجُوْدِ فَتُعْدِمُهُ.

Qudrah berhubungan dengan perkara yang tidak ada, lalu qudrah mewujudkannya, dengan perkara yang wujud lalu qudrah meniadakannya.

وً تًتَعَلَّقُ الْإِرَادَةُ بِالْمُمْكِنِ فَتُخَصِّصُهُ بِبَعْضِ مَا يَجُوْزُ عَلَيْهِ كَالطُّوْلِ وَ الْقَصْرِ وَ غَيْرِهِمَا.

Sifat Irādah berhubungan dengan perkara yang mungkin, lalu irādah menentukannya dengan sebagian perkara yang boleh (jā’iz) baginya seperti tinggi, pendek dan lain-lain.

وَ يَتَعَلَّقُ الْإِنْكِشَافِ تَعَلُّقُ السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ وَ الْعِلْمِ فَيَسْمَعُ تَعَالَى ذَاتَهُ وَ جَمِيْعَ صِفَاتِهِ الْوُجُوْدِيَّةِ مِنْ قُدْرَةٍ وَ سَمْعٍ وَ غَيْرِهِمَا.

Dan hubungan inkisyāf (menjadi terbuka, jelas) adalah hubungan sama‘ (mendengar) dan bashar (melihat) dan ‘ilmu (pengetahuan), maka Allah mendengar dzāt-Nya dan semua sifat-sifat wujūdiyyah-Nya seperti qudrah (kuasa), sama‘ (mendengar) dan lain-lain,

وَ لَا نَعْرِفُ كَيْفِيَّةَ التَّعَلُّقِ وَ يَسْمَعُ ذَوَاتِنَا وَ صِفَاتِنَا أَيْضًا.

akan tetapi kita tidak dapat mengetahui kaifiyyah (bagaimana cara) hubungannya, dan Allah juga mendengar dzāt-dzāt kita dan sifat-sifat kita.

وَ يَبْصُرُ تَعَالَى ذَاتَهُ وَ صِفَاتَهُ الْوُجُوْدِيَّةَ مِنْ قُدْرَةٍ وَ بَصَرٍ وَ غَيْرِهِمَا.

Allah ta‘ālā melihat dzāt-Nya dan sifat-Nya yang wujud seperti qudrah, bashar dan lain-lain.

وَ لَا نَدْرِيْ كَيْفِيَّةَ التَّعَلُّقِ وَ يَبْصُرُ ذَوَاتِنَا وَ صِفَاتِنَا أَيْضًا.

Kita tidak mengerti kaifiyyah hubungannya dan Dia melihat dzāt-dzāt dan sifat-sifat kita.

وَ يَعْلَمُ ذَاتَهُ تَعَالَى وَ صِفَاتِهِ بِعِلْمِهِ وَ يَعْلَمُ الْمَوْجُوْدَاتِ كُلَّهَا مِنَ الْمُمْكِنَاتِ وَ الْمَعْدُوْمَاتِ كُلِّهَا بِعِلْمِهِ.

Dan Allah mengetahui dzāt-Nya, sifat-sifatNya dengan ‘ilmu-Nya, dan mengetahui wujud segala sesuatu yang mungkin maupun yang tidak wujudnya dengan ‘ilmu-Nya.

وَ يَعْلَمُ الْمُسْتَحِيْلَاتِ بِمَعْنَى أَنَّهُ يَعْلَمُ انْتِفَاءَهَا لَا ثُبُوْتَهَا وَ إِلَّا لَانْقَلَبَ الْعِلْمُ جَهْلًا تَنَزَّهَ اللهُ عَنْهُ.

Allah mengetahui semua yang mustaḥīl, artinya sesungguhnya Allah mengetahui tidak wujudnya bukan tsubūt (tetap)-nya. Jika Allah mengetahui yang wujud (saja), tidak mengetahui yang tidak wujud, maka ‘ilmu (Allah) berbalik menjadi jahl (tidak mengetahui). Maha Suci Allah dari hal itu.

وَ تَعَلُّقُ الدِّلَالَةِ تَعَلُّقُ الْكَلَامِ بِمَعْنَى أَنَّهُ لَوْ كُشِفَ عَنَّا الْحِجَابُ وَ سَمِعْنَا الْكَلَامَ الْقَدِيْمَ لِفَهِمْنَا هَا مِنْهُ.

Hubungan dilālah (petunjuk) adalah hubungan kalam artinya jika ḥijāb dibuka dari diri kita, dan kita (dapat) mendengar kalām qadīm (dahulu), maka pastilah kita akan memahami (itu semua).

 

ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ الْمُمْكِنَاتِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ مُمْكِنٍ مَوْجُوْدٍ بَعْدَ عَدَمٍ كَالسَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ مُمْكِنٍ مَعْدُوْمٍ بَعْدَ وُجُوْدٍ كَالَّذِي انْقَضَى وَ مُمْكِنٍ سَيُوْجَدُ كَالْقِيَامَةِ وَ مُمْكِنٍ عَلِمَ اللهُ أَنَّهُ لَا يُوْجَدُ كَكُفْرِ الْأَنْبِيَاءِ مَثَلًا.

Kemudian ketahuilah bahwa sesuatu yang mungkin itu ada empat macam:

(1). Mungkin yang wujud setelah tiada seperti langit dan bumi.
(2). Mungkin yang tidak ada setelah (dari) ada seperti sesuatu yang (dapat) habis (selesai).
(3). Mungkin yang akan wujud seperti kiamat.
(4). Mungkin yang hanya Allah yang mengetahui hal itu tidak diwujudkan, seperti kufurnya pada Nabi, misalnya.

(فَائِدَةٌ) قَالَ الشَّرْقَاوِيُّ وَ الْحَاصِلُ أَنَّ أَقْسَامَ الْعَدَمِ أَرْبَعَةٌ.

(Fā’idah) Syaikh Syarqāwiy berkata: “Kesimpulannya adalah bagian-bagian (bentuk-bentuk) ketiadaan (‘Adam) itu ada empat:

عَدَمُ الْمَخْلُوْقَاتِ الْأَزَلِيِّ لَا تَتَعَلَّقُ بِهِ الْقُدْرَةُ وَ الْإِرَادَةُ اتِّفَاقًا لِأَنَّهُ لَيْسَ مُمْكِنًا بَلْ وَاجِبٌ.

(1). Tiada (‘Adam)-nya makhluk (sejak) zaman azali, tidak berhubungan dengan Qudrah dan Irādah Allah, menurut kesepakatan para ‘ulamā’, karena ketiadaan makhluk azali itu bukan perkara yang mungkin, akan tetapi wajib.

وَ عَدَمُهَا فِيْهَا لَا يَزَالُ قَبْلَ وُجُوْدِنَا يَتَعَلَّقَانِ بِهِ بِمَعْنَى أَنَّهُ فِيْ قَبْضَتِهِمَا إِنْ شَاءَتَا أَبْقَتَاهُ وَ إِنْ شَاءَتَا أَزَالَتَاهُ وَ جَعَلَتَا الْوُجُوْدَ مَكَانَهُ.

(2). Ketiadaan makhluk dalam keadaan terus-menerus sebelum kita wujud, qudrah dan irādah Allah berhubungan dengannya, dalam arti bahwa hal itu ada dalam genggaman qudrah dan irādah Allah, jika Qudrah dan Irādah Allah berkehendak untuk menetapkannya (ketiadaan makhluk terus tidak ada), maka keduanya pasti mengekalkannya tetap (terus tidak ada), dan jika qudrah dan irādah Allah menghendaki untuk menghilangkan, maka keduanya pasti menghilangkannya (menjadi ada), dan qudrah dan irādah Allah menjadikan wujūd (ada) menggantikan tempatnya.

وً عَدَمُهَا بَعْدَ وُجُوْدِهَا تَتَعَلَّقَانِ بِهِ.

(3). Ketiadaan makhluk setelah ada (wujud) qudrah dan irādah Allah berhubungan dengannya.

وَ عَدَمُ الْمُمْكِنَاتِ الَّتِيْ عَلِمَ اللهُ أَنَّهَا لَا تُوْجَدُ كَإِيْمَانِ أَبِيْ جَهْلٍ تَتَعَلَّقَان بِهِ بالنَّظَرِ إِلَى ذَاتِهِ وَ اسْتِحَالَةِ وُقُوْعِهِ الْمَقْضِيَّةِ لَكُوْنِ عِلْمِهِ وَاجِبًا إِنَّمَا هِيَ عَارِضَةٌ وَ الْعَارِضُ لَا يُنَافِي الْإِمْكَانَ الذَّاتِيَّ.

(4). Ketiadaan perkara yang mungkin (bisa wujud, bisa tidak) yang hanya Allah yang mengetahui hal itu tidak diwujudkan, seperti iman Abū Jahal. Qudrah dan irādah berhubungan dengannya dengan melihat Dzāt-Nya dan ke-mustaḥīl-an (hal itu) terjadinya hal yang telah ditetapkan itu karena pengetahuan Allah adalah pasti bahwa iman Abū Jahal itu adalah hal yang baru (‘Āridhah) dan perkara yang baru (‘āridh) tidak menutup kemungkinan untuk ada atau tidak ada dzāt (al-Imkān-udz-Dzātiy).

وَ قِيْلَ لَا تَتَعَلَّقَانِ نَظَرًا إِلَى اسْتِحَالَةِ وُقُوْعِهِ. انْتَهَى.

Dan dikatakan: “Qudrah dan Irādah Allah tidak berhubungan dengannya karena melihat mustaḥīl-nya (hal itu) terjadi (tidak adanya iman bagi Abū Jahl)”. Selesai asy-Syarqāwiy.

قُلْتُ هذَا الْخِلَافُ لَيْسَ حَقِيْقِيًّا بَلْ هُوَ لَفْظِيٌّ.

Aku (Imām Nawawiy al-Bantaniy) berpendapat: “Perselisihan ini (sifatnya) bukan hakiki (yang sebenarnya) akan tetapi (hanya) secara lafzhiy,

فَحُمِلَ قَوْلُ مَنْ قَالَ إِنَّهُمَا تَتَعَلَّقَانِ بِهِ عَلَى أَنَّهُمَا تَتَعَلَّقَانِ تَعَلُّقًا صُلُوْحِيًّا.

maka difahami perkataan orang yang berpendapat: “Sesungguhnya qudrah dan irādah Allah berhubungan dengannya ini (seperti dalam kasus iman bagi Abū Jahl) atas dasar bahwa keduanya berhubungan dengan ta‘alluq shulūḥiy (hubungan layak; ideal).”

وَ حُمِلَ قَوْلُ مَنْ قَالَ إِنَّهُمَا لَا تَتَعَلَّقَانِ بِهِ عَلَى أَنَّهُمَا لَا تَتَعَلَّقَانِ تَعَلُّقًا تَنْجِيْزِيًا. اِنْتَهَى.

Dan difahami pendapat orang yang berkata: “Sesungguhnya qudrah dan irādah Allah tidak berhubungan dengan hal ini atas dasar bahwa keduanya tidak berhubungan dengan ta‘alluq tanjīzī (hubungan pelaksanaan; aktual)”. Selesai Imām Nawawiy al-Bantaniy.

(فَرْعٌ) اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْإِدْرَاكِ أَيْ إِدْرَاكِ الْمَذُوْقَاتِ وَ الْمَشْمُوْمَاتِ وَ الْمَلْمُوْسَاتِ هَلْ لَهُ تَعَالَى إِدْرَاكٌ أَوْ لَا.

(Cabang) para ‘Ulamā’ berbeda pendapat dalam masalah idrāk (mengerti, memahami, melihat, menemukan) yakni menemukan apa yang dirasa, dicium dan diraba, apakah Allah mempunyai idrāk atau tidak?

فَذَهَبَ الْقَاضِيْ وَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَ مَنْ وَافَقَهُمَا إِلَى أَنَّ لَهُ تَعَالَى إِدْرَاكًا زَائِدًا عَلَى الْعِلْمِ يَتَعَلَّقُ بِكُلِّ مَوْجُوْدٍ كَصِفَتَيِ السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ.

Al-Qādhī (al-Ḥusain) dan Imām Ḥaramain dan orang-orang yang sepaham dengan keduanya berpendapat bahwa Allah mempunyai idrāk sebagai tambahan bagi ‘ilmu yang berhubungan dengan setiap yang wujud seperti dua sifat sama‘ (mendengar) dan bashar (melihat),

بِمَعْنَى أَنَّ إِدْرَاكَهُ تَعَالَى لِتِلْكَ الْأُمُوْرِ بِإِدْرَاكٍ زَائِدٍ عَلَى الْعِلْمِ.

artinya bahwa idrāk-Nya Allah ta‘ālā pada masalah-masalah demikian adalah dengan Idrāk yang melebihi ‘ilmu.

وَ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِلَى نَفْيِهِ لِإِغْنَاءِ صِفَةِ الْعِلْمِ عَنْهُ لِأَنَّ إِحَاطَةَ الْعِلْمِ بِمُتَعَلَّقَاتِهَا كَافِيَةٌ عَنْهُ فَيَكُوْنُ إِدْرَاكُهُ تَعَالَى لِتِلْكَ الْأُمُوْرِ بِعِلْمِهِ.

Sekelompok para Imām berpendapat (memilih) untuk meniadakan (menafikan) idrāk itu, karena (sangat) mencukupinya sifat ‘ilmu tentang hal itu, karena sesungguhnya meliputnya ‘ilmu (cakupan) dengan segala yang dihubungkannya sudah sangat mencukupi (tanpa idrāk), jadi idrāk Allah pada perkara-perkara itu adalah dengan ‘ilmu-Nya.

وَ ذَهَبَ الْمُقْتَرِحُ وَ ابْنُ التَّلْمَسَانِيْ وَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ إِلَى الْوَقْفِ وَ التَّفْوِيْضِ لِتَعَارُضِ الْأَدِلَّةِ فَهؤَلَاءِ الْقَوْمُ لَا يَجْزِمُوْنَ بِثُبُوْتِ الْإِدْرَاكِ وَ لَا يَجْزِمُوْنَ بِنَفْيِهِ.

Syaikh Muqtariḥ, Ibn-ut-Talmasāniy dan sebagian ‘Ulamā’-‘ulamā’ modern (yang akhir) memilih untuk diam (tidak berpendapat) dan menyerahkan (masalah ini kepada Allah) karena saling bertentangannya dalil-dalil, mereka tidak memastikan tetap (adanya) idrāk dan tidak pula memastikan tiadanya idrāk (bagi Allah).

وَ هذَا الْقَوْلُ أَسْلَمُ وَ أَصَحُّ مِنَ الْقَوْلَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ.

Dan pendapat inilah yang lebih selamat dan sah dibandingkan dua pendapat awal.

أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَ هُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ.

Adapun firman Allah: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan,…..” (QS. 6 al-An‘ām: 103).

فَمَعْنَاهُ يُحِيْطُ بِهَا عِلْمًا وَ سَمْعًا وَ بَصَرًا وَ كَمَا اخْتُلِفَ فِي الْإِدْرَاكِ اخْتُلِفَ فِي الْكَوْنِ مُدْرَكًا وَ الْأَصَحُّ الْوَقْفُ عَنْ ذلِكَ قَالَهُ الْبَيْجُوْرِيُّ وَ غَيْرِهِ.

Artinya adalah Allah meliputi pendengaran mata (abshār) dengan ‘ilmu, sama‘ dan bashar-Nya, dan sebagaimana diperselisihkan dalam masalah idrāk (Allah), diperselisihkan juga tentang bahwa keadaan Allah mudrak, dan pendapat yang shaḥīḥ adalah diam (tidak berpendapat), Syaikh Bajūrī dan lainnya telah berpendapat.